57. Pelepasan Sandera

3.3K 60 0
                                    

"Sucou, engkau...." teriak Song Ling.

Siau-liong tak mendengar apa pun yang dibisikkan orang tua itu kepada Song Ling. Ia terus melesat pergi.

"Maaf, akupun akan mengikuti saudara Kongsun." Si tinggi besar Lu Bu-ki pun segera memberi hormat kepada Pertapa-sakti-mata-satu itu terus menyusul Siau-liong.

Song Ling hanya memandang terlongong ke arah bayangan pemuda itu. Walaupun ucapan orang tua itu hanya kata-kata menghibur, tetapi tak urung hati dara itu tergerak juga. Entah bagaimana saat itu ia merasa seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini.

Sejak kecil ia hidup bersama ibunya di gunung Bu-san yang sepi. Selama itu tak pernah ia berkawan dengan anak lelaki. Ia berangkat dewasa dalam alam kesunyian.

Sejak berkenalan dengan Siau-liong, walau pun keduanya saling menjaga kesopanan tetapi tanpa terasa dalam hati dara itu tumbuh semacam perasaan yang aneh. Suatu perasaan yang belum pernah dialami seumur hidup. Ia merasa takut kalau ditinggal pergi pemuda yang baik budi itu.

"Nak, apakah engkau sungguh-sungguh suka kepadanya?" tiba-tiba orang tua sakti itu menegurnya.

Song Ling mendesus lalu tertawa tersipu-sipu. Ia tak mau menjawab melainkan mengikuti di belakang kakek gurunya berjalan.

Sementara itu karena menggunakan ilmu meringankan tubuh, dalam beberapa kejap saja dapatlah Sau-liong mencapai tiga li jauhnya.

Sambil lari, ia tetap memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tetapi sampai sejauh itu ia tak melihat barang seorang pun jua. Seketika timbullah rasa curiganya, "Huh, jangan-jangan orang tua bermata satu itu hanya mengelabuhi aku supaya pisah dengan Song Ling ...."

Dengan napas terengah-engah, Lu Bu-ki menyusul tiba, serunya, "Apakah saudara Kongsun melihat seseorang?"

"Kita tentu ditipunya. Sampai sepuluh li jauhnya tak kelihatan apa-apa. Memang di dunia tak mungkin terdapat orang dan ilmu seaneh itu," sahut Siau-liong.

Lu Bu-ki banting-banting kaki dan menggembor: "Benar! Aku juga tak percaya pada ilmu begitu!"

Sejenak meragu, Siau-liong lanjutkan larinya lagi. Kira-kira dua puluh tombak jauhnya ia tiba dibawah kaki sebuah gunung. Kaki gunung itu penuh ditumbuhi gerumbul rumput dan aneka pohon seperti di dalam hutan. Tetapi Siau-liong tak mendengar suara dan melihat sesuatu.

Berpaling ke arah Lu Bu-ki, ia gelengkan kepala terus hendak pergi. Tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar bunyi cengkerik dari balik sebuah batu besar.

Siau-liong dan Lu Bu-ki tertegun. Setelah pasang pendengaran barulah mereka mendengar suara orang bicara.

"Engkau mau pergi atau tidak!" seru seseorang.

Seorang wanita menjawab, "Ah, aku memang benar-benar tak dapat berjalan lagi!"

Mendengar suara itu, girang Siau-liong bukan kepalang. Kedua orang yang berbicara dibalik gerumbul itu jelas paderi Liau Hoan dari Thian-san dan pemilik Lembah Semi Poh-Ceng-in.

Terdengar Liau Hoan membentak, "Apakah suruh aku menggendongmu?"

Poh Ceng-in menghela napas panjang, ujarnya, "Lebih baik bunuh aku sajalah!"

Liau Hoan tertawa dingin: "Jika memang membunuhmu tak perlu kubawa engkau kian kemari seperti ini!"

Siau-liong kerutkan dahi. Dilihatnya paderi kurus dari Thian-san itu muncul dari balik batu sambil menjinjing tubuh Poh Ceng-in.

Begitu melihat Siau-liong, paderi itu girang sekali. Ia maju menghampiri, "Kukira engkau sudah mendaki kepuncak Kim-ting, tak kira kalau dapat bertemu disini."

Pendekar LaknatWhere stories live. Discover now