3 X ~ Part 7

611 30 11
                                    

Aroma rokok dan kopi yang sangat pekat terhirup oleh hidung Regina yang sudah tidak tertutup alat bantu pernafasan. Tidak ada aroma tanah, matahari, ataupun wangi pengharum mobil. Wangi sabun pun tidak.

Daddy? Panggil Regina dalam hati.

"Daddy langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar keadaanmu, Sayang," ucap suara berat itu yang adalah Thomas Dewangga.

Bohong. Aku sudah mendengar dari sekretaris Andin, bahwa Daddy sudah menginap di kantor sejak Senin malam. Mengapa Daddy tidak pulang ke rumah begitu sampai di Jakarta? Apakah harus menunggu keadaanku sekarat seperti ini, Daddy baru mau menginjakkan kaki di rumah?

Regina tetap diam, tanpa berusaha bergerak maupun mengerang. Dengan seluruh wajah, termasuk matanya yang tertutup perban, ia seperti sedang tertidur. Ia hanya ingin mendengarkan semua ucapan ayahnya saat ini. Ia ingin tahu, apakah ayahnya masih menyayanginya.

"Mengapa kamu melakukan ini, Regina? Kamu sudah 24 tahun, tapi mengapa kamu masih belum bersikap dewasa? Menjaga dirimu sendiri saja tidak bisa," omel Thomas menutupi kekhawatirannya.

Salah. Aku sudah 25 tahun. Daddy tidak meneleponku saat ulang tahunku bulan lalu. Daddy lupa?

Thomas Dewangga terus meluapkan amarahnya dengan tenang, tanpa menaikkan nada suaranya, namun tetap dengan kata-kata mematikan. Seluruh laporan dari para anak buahnya mengenai sikap putri semata wayangnya itu membuatnya merasa gagal sebagai seorang ayah.

Daddy tidak usah berpura-pura memarahiku. Daddy pikir aku tidak tahu, apa yang Daddy lakukan selama ini? Daddy pikir aku percaya, bahwa musibah yang dialami mommy itu hanyalah kecelakaan?

x X x X x

Sita sudah selesai mengumpulkan serpihan kaca. Saat ini, ia mulai membasuh darah di kaki Haris dengan air.

Haris mulai merintih lagi. Nyeri terasa di seluruh kakinya, ketika air membasahinya. Sepertinya efek ajaib obat bius bibir Sita sudah menghilang.

"Karena Edo ya?" tanya Sita tiba-tiba.

Haris hanya terdiam. Antara menahan sakit bercampur tidak ingin Sita mengetahuinya. Lagipula ini bukan karena kesalahan Edo sepenuhnya. Di hadapan Sita, Harislah yang bersalah.

"Ini cermin Edo 'kan?" tebak Sita yang sudah hafal dengan hobi Edo bercermin.

Haris hanya mengangguk pelan.

"Bertengkar dengan Edo lagi?" tebak Sita lagi yang jawabannya selalu benar.

"Tapi bukan karena Edo. Aku yang salah." Haris mengaku.

"Kenapa bertengkar, Ris?"

"Kata bapak, tidak boleh beltengkal*, Om!" Jaka ikut campur dengan mulut yang penuh makanan, membuat lidah cadelnya semakin tidak jelas terdengar.
*bertengkar*

"Jaka, habiskan dulu makannya!" tegur Sita yang membuat Jaka diam dan segera menghabiskan makanannya.

Haris tetap tidak menjawab, tidak tahu harus menjelaskan apa pada Sita. Pertengkaran karena wanita lain, pasti sangat menyakitkan hati Sita.

"Apa Edo juga terluka seperti ini?"

"Tidak. Hanya mimisan."

"Mimisan lagi? Kamu pukul hidungnya lagi? Haris! 'Kan sudah pernah aku beri tahu, jangan hidungnya! Kenapa hidungnya lagi?" omel Sita yang sudah sangat mengetahui kondisi hidung Edo yang rawan.

Edo pernah terjatuh dari atas pohon mangga tujuh tahun yang lalu. Tulang hidungnya patah. Sejak saat itu, hidungnya menjadi semakin pesek.

Patahan tulang hidungnya itu menjadi rawan bergeser atau patah kembali, jika diperlakukan dengan kasar. Edo juga menjadi sering mimisan, terutama saat terjadi sesuatu pada hidungnya. Sudah dua kali, Edo menjalani penyedotan sinusitis, akibat pembengkokan tulang hidungnya yang pernah patah itu.

TenFoldDonde viven las historias. Descúbrelo ahora