SM {29}

2.3K 218 25
                                    

[Mulai Baca chapter 19]

***

51. Julian

Pada hari kedelapan aku di Rumah Sakit, kakiku mulai gatal- gatal dan aku merasa kewarasanku digerogoti sedikit demi sedikit. Aku terjebak di ruangan berbentuk persegi yang itu-itu lagi dengan Mom mengontrolku hampir enam kali seminggu. Bahkan ia sempat bersikeras untuk cuti beberapa hari agar bisa menemaniku dan bercerita tentang Kisah 1001 Malam atau kisah asmaranya yang tandas beberapa tahun yang lalu. Walaupun Mom tidak berkomentar apapun soal hubunganku dengan Amy, aku tidak pernah menyebut Amy terang-terangan, atau meneteskan air liur ketika melihatnya mengunjungiku dua kali sehari, di depan Mom. Aku merasa walaupun Mom tidak menunjukkannya, ia mungkin keberatan. Maksudku, melihat calon-putrinya berpacaran dengan putranya bukan pemandangan yang sehat untuk jantung, kan?

Omong-omong aku tidak akan berkeluh kesah di hari kesembilanku di Rumah Sakit. Michael dan aku sudah membuat rencana agar aku tidak gila terkurung di dalam ruang segi empat itu. Michael menolak pada awalnya. Dia bahkan tidak mau membahas rencana ini sama sekali. Tapi ketika melihatku mogok makan seperti batitta -aku sungguh tidak punya pilihan lain- dan aku kejang-kejang pada suatu sore sementara hanya dia yang ada di ruanganku, Michael langsung mengiyakan dan berjanji akan membantuku keluar tidak lebih dari tiga jam.

Aku berbaring menyamping dan memperhatikan Mom yang tertidur di sofa sambil menghitung mundur dari dua ratus sampai Nol. Aku menatap jarum jam yang terus bergulir sementara telingaku meninggi, menunggu ketukan di pintu. Aku mengambil secarik kertas dari atas meja ketika melihat Mom sudah tertidur pulas dan menuliskan pesan untuk Mom kalau-kalau dia terbangun dan mencariku. Aku mengatakan padanya bahwa dia tidak perlu khawatir karena aku tidak melarikan diri dan melakukan hal-hal konyol.Aku hanya ingin menghirup udara segar.

Tepat ketika aku baru meletakkan kertas itu di meja, Michael mengetuk pintu dua kali, sebagai tanda bahwa semuanya siap dan koridor rumah sakit sudah aman. Aku melompat dari kasur, meraih mantel hitamku dan topi rajutan, sebelum berjinjit ke pintu dan membukanya perlahan-lahan. Michael berdiri di sana dengan rambut acak-acakkan. Ia memanggul dua ransel di punggungnya, "Semua oke. Kutunggu kau di mobil."

"Oke."

Aku menutup pintu di belakangku sambil menahan napas. Aku berjinjit menelusuri koridor menuju kamar 301, sesekali menoleh ke belakang kalau-kalau Mom pura-pura tidur dan membuntututiku.

Aku mengetuk pintu kamar Amy sebanyak tiga kali, sebagai isyarat ini aku. Dua kali sebagai isyarat ini Michael dan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Sekali sebagai isyarat rencana ini gagal. Aku menunggu dengan gelisah di depan pintu. Kenapa Amy tidak keluar- keluar juga? Apakah dia tertidur?

Aku baru akan mengangkat tangan untuk mengetuknya lagi ketika kusadari tidak ada ketukan keempat. Mungkin Amy sedang berganti baju. Mungkin ia tengah—

Pintu terbuka. Amy berdiri di sana dengan sweater abu-abu tebal dan sarung tangan. Ia tersenyum ketika menatapku dan menempelkan telunjuknya di bibir, "Ibuku sedang tidur."Ia menoleh ke belakang was-was dan menutup pintunya perlahan- lahan. "Kita akan kemana?"

"Ke suatu tempat."Aku menggenggam tangannya ketika menelusuri lorong demi lorong menuju lantai satu. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Amy menatapku khawatir, "Kau yakin kau baik-baik saja?"

Aku menatapnya murung, "Amy, jangan mulai."Ia menunduk sambil menggesek-gesekkan kakinya ke lantai. Ketika lift membuka, aku menariknya masuk sementara ia tetap tidak mau menatapku. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah. Amy hanya khawatir. Tidak seharusnya aku bersikap menyebalkan.

"Amy..."Ia mendongak menatapku dengan tatapan yang tak terbaca. Saat itu aku tidak bisa menebak perasaannya, "Aku sudah makan banyak makanan dan obat agar aku bisa sehat. Kau masih percaya pada perkataanku bahwa aku tidak akan mati, kan?"

Summer Memories (Summer Memories #1) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang