14-END

15.9K 876 67
                                    

Hai, semua! Selamat pagi, semangat pagi!

Ini part terakhir Leander nih. Serius. Aku pengen namatin ceritaku aja. Jadi, kalo misalnya aku ngilang lama-lama toh nggak ada hutan lagi buat lanjut cerita. Mungkin mau vakum untuk sementara, atau malah mau nulis cerita baru lagi, aku masih belum tahu. Cuma ya sekarang-sekarang ini udah masuk semester-semester akhir, yah begitu

Jangan tanya apa kabarnya cerita Leandra, karena aku gak niat buat lanjutin huhu Anggap saja dia tidak pernah ada di antara kita *eyaaa Hmmm terus aku juga hide dulu nih The Lady Choseen, soalnya mendadak hilang gambaran keseluruhan ceritanya dari kepala haha

Well, gak begitu spesial sih endingnya, cuma ya semoga aja nggak ngebosenin...

Makasih loh udah ngikutin cerita Leander dari awal. Ngasih vote dan komentar yang bikin aku seneng selama nulis cerita ini...

Happy Reading!

AWAS TYPO!


oOoOoOoOo

Leander mondar-mandir di kamarnya yang sempit. Sesekali dia melirik ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan semenjak dua jam yang lalu. Dia mengambil ponselnya, mengecek apa pesan yang dia kirim pada Felicia benar-benar terkirim, dan ternyata sudah. Bahkan langsung terkirim setelah dia menekan tombol send dua jam yang lalu. Tapi sampai sekarang balasan gadis itu tak kunjung masuk. Entah Felicia tidak mengecek ponselnya, atau mungkin gadis itu tidak berniat membalas pesannya sama sekali.

Leander menoleh ke pintu ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk sama sekali. Siapa orang tidak sopan itu?

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Leander mendengus. "Sejauh yang kuingat, ini kamarku," sahutnya sambil menatap Leandra dengan tatapan ya-ampun-kau-bodoh-sekali andalannya.

Leandra memutar bola matanya jengkel. "Maksudku, ini kan jam 11 malam. Kenapa kau bisa ada di rumah? Bukankah seharusnya kau ada di hutan?" tanyanya. "Kupikir aku salah dengar saat mendengar langkah kaki di kamar ini."

"Aku bisa berada di manapun aku mau," balas Leander.

Leandra mencibir. "Felly mengabaikanmu, ya? Auramu buruk sekali."

"Kalau kau sudah selesai bicara, kau bisa menutup pintunya dari luar," ujar Leander datar.

"Pintar dan punya wajah tampan saja tidak cukup, Lean. Wanita juga butuh pria yang peka."

"Diamlah!" bentak Leander habis kesabaran.

Setelah mendorong Leandra keluar dari kamarnya, dia membanting pintu tepat di depan wajah kembarannya itu yang sedang menyeringai.

Leander kembali menatap ponselnya yang masih bergeming. Dengan kesal, dia melempar ponsel itu ke ranjang, lalu keluar dari kamarnya menuju hutan. Seharusnya dia tidak usah menyapa Felicia kalau akhirnya dia akan uring-uringan sendiri menunggu balasan gadis itu!

Ketika kembali keesokan paginya, mood Leander tidak berubah sama sekali. Pamannya, Skandar sudah berusaha menghiburnya sejak mereka bertemu di hutan, tapi candaan pamannya itu tidak berhasil memperbaiki moodnya. Biasanya mengobrol dengan Skandar selalu membuatnya lebih baik, tapi kali ini tidak. Sepertinya yang dia butuhkan adalah berbicara dengan Felicia.

Lagi pula, kenapa mereka malah bertengkar hanya karena sebuah status? Mereka kan sudah saling mengungkap perasaan, kenapa itu masih penting? Bahkan sampai sekarang dia masih tidak mengerti dengan ucapan Leandra. Berpacaran, bertunangan, dan entah apalah itu.

LEANDERWhere stories live. Discover now