04. Cousu-ya Partai Pengemis

6.9K 112 2
                                    

Mendengar itu terkejutlah Siau-liong. Ingin sekali ia memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati si nona terpaksa ia tahankan hati.

Memang pendatang itu adalah Ki Ih atau yang digelari orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang berbisa).

"Ah, kiranya engkau belum pikun, Seharusnya engkau tahu bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu adalah musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak membunuhnya? Biarkan mereka beristirahat memulihkan tenaga dulu baru nanti kujadikan setan-setan tanpa kepala! Nah, selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"

"Bagus, memang aku belum puas hanya mencabut lima orang. Perempuan siluman, lihat seranganku!" seru Soh-beng Ki-su.

Sinar pedang berhamburan, angin menderu-deru. Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi. Kedua tokoh itu makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada kedengaran suaranya lagi.

Saat itu Siau-liong berhasil menyelesaikan penyaluran tenaga dalam yang terakhir. Bergegas-gegas ia memberi pil kepada nona itu, "Minumlah dan setelah beristirahat beberapa waktu, tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat tinggal...."

"In-jin....!" Tiau Bok-kun memanggil. Tetapi pemuda itu sudah lenyap. Berlinang-linang airmata nona itu. Ingin ia menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih belum mengijinkan.

Begitu keluar dari biara, Siau-liong tak menghiraukan kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk bersemadhi itu. Ia lari menuju ke arah tempat ibunya. Tetapi seratus li telah ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan Soh-beng Ki-su.

Dua hari lamanya Siau-liong berkeliaran mencari ibunya. Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan tenaga dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka ketika tiba di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah makan. Rencananya, setelah makan ia hendak membeli pakaian baru.

Suasana dalam kota terang-benderang, rumah dihias dengan lampu tenglong warna-warni. Jalan penuh orang pesiar. Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah malam Tiong-ciu atau pertengahan musim rontok. Rembulan purnama-sidhi. Rumah-rumah mengadakan sesaji dengan kuweh Tiong-jiu-pia.

Tengah ia berjalan, serombongan anak-anak laki segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali serta menggodanya.

Siok-ciu termasuk wilayah Su-jwan. Menurut adat kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak diberi kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi. Mereka menggunakan tali dan bandringan. Benda itu berat tetapi tak melukai.

Siau-liong menyambar seutas tali yang dilempar seorang anak. Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi sampai mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu. Karena hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong lepaskan tali itu.

"Uh, uh....," bocah itu pontang-panting jatuh terjerembab. Kepalanya benjul terbentur tanah dan menangislah ia gerung-gerung ......

Melihat itu kawanan anak-anak nakal segera mengepung Siau-liong. Siau-liong jengkel. Kalau didiamkan mereka makin liar.

Siau-liong tak mau cari perkara. Ia diam saja dan akhirnya anak-anak itu kesal sendiri. Pada saat itu Siau-liong menyiak dua anak lalu menerobos keluar. Walaupun tak menggunakan tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak terpelanting jatuh.

"Hu, hu, huuu....," menangislah mereka.

"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!" hiruk-pikuk kawanan anak nakal itu berteriak-teriak sambil mengejar.

Tetapi Siau-liong sudah jauh. Ia terhindar dari gangguan anak-anak nakal tetapi ia gagal membeli makanan dan pakaian.

Saat itu ia duduk disebuah batu dalam hutan. Sambil melepaskan lelah, ia mengusap-usap lencana Tengkorak didadanya dengan menyeringai. Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang berada dalam gua tempo hari.

Pendekar LaknatWhere stories live. Discover now