3 X ~ Part 5

698 42 12
                                    

Hari keempat dari sepuluh hari. Pagi itu, langit tidak secerah biasanya. Awan kelabu menyelimuti matahari yang mungkin sedang lelah. Angin berhembus kencang sedingin malam.

Haris menepikan Vespa-nya di garasi bengkel Oto Express ketika titik-titik hujan mulai jatuh ke tanah. Semakin lama, hujan semakin deras. Kebetulan, Haris dapat berteduh sementara di dalam tempat kerjanya yang dulu, saat ia masih berusia 13 tahun.

"Sedang sibuk, Pak Mahmud?" sapa Haris pada sepasang kaki seorang pria yang sedang terlentang di bawah sebuah mobil yang dinaikkan.

Sepasang kaki kurus itu pun bergoyang, membuat papan selancar beroda itu meluncur keluar dari bawah mobil. SYURRT. Muncullah seorang pria kurus berkeriput yang sedang terlentang di papan itu.

"Haris? Bocah ingusan?" Pria itu tersenyum lebar.

Ia bangkit berdiri untuk menyambut jabatan tangan Haris dengan tangan yang kotor. "Apa kabar, Haris? Sudah besar kau, Ris! Sehat kau, Ris?"

"Alhamdulillah, sehat, Pak Mahmud."

Bapak Mahmud, pemilik bengkel Oto Express yang sudah puluhan tahun berdiri beberapa meter dari Urban Cluster. Di usianya yang tidak lagi muda, ia masih saja rajin bekerja. Padahal sudah ada 15 pria muda yang membantunya bekerja---memperbaiki mobil dan motor setiap hari selama 24 jam secara bergantian.

"Sudah lama sekali, mengingat saat kau masih bekerja di sini, Haris. Mari duduk di dalam! Masih bekerja dengan bapakmu di komplek, Ris?"

Senyumnya masih sama seperti yang dulu. Gaya bicaranya juga masih sama seperti yang dulu. Hanya saja, garis-garis keriput pada kulitnya menandakan, bahwa bapak Mahmud sudah semakin tua. Betapa Haris merindukan senyuman itu. Tawa ramah dan sikap rajin mantan bosnya. Walaupun sangat dekat, Haris jarang sekali mampir.

Ia bekerja di Oto Express sejak lulus Sekolah Dasar, karena ayah angkatnya tidak mampu membiayai sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Selama itu, Haris hanya dapat melihat Regina dari jauh, setiap gadis kecil itu mengayuh sepeda ke sekolahnya melewati depan Oto Express. Tak terasa, sudah 10 tahun berlalu sejak ia mengundurkan diri, karena ingin membantu pekerjaan ayahnya sebagai satpam.

"Haris!" sapa salah seorang pekerja Oto Express yang mengenali Haris, "Sedang apa di sini?"

"Hanya meneduh saja, Bang Abdul. Hujan deras," sahut Haris pada seorang pria yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya. "Lanjutkan saja bekerjanya, Bang!"

Pria bernama Abdul itu hanya tersenyum dari jauh dan terus mengotak-atik sebuah mobil. Terlihat keakraban Haris dan Abdul yang dulu pernah bekerja bersama. Hingga saat ini, Haris dan Abdul masih sering bertemu karena bertetangga. Tidak perlu lagi saling melempar rindu.

Haris duduk di sebelah bapak Mahmud yang terus bercerita dan tertawa, sementara pekerjaannya dilanjutkan oleh salah satu anak buahnya. Dua cangkir kopi hangat disajikan oleh ibu Mahmud yang mengurus keuangan bengkel di ruang dalam. Di sela tawanya menanggapi cerita bapak Mahmud, Haris terus melirik ke arah ruko sembako di sebelahnya.

Rintik hujan masih membasahi jalan raya. Dilengkapi dengan jeritan petir yang mengejutkan. Haris berharap hujan segera berhenti dan 'pelangi' datang setelah hujan.

Menit demi menit berlalu. Jam demi jam berlalu. Hujan sudah reda sejak satu jam yang lalu. Langit sudah kembali cerah. Haris masih belum menemukan pelanginya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan pada bapak dan ibu Mahmud sebelum pukul 11 siang. Pelangi yang sedang dinantinya tak kunjung tiba.

Mungkin karena hujan pagi ini, pikirnya.

Sudah tiga hari, Haris tidak melihat paras cantik Regina. Pertama, ketika ia menolak bertemu dengannya karena terlalu lelah. Lalu kemarin, ia mondar-mandir melewati ruko sembako dengan Vespa-nya, tetapi Regina tidak terlihat. Hari ini pun sama.

TenFoldМесто, где живут истории. Откройте их для себя