BAB IV

7.2K 445 44
                                    

4


Hujan deras disertai angin kencang membuat udara terasa begitu dingin. Kondisi ini membuat Widka  terbangun dari tidurnya dan merasa perasaannya tidak enak. Mungkin gara-gara mimpi buruk semalam yang membuatnya gusar.

Semalam Widka bermimpi tentang Alina. Gadis itu tergeletak bersimpah darah, tubuhnya penuh luka yang menganga seperti terkena sayatan benda-benda tajam. Lehernya terpotong sehingga darahnya terus mengalir deras. Widka memeluk mayatnya, memapahnya dengan kedua tangan. Awalnya mata gadis itu mengatup, tiba-tiba mendelik ke arahnya dengan  tajam. Dengan gerakan yang cepat sebelah tangan Alina menyergap lengan Widka. Seketika polisi itu merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak, kaku dan sesak nafas, kemudian wujud yang menakutkan itu menghardiknya: “Kamu membiarkanku mati.”

Ia terbangun.

Widka merasa ada firasatnya buruk. Buru-buru dia ke lantai atas dan mendapati gadis itu masih berselimut. Tidurnya memunggungi pintu masuk.

Tidak terjadi sesuatu yang buruk darinya. Tidak pula ada yang mencelakainya. Semua kecemasan Widka soal Alina ternyata hanya berakhir di mimpi saja. Ia bersyukur dan merasa semuanya aman.

Widka memulai hari dengan olahraga kecil untuk mempertahankan kebugarannya. Lalu dilanjutkan dengan membersihkan diri. Setelah semuanya selesai, sekitar pukul tujuh pagi, Widka berjalan ke dapur menemui Bi Minah yang sedang menyiapkan sarapan. Dengan ramah perempuan yang memiliki kantung mata itu mempersilahkan polisi untuk menyantap semua yang sudah di hidangkan. Sebelum dia mengambil makanan yang ada di atas meja, Widka merasa perlu untuk mengetahui Alina dari mata bi Minah.

“Sudah berapa lama kerja disini, Bi?”

“Saya mah baru den. Nda lama sebelum Aden kesini. Baru satu minggu bantu-bantu kerja di sini si aden dateng.”

“Oo. Jadi bibi nggak begitu kenal Alina ya?”

“Nda Den. Lihat mukanya aja belum, Den.” Kata perempuan itu.
Widka menatap mata wanita itu, dia merasa tidak gambaran apa-apa dari Bi Minah. Jadi satu-satunya akses untuk mengetahui tentang Alina lewat Kolonel. Tiba-tiba dia teringat dengan Pak Narto, tukang kebun, tetapi melihat gelagatnya tidak mungkin dia mengenal Alina secara dekat.

“Ayo Den, silahkan ambil makanannya.” Suara Bi Minah membuyarkan semua bayangan Widka. Wanita itu menunjuk piring di atas meja. “Ambil aja Den, bawa ke kamar.”

Menu kali ini spaghetti dengan saus daging giling. Bi Minah juga menuangkan dua gelas air putih dan satu pitcher susu segar. Widka merasa menunya terlalu borjuis, walaupun demikian dia merasa bersyukur karena bisa menikmati segala yang ada. Ia kemudian membopong sarapan, membawanya untuk Alina, menaiki anak tangga menuju kamar gadis itu di lantai atas. Ketika Widka masuk, dia melihat Alina sedang berada di sisi balkon. Sudah bangun rupanya. Di luar udara terasa dingin dan gerimis rintik-rintik masih terus membasahi bumi. Widka melihat Alina memakai dress tipis berwarna putih dengan punggung terbuka. Hasratnya meremang setelah melihat Alina memakai baju itu.

"Ia kelihatan memikat," pikirnya dalam hati.

Saat hendak menghampirinya Widka merasa ragu, “Bagaimana kalau Alina kumat lagi?” Pada akhirnya dia berjalan lambat-lambat agar tidak mengagetkan perempuan itu. Alina menyadari kedatangan Widka, melirik sekilas memperlihatkan wajahnya secara profil.

“Sesuatu yang hangat?” Widka menawarinya sarapan pagi. Ia taruh nampan itu di meja kecil.

Alina tidak bicara apa-apa. Widka hanya mendengar suara rintik hujan yang menabrak-nabrak semua yang ada: Rerumputan, genting, aspal, dan kolam ikan. Kemudian disela oleh suara gemuruh petir. Widka memberi satu gelas susu hangat itu ke Alina, dan memantapkan posisinya di samping Alina, di tepi balkon. Widka melihat dari sudut matanya. Balkon itu menghadap ke timur membuat Widka berangan-angan: “Jika suasana sedang cera,  pemandangan-pemandangan dari sini pasti membuat hari menjadi kian bersemangat.” Dia merubah pandangannya dan melihat ke bawah: “Tingginya cukup untuk menghantarkan seseorang ke alam baka.”

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now