BAB V

5.6K 365 17
                                    

5

Ketika Widka bersaksi tentang Alina yang menderita penyakit gangguan delusi, wajah Komandan Jo menampakkan ekspresi tidak percaya sekaligus takjub. Sejak awal memang bosnya itu menanggapi sinis tuduhan Kolonel terhadap Alina. Namun Widka sudah tidak bisa menyangkal lagi soal kebenaran yang tidak ia buat-buat.

"Gadis itu sakit," gumam Widka lirih. "Baru kali ini aku mengalami hal yang begini. Ah!"

"Alina.. Alina..Alina" suara Jimmy pelan, sambil berfikir keras-keras. "Aku hampir lupa penampakannya itu."

"Alina pernah datang ke sini kok," Gulam menimpali. "Tepat di markas kita ini. Pernah ngumumin kalau dia diperkosa oleh ayahnya sendiri."

"Oh, ya..ya. Cewek itu," seru Jimmy manggut-manggut. "Yang putih itu, kan? Yang rambutnya agak coklat? Yang datang bersama keluarga Winata? Wah, kalau yang itu sih enggak salah lagi..."

"Nggak salah lagi..." Gulam mengulangi.

"Nggak salah lagi dia itu cantik." Kata Jimmy manggut-manggut lagi, lantas tidak yakin. "Tapi masa sih dia itu kurang waras?"

Saat itu cuaca masih dirundung hujan. Serpihan air yang bertumbuk-tumbuk semakin lama semakin membenamkan jalan, tanah, dan apapun yang ada di atas dunia. Bagi Widka hujan lambat laun akan menenggelamkan ia dalam kesedihan yang berlarut-larut.

Saat itu pula Widka, Komandan Jo, Gulam, Jimmy, dan Roni sedang berada di markas. Mereka berkerumun seperti bocah gendut sedang berebut coklat ketika Widka menceritakan kejadian Alina celaka dengan cara melompat dari balkon. Berita itu segera menyebar dari para tetangganya yang melihat keributan di rumah Kolonel. Semua orang telah bersaksi soal musibah itu.

"Aku pikir dia cuma jarang bergaul lantaran sikap ayahnya yang keras. Kalau soal waras atau tidak itu baru dengar, " Gulam menambahi.

Tidak beberapa lama kemudian Andru, Kepala Satuan Reskrim datang. Dengan jas hujan berwarna hijau dia berjalan menunduk. Wajahnya ia halangi dari butiran air yang terus menejang kepalanya secara vertikal. Sambil melepas jaketnya, pria itu mengumumkan sesuatu kepada Komandan:

"Alina meninggal di tempat, Komandan. Kolonel meminta mayatnya segera dikubur hari ini juga. Parahnya lagi rumah duka dijaga ketat oleh penjaga. Sepertinya semua polisi disalahkan atas semua ini."

Mendengar itu Widka terbatuk-batuk. Ia merasa terkejut oleh sensasi letupan emosinya. Tanpa ia sadari, air matan tumpah membasahi pipinya. Widka menutup muka sambil menguasai diri.

"Tidak satupun bisa ke sana?" Komandan Jo mendesis.

"Sepertinya begitu, Ndan."

"Tenang, Wid. Dia itu mati bunuh diri. Semua ini bukan salahmu," kata Jimmy menenangkan hati sobatnya.

"Kita bicara di dalam," kata Komandan sambil melihat Widka. "Ron, kamu kirim karangan bunga untuk Kolonel dan sisanya beli minuman yang enak-enak. Aku mau mendengar kampret ini bicara."

"Siap Komandan," kata penjaga pos itu tegap.

Komandan Jo membawa Widka ke ruangannya yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman sebagai tempat untuk Komandan bekerja siang dan malam. Sementara Widka merebahkan pantatnya duduk kursi kayu tanpa perintah empunya. Polisi muda itu telihat menunduk, ia menunjukan penyesalan dan kesedihan yang mendalam mendengar kabar buruk tentang Alina.

"Hampir semua orang tidak percaya dengan kematian Alina."

"Siapa yang akan menduga Alina akan nekat berbuat begitu? Siapa yang tahu apa isi dalam kepalanya? Tidak satupun yang tahu," Widka terengah-engah. "aku, Kolonel, bahkan anjing buduk itu tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tetapi itulah yang aku lihat: ia mati bunuh diri. Sialan! Kalau bukan gila, apa lagi yang ada dipikirannya?"

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora