#7 Rencana

69.1K 4.6K 30
                                    

Hai, kalian, yang udah setia nungguin pasangan Akmal-Aliya! Happy reading and enjoy!

***

Aliya menggeliat pelan saat merasa bahwa gulingnya sekarang rasanya tidak seperti biasanya. Hangat. Nyaman. Ah, lupakan sajalah, toh alam mimpi memang terkadang bisa jadi buruk, atau indah seperti saat ini.

Namun saat kembali mempererat pelukannya, ia merasakan sesuatu yang hangat menerpa wajahnya seperti hembusan nafas.

Eh?

Hembusan nafas?

Matanya sontak terbuka dan mendapati Akmal yang sedang tertidur di sebelahnya dengan tangan yang melingkar pada pinggang Aliya, pun sebaliknya.

Ia mengejap berkali-kali dan segera membuka selimut. Pakaiannya masih sama dengan apa yang ia pakai kemarin malam.

Syukurlah, ia mendesah nafas lega.

"Tidak ada hal yang 'bisa saja' terjadi tadi malam, dek. Kamu udah keburu pulas tau!" Gumam suaminya pelan.

"A-aku gak berpikir sampai situ kok, kak." Balasnya gugup.

Akmal segera membuka mata dan tersenyum. "Morning berbinya mister Ardicandra. Aku udah melek dari sebelum kamu buka selimut, loh." Ia terkekeh.

Pipi Al seketika memerah malu. Ketahuan sudah apa yang ditakutinya.

"Lain kali kalau nungguin aku pulang dan udah ngantuk langsung tunggu di dalam kamar aja, ya." Diusap pelan puncak kepala istrinya.

"Emang kemarin kak Akmal darimana aja, sih? Isya di masjid kok balik ke rumahnya lama? Kan rumah kita lumayan deket."

"Uuuh," dijawilnya hidung Aliya gemas, "sebegitu khawatirnya, ya, kamu sama aku? Kemarin papa manggil ke kantor."

Aliya ber-oh ria dan mendapat cubitan pelan sebelum Akmal mulai masuk ke kamar mandi.

"Dek, gak mau mandi bareng, nih?" Ia mengerling nakal dan berhasil mendapat cubitan keras di perutnya.

"Impas, ya, kak. Makanya jangan godain aku mulu, week." Kakinya berlari menghindari balasan Akmal berikutnya dan segera membuat sarapan. "Buruan, kak, mandinya. Aku ada kelas pagi hari ini."

"Lama-lamain, aaah. Biar aja kamu telat, sekali-kali rasain jadi anak telat."

"IIIH... KAK AKMAAAL!"

***

"Kapan lo nyampe di Indo, Ca?" Sahabatnya bertanya sambil mengaduk-aduk jusnya dengan sedotan.

"Kemarin malem, Can. Gue seneng banget akhirnya tuh beasiswa selesai juga. Cepet, kan?"

"Lumayanlah. Liat aja sahabatnya, Liliana Hisan Pratama gitu loh."

Gadis itu memukul pelan pundak sahabat kecilnya, Hisan yang lebih suka dipanggil 'Ican' sejak seragam putih-bidong. "Malah jadi lo yang narsis gitu deh, Can. Harusnya gue yang membanggakan diri."

"Terus terus, ngapain lo balik ke Indo? Bukannya udah betah ama negara dengan khas patung singa badan ikan itu?"

"Jadi lo gak rindu sama sahabat cantik lo ini?" Ica memasang wajah cemberut.

"Bukan gitu, Reisya Putri Guntara. Keluarga lo, kan, juga udah ada yang menetap di sana. Jadi kenapa gak ikut tinggal di sana aja. Pasti ada alasan, kan?"

"You know me so well, Can."

"Lagu kali!"

"Gue serius. Masa lo gak bisa nebak sih gue balik ke Indo gara-gara apa?"

Ican memutar bola matanya dengan beberapa jari yang mulai mengetuk-ketuk pelan sekitar keningnya, kebiasaan jika ia sedang berpikir. Sesaat kemudian ia berteriak histeris, "DEMI TUHAN REISYA LO MASIH NGEJAR SI COWOK PHP ITU?"

"Shut up, Can. Lo gak liat apa, orang-orang di kafe langsung tertuju ke arah lo. Jadi gue yang malu, kan."

Ican menoleh melihat sekitar.

Benar saja. Para pengunjung kafe menatapnya penuh nafsu dengan tatapan tajam meski ada sebagian ada yang cuek, tidak peduli.

Ican hanya menyengir sebagai bentuk rasa bersalahnya.

Ck. Gadis itu dari dulu selalu saja blak-blakan dan tidak tahu tempat. Sudah menjadi hal yang biasa baginya namun tetap saja ia merasa risih atas dampak dari sifat sahabatnya itu.

"Akmal, kan, maksud lo?" Ican kembali fokus pada topik sekarang.

Ia membenarkan dengan anggukan.

"Ngapain, sih, Ca, lo ngarepin si playboy sarap itu?" Tanyanya heran.

Ica menggeleng tidak setuju, "he is not a player, Can."

"Yeah, but he is..."

Telunjuk Ica dengan segera menyentuh bibir Ican. "Dia cuman cowok yang bisanya tebar pesona, sok cool, dan php. Itu, kan, yang mau lo bilang?"

"Lo gila, Ca."

"Iya, Can, gue emang gila. Pesona Akmal yang buat gue gila sampe gak bisa lepasin dia. Dan lo tau? Waktu itu gue sempet bilang kalo kita pacaran, Akmal sama sekali gak ngelak. Jadi, bukannya status kita 'masih pacaran', kan, sekarang?"

Ican mendecak kesal. "Terserah lo aja deh, Ca. Dari awal waktu lo deket-deket sama dia gue udah mulai gak suka."

"Ini bukan karena lo suka Akmal juga, kan?"

Ican tertawa. "Gue aja gak suka. Lagian juga gak mungkin gue ngambil apa yang udah jadi milik sahabat gue. Gue udah bahagia dengan si Gilang, nih buktinya." Ia menyodorkan sebuah undangan pernikahan.

"Oh my... jadi lo mau nikah? Gue aja belom liat calon suami lo, dear."

"Makanya cepet nyusul. Stop stuck sama si Akmalnya. Move on, sayang."

Gadis itu menggeleng pelan. "No, Ican. Gue gak bakal bisa lepasin Akmal begitu aja. Bagaimana pun caranya gue harus temuin dia dan harus jadiin Akmal milik gue yang udah setia menunggunya." Senyumnya mengembang penuh arti.

"Emang Akmal pernah bilang bakal nungguin lo, Ca? Dateng ke bandara juga gak."

Semasa bodo dengan perkataan sahabatnya.

Ia punya tujuan yang lebih penting dari pada sekedar kalimat yang bisa saja mengubah niatnya.

Akmal Faiz Ardicandra.

Laki-laki itulah tujuan utamanya pulang ke tanah air. Laki-laki yang sudah merebut hatinya, dan ia harap dia akan merasakan hal yang sama dengannya.

***

Terima kasih bagi yang sudah menyempatkan mampir untuk baca, voment, serta kritik sarannya, ya. Laff.

18 Oktober 2016

Revised: 11 Juni 2017

With You [✔]Where stories live. Discover now