Cermin 1

235 23 20
                                    


Tema : Benci

Aku tidak tahu kalau tindakanku salah, hanya tahu harus bertindak sesekali. Sudah cukup aku terus mengikuti arus cerita yang dia buat. Untuk satu alasan mungkin aku wajib mengikutinya, tapi jika sudah mengarah ke hal yang berbau pribadi, apa harus tetap diam dan bertindak seolah tidak tahu apa-apa?

Dulu mungkin aku bisa bersikap seperti itu, menutup semua indraku dari perkataan orang-orang tentangnya. Selalu percaya dengan pilihan yang dia ambil dan yakin akan perkataannya. Mungkin karena aku hanya memilikinya, baik itu sebagai seorang teman atau seseorang yang paling mengerti akan diriku.

"Maaf ... aku tahu itu bukanlah hal yang pantas dimaafkan. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku juga berat melakukan itu semua." Salah satu dari sekian banyak ucapannya tempo hari yang aku ingat. Maaf? Apakah makna kata itu semudah seperti saat dia mengucapkannya? Aku rasa tidak! Maaf memiliki banyak arti, tetapi untuk dia, aku rasa kata maaf tidak memiliki arti selain sebagai topeng belaka.

Derap pintu tanda terbuka memasuki indra pendengaranku. Aku rasa itu pasti dia yang datang dan tujuannya hanya satu, membuatku kembali luluh kepadanya, mempercayainya seperti sebelum semua ini terjadi, menyanjung dan mengutamakan kepentingannya.

"Aku minta maaf, Lis ... aku ingin hubungan kita kembali seperti semula. Aku sadar aku sudah bertindak kelewatan, tapi apakah tidak ada sedikit maaf untukku?" Tanpa memedulikan izin dariku, dia seenaknya masuk dan langsung duduk di depanku.

Aku mengangkat wajah sambil memandang datar ke arahnya. Raut wajahnya menampilkan ekspresi kesedihan, tapi tidak di matanya. Aku tidak ingin tertipu untuk sekian kalinya dari orang yang pandai memainkan ekspresi wajah. Sudah cukup aku bersikap bodoh dan mudah menaruh simpati pada orang lain. Kejadian beberapa waktu lalu membuatku sadar akan perilaku manusia. Tidak semua tindakan yang mereka lakukan bersifat tulus dan apa adanya.

"Sudah cukup meminta maaf, Ken. Situasi di antara kita sudah tidak memungkinkan lagi untuk bisa seperti dulu. Kalau memang kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan kenapa harus kamu lakukan?" ujarku sedikit emosi. Jujur aku sudah tidak bisa bersikap datar lagi, menahan semua rasa yang minta dikeluarkan sejak aku melihat wajahnya memasuki ruanganku yang tidak lebih dari seluas hatiku saat ini kepadanya.

'Tuhan, kenapa engkau harus mengujiku dengan keadaan yang tidak terduga seperti ini? Apakah kamu mencoba menegurku karena selama ini terlalu buta dan bersikap acuh terhadap sekeliling?' Setiap aku marah aku pasti melontarkan pertanyaan tersebut kepada sang khalik.

Merebahkan punggungnya pada sandaran sofa, dia mengembuskan napas berat tanda kecewa. Kecewa? Aku tidak yakin apa yang aku simpulkan dari gurat wajahnya benar. Karena aku menganggap segala yang ada pada dirinya hanyalah sebagai kebohongan dan sandiwara semata.

"Aku tidak tahu dia adalah adikmu, Lis. Aku hanya mencoba merangkak naik ke atas dan saat itu aku melihat dia adalah batu loncatan yang bagus. Seharusnya kamu berterus terang juga tentang keluargamu." Suaranya terdengar biasa sekarang, malah ada sedikit emosi di sana.

Aku tersenyum mendengar pembelaannya barusan, masih sempatnya dia mencoba melempar kesalahan padaku.

"Apa dengan memanfaatkan kepolosan adikku dan menyebarkan info palsu tentang diriku kamu bakal bisa meraih kesuksesan? Aku pikir kebaikanku selama ini dengan mempercayakan kamu sebagai Manajer Lapangan sudah cukup untukmu, tapi kamu terlalu serakah Ken." Aku mengeluarkan sebuah map biru dari dalam laci meja dan melemparkan ke depannya.

"Kamu tidak akan bisa jadi pemimpin jika hanya memanfaatkan orang lain, terlebih hubungan persahabatan kita yang sudah tidak baru lagi."

Aku bangkit dari kursi dan melangkah ke arah pintu. Biarlah aku yang keluar dari ruanganku sendiri dan membiarkan dia menikmati nyamannya ruangan seorang Direktur untuk terakhir kalinya, sebelum dia merasakan dinginnya jeruji besi.

Kumpulan CerminWhere stories live. Discover now