#5 Kilas Balik

72.8K 4.5K 15
                                    

Haaai! Part ini full of flashback hubungan Akmal dan Aliya setelah insiden surat kagum ketika di SMA ya!

Happy reading & enjoy! Sorry typo everwhere!

***

Aliya sudah melupakan insiden surat kagum itu yang terjadi beberapa bulan lalu dan fokus dengan hidup barunya di SMANSA (read: SMA Negri 1). Ia berhasil menembus kelas unggulan, X MIPA 1, dengan beasiswa tentunya. Sahabat sejak SDnya, Amel berbeda 1 kelas dengannya, X MIPA 2.  Sementara kak Akmal, gadis itu sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya. Ia sendiri jarang melihatnya karena selalu mendekam di kelas. Ia bersosialisasi, tentu saja. Tapi kalaupun ke kantin itu hanya menguras uang orangtuanya dan lebih memilih makan bekal di kelas dengan Amel. Yang terpenting sekarang adalah ia bisa fokus belajar, meniti prestasi kembali, dan mempertahankan posisinya pada peringkat 3 besar seperti di pesantren dulu. Karena dengan itu, umi dan abi tidak perlu khawatir lagi mengenai biaya sekolah atau yang berurusan dengan keuangan.

"Bi, ke kantin, yuk! Bekalnya kan buat entar siang, sekarang jajan dulu. Gue traktir tenang aja."

Aliya mengangguk.

Sebenarnya ia pernah mengungkapkan ketidakenakannya karena kalo Amel mau ke kantin pasti ia selalu di traktir. Tapi Amel dengan tegas bilang, "Bi, dari dulu kan gue, Shila, Ghea udah ngerti sama kondisi keungan lo. Tenang aja. Ini kan emang niatan gue pengen traktir lo, Berbi Al sayang. Lo tetep sahabat gue, susah seneng harus bareng-bareng dong.". Dan dari situlah Aliya sangat bersyukur kalau Allah sudah memberikan kepadanya tiga gadis cantik-baik-pengertian untuk menjadi sahabatnya sejak kelas 6 SD.

Aliya berjalan bersisian dengan Amel. Mereka duduk di salah satu meja dan memesan milk tea. "Shila sama Ghea ngajakin reuni abis UAS ini. Lo ikut, kan, Bi?"

"Izin umi abi dulu, ya. Al usahain tenang aja. Emang mau reuni di mana, sih, Mel?"

"Gak tau. Kayaknya mall tempat biasa, deh. Lo tenang aja, itu semua ditraktir sama si Ghea, katanya pajak ultah buat kita."

Al mengangguk-angguk.

"Oh, ya, hari ini kak Akmal masuk ruang BK lagi tau, Bi. Lo tau Azri, kan?"

"Azri anak kelas kamu, Mel?"

"Iya, si Azri anak kelas gue. Katanya, sih, kemarin habis berantem sama kak Akmal gara-gara kak Akmal gak dikasih hukuman waktu dia telat terus kabur. Jadinya setelah kemarin Azri dipanggil ke BK, sekarang kak Akmal, deh."

"Ya, biarin ajalah. Bukan urusan Al juga."

"Ini urusan lo juga, lah, Bi. Semenjak insiden surat kagum itu bahkan sampai sekarang masih aja lo diomong-omongin. Katanya lo jadianlah, cocoklah sama kak Akmal. Padahal, see? Jalan bareng aja selama ini gak pernah. Eeh, jangankan jalan bareng, lo keluar kelas aja jarang-jarang."

Aliya tertawa kecil setelah menyeruput habis milk teanya.

Ada ada saja, pikirnya.

"Bi, lo ke kelas duluan, gih, sakit perut nih mau ke kamar mandi dulu. Duluan aja, gapapa. Kalo nunggu takut kelamaan. Tapi entar tolong bilangin ke anak kelas kalo gue kayaknya telat masuk karena lagi ke kamar mandi."

"Oke, duluan, ya, Mel. Makasih udah traktir Al."

Amel mengangguk dan langsung ngacir ke kamar mandi. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi.

***

Aliya berjalan pelan menyusuri lorong kelas 12 dengan sedikit menunduk. Inilah yang menjadi alasan lain ia jarang keluar kelas. Koridor kelas 12 itu merupakan jalan terdekat menuju kelasnya. Sebenarnya ia masa bodo aja lewat di sana, toh, tidak ada yang ia sukai ataupun benci. Tapi artinya adik kelas yang melewati koridor kelas 12 harus siap menerima resiko jadi pusat perhatian kakak kelas, karena itulah ia selalu jalan bareng Amel. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi selama ini wajah cantik teduhnya selalu menjadi incaran kakak kelas khususnya kelas 12. Tidak peduli dengan jilbab panjangnya, mereka hanya ingin berpacaran dengannya, itu saja. Dan Aliya risih dengan hal tersebut.

Sabar, Al, resiko kamu masuk negri begini, nih, banyak maksiat, susah buat ghoddul bashar (read: jaga pandangan)nya, batinnya.

Namun tiba-tiba saja ia mengaduh saat mendapati kakinya terkena jatuhan buku-buku.

Astaghfirullah Al, makanya jangan melamun, hatinya mengingatkan.

"Aduh, maaf, kak." Al membereskan buku-buku itu dan bangkit berdiri menahan rasa sakit. Tapi kemudian ia terdiam saat mengetahui yang ditabraknya adalah Akmal.

"Oh, kak Akmal. Maaf, ya, kak. Ini buku-bukunya. Pasti mau dibawa ke ruang guru, kan?" Aliya memberikan tumpukan buku tersebut.

Kak Akmal masih tidak bergeming.

"Kak?"

"Oh, iya, makasih. Maaf juga." Laki-laki itu tersenyum tipis dan mengambil buku-buku tersebut dari tangan Aliya lalu bergegas pergi.

Gadis berjilbab itu tampak bingung.

Bukannya orang yang habis dihukum itu moodnya jelek, ya? Atau kak Akmal udah biasa dihukum jadinya biasa aja, makanya bisa senyum kayak tadi? Eh, tapi kok, hukumannya cuman disuruh bawain buku-buku ke ruang guru doang? Atau kak Akmal gak dihukum? Ia menebak-nebak, namun segera tersadar setelahnya.

"Duh, Al, ngapain juga kamu mikirin kak Akmal. Peduli amat sama urusan kakak kelas itu." Gumamnya pelan dan mempercepat langkah menuju kelas.

Sementara di lain tempat, Akmal sudah menaruh buku-buku tersebut. "Ini madam buku-bukunya."

"Terima kasih. Oh, ya, kamu saya skors 3 hari dimulai dari besok dan jangan berantem lagi dengan siapapun apalagi adik kelasmu. Kamu juga emangnya gak capek apa keluar masuk ruang BK? Sudah kelas 12 itu harusnya fokus ke UN dan perguruan tinggi, bukannya menambah catatan nama di buku BK." Ceramah madam Diana, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas yang sudah mendengar perihal masalahnya dengan Azri dari guru BK. "Jangan lupa minta tanda tangan orang tua setelah masuk kembali."

"Baik, madam. Saya permisi." Pamitnya dari ruang guru dan tersenyum.

Madam Diana hanya menggeleng-geleng heran karena respon Akmal yang biasa saja saat mendapat ia ceramahi dan diberikan hukuman, tidak protes seperti biasanya.

Semua rasa kesal terhadap Azri, adik kelasnya dan juga akan hukuman yang diberikan memang langsung menguap begitu saja setelah mengingat hal tadi. Sepanjang kembali ke kelas sudut bibitnya tertarik sedikit.

"Akmal kesambet apaan, bro, senyum-senyum kayak orang gitu?" Tanya Dio heran.

"Ada dua kemungkinan, sih. Pertama, dia gak jadi dihukum. Yang kedua, wah, Mal, lo pasti lagi jatuh cinta, ya!" Cerocos Rio pada sahabatnya. "Asik, pasti setelah ini kita dapat PJ, nih. Akhirnya dari sekian banyak cewek, lo minat juga buat jadian."

"Enak aja, siapa yang mau jadian? Gue gak minat pacaran."

"Iya, gak minat pacaran. Tapi minat mainin hati orang, php gitu, deh."

"Sialan, lo!"

Soal perasaan ini akan ia simpan dulu sementara karena ia sendiri belum yakin. Jika sudah, ia pasti akan meminta bantuan Rio, si ketua ekskul fotografi sekaligus sahabatnya dan juga Dio menjadi stalker

Aliya..., hatinya membatin, menyebutkan satu nama yang mungkin akan menjadi gadis pertama yang akan ia stalking nanti.

***

Terima kasih bagi yang sudah mampir dan menyempatkan diri untuk membaca. Voment serta kritik sarannya selalu ditunggu. Terima kasih^^

9 Oktober 2016

Revised : 3 Juni 2017

With You [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang