You (Chapter 3)

2K 195 9
                                    

     Setelah berhari-hari bekerja, akhirnya ayah Yoona pulang kerumah. Kali ini wajahnya terlihat berseri-seri, memasuki rumah dengan kunci cadangan yang ia miliki. Pada saat itu keadaan rumah terlihat sepi, mungkin karena Yoona sedang bersekolah. Hal yang pertama kali ia lakukan yaitu masuk kedalam kamar anak tercintanya. Meletakkan sebuah kotak berukuran sedang di atas meja belajar anaknya. Dilihatnya sebuah catatan harian Yoona yang ada di atas meja belajar.


Hal yang sampai saat ini sangat aku sesalkan adalah ketika aku terus mendesak appa agar membelikanku jaket. Tidak menghiraukan bagaimana kehidupannya diluar sana. Sungguh aku menyesali itu. Kini aku sangat merindukannya, dan aku bertekat, ketika aku bertemu dengannya, aku akan mengatakan itu, bahwa aku tak lagi menginginkan jaket itu.

Aku benar-benar bodoh, aku merasa sudah sangat bersalah atas tindakanku selama ini terhadapnya. Seharusnya aku mendukungnya, menjaganya dengan baik. Dan hal lain yang membuatku merasa menyakitinya. Karena aku juga merindukan eomma. Hal yang sepertinya tidak dirasakan olehnya.

Apa yang harus aku lakukan jika nantinya eomma kembali? Karena sepertinya appa tidak menginginkan itu. Mengingat seringnya ia memarahiku ketika aku mengatakan bahwa aku tengah merindukan eomma. Mengapa appa sampai semarah itu? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang telah eomma lakukan terhadapnya? Jika seperti ini, apa aku harus merelakan hidupku tanpa ditemani seorang ibu? Selamanya?

     Isak tangisnya pun terdengar mengisi ruangan yang sepi itu. Ia terduduk di kursi yang ada dikamar putrinya. Didalam kegelapan dan ditemani kesunyian, hingga malam tiba. Catatan yang baru saja ia baca masih terus terputar di memorinya. Ia benar-benar merasa bersalah, tak seharusnya putrinya mengalami kehidupan yang seperti ini. Hidup miskin dan tidak didampingi oleh ibunya. Dan juga dirinya yang tidak bisa sepenuhnya memberikan hal yang putrinya inginkan. Dia sungguh merasa terpuruk.

     Tetapi ketika ia mengingat kata "eomma", dengan cepat amarah menyelimuti dirinya. Matanya memerah menahan emosi, tak ada lagi air mata, yang terlihat hanya raut wajahnya yang menakutkan. Disela itu, ia mendengar pintu rumahnya terbuka dan juga bunyi langkah pengguna sepatu hak tinggi. Tidak lama dari itu sebuah suara terdengar dan berhasil membuatnya mematung diatas tempat duduknya.
"Yoona-a.. Kau dimana?" suara itu terdengar lantang ditengah sepinya malam. "Yoona-a.. Eomma kembali." darahnya mendidih. Kegelisahan menguasai dirinya. Tentu amarahnya semakin memuncak. Ia bangkit dari duduknya, dengan langkah cepat ia menghampiri asal suara itu. "omo!" wanita dengan pakaian yang modis, tepatnya seperti anak muda, dengan make-upnya yang sedikit menor, ditambah sepatu hak tingginya yang terlampau tinggi. Ayah Yoona nyaris tidak mengenali wanita itu. "kau! Kenapa kau datang secara tiba-tiba! Kau mengagetkanku saja." bentak wanita yang sepertinya sudah berumur itu.
"Mwo?" masih mencoba menahan amarahnya.
"Dimana putriku?" tanya wanita itu dengan angkuh.
"Kau kira kau pantas menanyakan itu?" tangkasnya dengan geram.
"Jangan banyak bicara, aku kesini hanya ingin menemui putriku. Aish, kenapa rumah ini gelap gulita seperti ini? Ternyata kau masih seperti dulu. Kau masih bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Kasihan sekali puteriku."
"Keluar!" bentak ayah Yoona.
"Hoh, apa kau bilang?"
"Keluar dari rumah ini!"
"Kau benar-benar kurang ajar." 


     Melihat wanita itu yang tak juga bergerak, ayah Yoona pun mendorongnya keluar, tapi wanita itu berusaha melawannya. Bahkan wanita itu menampar ayah Yoona menggunakan tas miliknya. Berkat tamparan itu, sebuah sayatan terlihat di pipi ayah Yoona, dan tidak lama dari itu darah pun mengalir di wajahnya.

"Keluar sebelum aku menggunakan kekerasan." suaranya pelan tapi penuh dengan tekanan. Tapi wanita itu tidak juga keluar, ia malah berjalan ke dapur lalu mengambil segelas air mineral untuk diminumnya. Merasa sudah berada diujung kesabarannya dan tidak dapat menahannya lagi. Seperti kilat ia menghampiri wanita itu yang masih berada di dapur, lalu mencengkram lehernya dengan kuat.
"Apa yang kau lakukan! Lepaskan!" teriak wanita itu terbata-bata. "yak! aku tidak bisa bernafas!" tapi ayah Yoona tidak juga melepaskan cengkramannya.
"Kau lupa dengan apa yang telah kau lakukan terhadap kami?" menghantam tubuh itu ke meja yang ada dibelakangnya, masih mencengkram leher itu. "kau meninggalkan kami disaat keadaan masih sangat kacau!" air mata menggenangi kedua matanya. "dan juga, tanpa perasaan kau limpahkan aku hutang-hutangmu yang berjumlah luar biasa itu!" perlahan air mata itu mengalir, walau terlihat enggan. "hidup kami semakin hancur berkat kau! Dan sekarang, berani-beraninya kau kembali kesini? Apa kau benar-benar ingin mati!"
"Uhuk! Uhuk! Tolong!!!" cengkraman itu terlepas dikarenakan wanita itu menusuk paha ayah Yoona menggunakan pisau, pisau yang ia dapat dari meja yang ada dibelakangnya. Ayah Yoona meringis kesakitan. Melihat itu pisau terlepas dari tangannya. "mati? Seharusnya kau yang mati! Pria tua sepertimu tak pantas hidup!" tampak ketakutan wanita itu melangkah menjauh. Tapi ayah Yoona tidak membiarkannya begitu saja. Dengan langkahnya yang terlihat pincang, ia berlari guna menutup pintu dapur, lalu tak lupa menguncinya. Wanita itu lantas semakin ketakutan. Dengan tubuh gemetarnya ia terus berteriak meminta pertolongan.
"Kaulah yang harus mati. Mati ditanganku." pisau yang tadinya terjatuh dari tangan wanita itu kini sudah berada ditangannya. Tidak sempat mengelak, pisau itu sudah melayang ke tubuh wanita itu. Tanpa kasihan ayah Yoona menarik kembali pisaunya dan kembali menusuknya. Ia melakukan itu berulang kali hingga tubuh itu tak lagi bergerak. Dan tewas.

You (COMPLETE)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora