BAB VII

6.1K 360 62
                                    

7

Dasar sinting! Begitulah cara orang menilai kelakuan Widka dalam tiga hari belakangan. Ini tidak biasa. Baru kemarin koleganya di pos ikut berkabung gara-gara melihat Widka yang depresi pasca kematian Alina, sekarang kondisi itu justru berbalik. Selama tiga hari itu pula seisi Polsek dikagetkan oleh gelak tawa Widka yang lepas. Dia senang bukan main oleh sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu apa penyebabnya. Seakan hal itu membuat penasaran Komandan Jo, hingga ikut berkomentar tentang kelakuan anak buahnya: "Apa pelacur-pelacur di rumah bordil telah menggeser sedikit isi kepalamu?" Widka tidak peduli dengan sindiran itu Bahkan beberapakali dia berani melecehkan bossnya untuk dijadikan bahan lelucon. Dasar sinting!

"Jujur saja, pinggulmu bahkan jauh lebih enak dari pada gulai kambing ini, non." Seloroh Widka kepada non Tiara.

Perempuan yang di kuncir itu diam, melirik Widka dengan tatapannya yang sinis, seakan ingin menjambaknya.

"Kalau saja bukan karena pinggul bohaimu itu yang bisa meliuk-liuk kanan kiri, kedai ini pasti tutup kehilangan pelanggan," ia mengejeknya lagi, lantas pandangannya berubah, "bukan begitu Komandan? Haha.."

Di siang hari yang terik, Widka, Komandan Jo dan Gulam memilih makan di kedai milik Pak Tohir. Pada hari itu kelakuan Widka masih menjadi bahan pertanyaan bagi orang-orang di sekelilingnya. Seperti sekarang, ia mencoba melucu dengan Komandan Jo sebagai bahan lawakannya. Akan tetapi apa yang didengar oleh Gulam justru sesuatu yang lain. Dia prihatin karena menggunakan atasannya sebagai bahan guyonan. Sedangkan Komandan Jo terlihat kalem seolah memberikan apresiasi kepada bawahannya itu.

"Tolong, kripik kentangnya." Komandan Jo melempar ucapannya ke non Tiara.

Gadis itupun datang memberikan pesanannya membuat Widka kembali berkoak.

"Aku mengatakan yang sesungguhnya, Non. Kamu tahu bagaimana pinggulmu bekerja? Walaupun kita tahu saat makan daging-daging di sini seperti makan karet, tetapi karena bisa melihat pinggulmu perasaan kami jadi senang, lidahpun menemukan sentuhan terbaiknya. Itulah kenapa daging-daging itu terasa jadi enak. Persis seperti apa yang kita bayangkan sebagaimana mencicipi pinggulmu. Haha.."

Widka tidak henti-hentinya bicara seperti betet mabuk, tertawa, melecehkan gulai kambing pak Tohir, dan terus menggoda non Tiara. Semua yang dia bicarakan dengan nada yang keras-keras pula. Ia tidak peduli dengan pak Tohir yang mendengar sambil memberengut, sampai-sampai kipas bambu yang di genggamannya patah. Bagaimana dengan non Tiara? Apakah dia tersinggung dengan kelakar polisi itu? Tidak ada yang tahu pasti.

"Akhir-akhir ini suasana hatimu lagi bagus benar, Wid. Ada apa nih?" tanya Gulam

Widka tertawa lagi. "Kalau aku kasih tahu, kau pasti pingsan dengarnya."

"Kalau begitu berhentilah berahasia. Kamu pikir bagus ketawa-ketawa sendirian? Kayak orang sinting."

"Non. Tolong kecap dong," pintanya sambil tersenyum. Entah meledek atau memang seperti itu, yang jelas senyuman itu terlihat seperti dibuat-buat. Dia menahan ekspresinya itu sambil bicara: "Bagaimana, Non? Kamu mau memberikan punggulmu yang aduhai itu sekali saja? Tentu bosku ini mau."

Komandan Jo tersedak, seakan menelan bongkahan lengkuas di saluran yang salah. Sedangkan non Tiara yang biasanya kalem dan sopan, sontak membanting begitu saja botol kecap itu di atas meja.

"Kau tahu," kata Komandan Jo gerah. "Sebentar lagi botol itu akan mendarat di kepalamu."

"Taruhan? Dia pasti tidak berani melakukannya. Haha.."

Gulam melihat bosnya, seolah menakar apa tindakan dia selanjutnya: apakah menerima taruhannya atau tidak. Bossnya itu menatap balik megisyaratkan 'kenapa?' lalu mengangkat bahunya seolah kelakarnya ini tidak berarti apa-apa.

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now