#13 Kilas Balik 2

61K 3.2K 5
                                    

Haaai! Seperti biasa, ya, kalau judulnya 'kilas balik' itu berarti full of flashback.

Kali ini kilas baliknya si Vino dan Ica, supaya kalian gak bingung apa sih hubungan Ica dan Vino? Lets cekidooot. Happy reading^^

***

Seminggu terakhir ini hujan lebat sering melanda daerahnya, membuat gadis itu mau tidak mau harus meneduh di warung bi Ais sepulang sekolah. Sebenarnya bi Ais sendiri sudah menawarkan payung padanya dan bisa dikembalikan besok saat pulang sekolah, namun ditolak halus si gadis.

"Hujan lebat lagi ya, teh Ica? Duduk sini aja, di situ masih suka kecipratan air hujan." Bi Ais menepuk pelan kursi kayu sebelahnya yang kosong.

"Makasih banyak, bi. Palingan juga sebentar lagi hujannya berhenti cepat kayak kemarin." Tolaknya ramah.

"Bibi tinggal ke dalam, ya. Ini teh hangatnya diminum dulu."

"Iya bi, makasih."

Ica menegak sedikit teh tersebut, menghilangkan rasa haus pada tenggorakannya.

Lagi lagi mimi—panggilan untuk ibu Ica—tidak bisa menjemput anak gadis kesayangannya. Mobil dipakai pipi—panggilan untuk ayah Ica—sedangkan hanya ada motor yang menganggur di rumah. Tapi kalau hujan lebat seperti ini mimi suka takut karena jalanannya yang licin. Juga karena trauma saat Ica hampir saja terlindas mobil saat mereka jatuh di turunan dekat rumah yang langsung dipeluk mimi seerat-eratnya dan dibawa ke pinggir jalanan.

Hal itu membuatnya juga trauma untuk naik motor dan lebih memilih mobil atau angkutan umum saja. Nasib Ica juga yang hanya tinggal bertiga di Bandung, tidak memiliki antar-jemput sekolah oleh kakak-kakaknya. Mereka sudah menikah dan sebagian menetap di luar negri, sebagiannya lagi di beberapa kota Indonesia.

Ica menyerah dan memilih untuk duduk di kursi kayunya bi Ais. Telapak tangannya ia tiup dan gosok-gosok secara berulang untuk sedikit menghangatkan. Satu jam berlalu, hujan lebatnya perlahan berubah menjadi hujan ringan.

"Hari ini hujannya lebih lebat dan lama dari pada yang kemaren, ya, kan?"

Ia tersentak saat mendengar suara berat seseorang yang sudah berdiri di sebelah kursi yang ia duduki.

"Iya," jawabnya singkat, "kehujanan juga, ya, A?"

Laki-laki itu tertawa lebar. "A? Maksud kamu 'Aa'?"

Ica mendengus kesal saat mendengar nada kaget dan geli dari kalimat laki-laki itu. Cih. Ia, kan, hanya mengikuti apa yang miminya katakan saat kembali lagi dari Jakarta ke Bandung.

***

5 years ago...

"Kamu itu biasakan manggilnya 'teteh' atau 'akang'."

"Ih, Mimi, masa aku manggilnya akang? Manggilnya 'Aa' ajalah, kayak Aa Cakra, Aa Rendy," ia mulai menyebutkan satu per satu nama kakaknya.

"Ya sudah, terserah kamu aja."

"Emang kenapa sih, Mi?"

"Kita harus sopan sama orang lain, Ica, sekalipun sama orang yang gak dikenal. Kecuali kalau orang tersebut sudah membolehkan kamu manggil biasa saja, atau ia lebih muda dari pada kamu."

***

"Sori sori, jangan marah gitu, dong, teteh cantik."

"Enak aja manggil aku teteh! Jelas-jelas tuaan kamu. Om-om gitu mukanya." Ejeknya.

"Baru kuliah, kok. Lagian belum pantes juga ganteng kayak gini dipanggil Om, ya, kan? Si teteh cantik-cantik tapi galak, Aa jadi takut."

Mata Ica kembali melotot saat mendengar kata 'teteh' kembali keluar dari mulut si laki-laki yang gak jelas itu.

With You [✔]Where stories live. Discover now