PART 9 - Long Distance 2

891 34 1
                                    

PART 9 

Hai guys! Setelah melewati banyak pertimbangan dan pengubahan, akhirnya ini dia lanjutan dari part sebelumnya. Hope you like it Guys! Happy reading!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Nessa POV

 

Mungkin untuk saat ini, putus adalah jalan yang terbaik untukku dan Dhavi. Mungkin ini saatnya kami untuk hidup masing-masing, menjalani kehidupan yang lebih baik dengan orang lain dan belajar untuk menjadi orang yang lebih baik. Otakku terus saja mengeluarkan keputusan untuk berpisah dengan Dhavi tanpa memberikan kesempatan bagi cara lain untuk keluar di pikiranku. Hatiku terus mencoba untuk melawan pikiranku sendiri, mencoba untuk yakin bahwa ada cara lain yang lebih baik daripada berpisah.

Banyak orang bilang, kita harus mengikuti kata hati kita. Tapi aku tidak begitu yakin dengan hatiku sendiri. Rasanya terlalu menyakitkan, tetapi jauh di dalam sana terdapat nama dan ingatan tentang Dhavi yang kurasa takkan bisa ku hapuskan. Banyak kenangan manis yang seketika muncul dan membuatku ingin mengurungkan niatku untuk berpisah, tapi ternyata kecemburuanku lebih kuat kebanding kenangan itu. Banyak juga orang yang bilang, kalau semakin besar rasa cemburu maka makin besar pula perasaan yang kita punya terhadap seseorang. Mungkin hatiku telah terisi penuh dengan Dhavi sehingga aku tidak bisa berhenti untuk memikirkan keputusan apa yang seharusnya aku ambil.

Aku tidak bisa berhenti berfikir, menangis dan terus memandangi layar handphoneku yang terus diisi penuh oleh nama Dhavi serta fotoku dengan Dhavi. Sudah ada hampir 50 panggilan tak terjawab dari Dhavi. Dia memang tipe laki-laki yang tidak akan berhenti untuk berjuang. Itu berarti, dia ingin memperjuangkan hubungan kami. Mungkin yang aku butuhkan hanyalah waktu untuk menenangkan diri dari semua ini. Aku butuh waktu!

Tepat di panggilan yang ke 60 aku menjawab telfon dari Dhavi. Aku rasa aku harus bicara dengannya dan aku rasa aku sudah siap menghadapinya.

“Halo Nessa. Aku minta maaf Nes. Kenapa kamu matiin telfonnya gitu aja?” dengan nada yang terdengar panik, Dhavi langsung berbicara begitu aku mengangkat telfonnya.

“Dhav.” Aku mencoba untuk mengeluarkan kata-kata sambil terus menahan kesedihanku.

“Nessa. Aku gak mau putus sama kamu Nessa. Kita bisa omongin dulu kan semua ini.” Suara Dhavi terus saja terdengar gelisah dan aku juga bisa merasakan kalau dia sedang menahan tangisannnya. Ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menangis karena aku.

“Aku gak tau Dhav. Mungkin alesan kamu tidur sama Katie bukan alesan utama aku mau kita putus.” Air mata yang aku tahan sejak aku menjawab telfon Dhavi kini sudah tak dapat aku tahan lagi. Terlalu berat untukku mengatakan kata-kata semacam itu.

“Nessa please! Kenapa harus putus?” kenapa harus itu yang jadi pertanyaan kamu Dhav?

“Kita butuh waktu sendiri dulu Dhav. Kita butuh introspeksi diri masing-masing. Kamu juga bisa jadi lebih konsen kan kalo gak aku ganggu. Kamu gak perlu mikirin waktu kapan harus nelfon aku, kapan harus ngabarin aku dan kamu juga gak perlu mikirin apa aku bakal marah kalo kamu ngelakuin sesuatu. You can do anything you want! You can be free. Maybe you can be better without me.” Aku harap keputusan ini dapat ku terima sendiri bukan hanya Dhavi yang harus bisa menerimanya.

Chicken Porridge LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang