Cermin 3

92 12 5
                                    

Genre Hisrom


Berada di Antara Jingga

Jakarta, 17 Agustus 1945

Hari bersejarah sedang berlangsung di Jakarta, tepatnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Seorang tokoh bangsa bernama Ir. Soekarno sedang membacakan teks Proklamasi sebagai bukti kemerdekaan Indonesia.

Aku tidak tahu bagaimana euforia orang-orang yang berada di sana, melihat langsung sang tokoh bangsa dengan mata telanjang. Menikmati kebebasan yang sudah lama didambakan dan mulai menata kehidupan yang baru. Tak ada yang tidak bahagia, tak ada yang tidak menikmati suasana kemerdekaan. Anak-anak yang masih di bawah umur harus berjuang melawan penjajah sebelum waktunya telah dapat kembali ke rumah mereka; orang tua yang harus meninggalkan keluarganya untuk mempertahankan tanah bangsa bisa lagi melihat wajah teduh istri dan anak-anaknya; para sukarelawan yang telah merelakan kehidupan dan nyawanya untuk bisa membantu para pahlawan bangsa mengusir penjajah dapat tersenyum bahagia. Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Semua pengorbanan, kepedihan, ketakutan, semangat juang, bahkan mimpi-mimpi yang sempat hilang, sekarang sudah melebur menjadi satu, menjadi semangat kemerdekaan. Ya, semangat kemerdekaan.

Aku, Jingga. Seorang gadis yang masih bisa merasakan semangat dan bukti perjuangan seluruh rakyat Indonesia melalui kamar kosku yang kecil setelah tiga hari informasi itu dibeberkan melalui siaran Radio. Suara sorak sorai pemuda-pemudi menyanyikan lagu kebangsaan dan yel-yel kemerdekaan terdengar jelas dari seluruh penjuru kota, kampung-kampung dan daerah yang telah mendengar informasi berharga tersebut. Tak ayal, beberapa pemuda sengaja mengetok kamar kosku hanya untuk mengajak ikut arak-arakkan memutari kampung.

Aku hanya mengangguk lemah menyahuti setiap ajakan yang datang. Dua hari sebelum kemerdekaan sampai sekarang aku tidak pernah keluar dari kamar kos. Aku juga ingin merasakan nuansa kemerdekaan, hidup bebas tanpa ada tekanan dan intimidasi. Ikut berpartisipasi dalam setiap acara rakyat yang diselenggarakan. Tapi, ada sesuatu yang menahan hatiku, membelenggu jiwaku untuk ikut bergelung dalam rasa yang sedang menyelimuti bangsa ini. Kemerdekaan RI berarti kesedihan bagiku. Aku tahu aku salah. Hatiku kalah dalam peperangan, gagal mempertahankan cahaya yang selama ini memberi kehangatan. Dalam hati berdoa, berharap sekali lagi peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang mampu membuat dia kembali.

****

Surakarta, 3 Agustus 1949

Sudah 4 tahun sejak kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan. Bangsa Indonesia memang sudah merdeka, tapi belum sepenuhnya lepas dari jerat penjajah. Berita-berita di radio masih menginformasikan bagaimana sekutu yang diboncengi NICA ingin menguasai Indonesia lagi. Suara dentuman meriam dan senapan masih terdengar di berbagai penjuru, menandakan bangsa ini masih belum menyerah.

Aku mempercepat langkahku, menyusuri jalan setapak yang hanya diterangi obor dari rumah sekitar. Pagi tadi aku, suami dan beberapa mahasiswa di panggil ke kantor kepala desa, memberitahukan bahwa ada rencana gerakan untuk mengusir sekutu dari Surakarta, tepatnya kota Solo.

"Kita berangkat pukul 3 dini hari, Jum. Kamu udah siapkan semuanya?"

Aku yang sedang membereskan beberapa perlengkapan medis dan beberapa peralatannya lainnya di ruang tamu terkejut saat suamiku datang dengan langkah tergesa-gesa. Mengambil segelas air, aku memberikan padanya yang langsung di teguk habis.

"Pukul 3? Terus anak-anak gimana mas? Aku khawatir sama mereka," ujarku pelan. Aku duduk di sampingnya sambil meremas kedua tangan. Keraguan kembali timbul dalam hatiku untuk ikut membantu penyerangan ini. Walaupun aku hanya sebagai tim medis yang jauh dari garis depan, tetap saja aku takut dengan suara senapan dan meriam yang membabi buta itu.

"Mereka aman bersama Ayah. Kamu nggak usah khawatir, Jum. Ada hal yang lebih penting dari keluarga untuk saat ini," ujarnya lantang.

"Tapi, mas..."

"Jingga Jumarti, hentikan semua keraguan kamu itu. Saat ini kemerdekaan bangsa lebih penting dan perebutan kota Solo adalah salah satu gerakannya. Jadi simpan tangismu itu saat kita kembali nanti."

Aku hanya mampu memejamkan mata. Menyapu bulir-bulir yang mulai mengalir dengan kedua telapak tangan. Perkataannya memang tidak bisa disangkal dan sampai kapan pun akan selalu seperti itu. Suamiku yang menjadi salah satu anggota II Brigade 17 Surakarta sudah disiapkan sebagai garda tempur bangsa untuk mengusir sekutu.

Bangsa nomor satu dan keluarga adalah nomor dua.

"Aku percaya sama kamu, Mas." Aku tidak tahu dia mendengarnya, karena aku mengucapkannya dengan begitu lirih saat dia sudah sampai di pintu kamar.

****

Pukul 3 dini hari kami semua sudah berkumpul di Post yang telah ditentukan, aku masih satu tim dengan suamiku. Kami bertugas menyusuri sisi kiri kota yang banyak terdapat bangun-bangunan kosong. Aku dengan tim medis lainnya akan berangkat pada gelombang ketiga, satu jam setelah garis terdepan memasuki daerah musuh dan melancarkan serangan.

Satu kilometer pertama suara tembakan masih belum begitu keras terdengar, sehingga kami dapat mempercepat langkah dan menyusuri jalan yang sudah ditandai oleh gelombang kedua. Saat melewati sebuah bangunan tua bertingkat, sebuah mortar meledak di depan kami. Aku dan tim medis lainnya lari mencoba berlindung. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dari arah samping kami beberapa pasukan sekutu datang dengan senjata yang mampu menyayat nyawa. Otakku pening, penglihatanku buram untuk sesaat. Strategi kami di baca oleh musuh, itulah yang aku pikirkan.

Menggerakkan kakiku menuju sebuah bangunan bercat putih di depan, aku berlari sekencang-kencangnya. Tidak memedulikan keadaan sekitar.

"Jum?"

Aku terkejut saat namaku di sebut oleh seseorang.

"Jum, awas!!"

Aku langsung menunduk saat suara itu berteriak. Beberapa tembakan melesat di atas kepalaku, bahkan anginnya dapat aku rasakan dari puncak kepalaku.

Suara tembakan mulai mengisi ruangan sempit ini. Di sisi kiri, suamiku mulai menembakkan timah putihnya ke arah tentara sekutu yang mulai merangsek masuk. Aku hanya bisa menunduk dan mencoba mencari tempat berlindung. Sesaat suasana menjadi hening, aku menoleh dan melihat senyum teduh suamiku. Orang yang begitu baik, penyayang dan pengertian kepadaku, tapi tetap saja tidak berhasil menggapai dasar hatiku.

Mataku melotot ke arahnya, tidak menyukai ekspresi yang diperlihatkannya. Tanpa aku sadari sebuah peluru menembus sisi kiri rongga dadanya. Melangkah cepat, aku bersimpuh di sebelahnya yang sudah terduduk lemas bersandar ke dinding. Tidak... dia tidak boleh mati. Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

"Mas... bertahanlah. Demi aku dan anak-anak," ujarku serak. Memompa bagian dadanya bakal percuma. Aku tidak bisa menahan aliran darah yang mengucur deras dan juga aliran dari kedua pelupuk mataku. Senyumnya di akhir malah membuatku tambah sedih, menderita dan tambah membenci bangsa ini.

Aku mengubah posisi badanku sedikit menyerong, melihat penembak yang membatu di ujung ruangan. Mata biru dengan alis tebal yang sangat aku kenal. Gurat wajahnya terlihat lebih tegas dari terakhir yang aku lihat dan ditumbuhi bulu-bulu halus serta badannya sedikit lebih tegap sekarang.

"Jingga,"

Sudah lama aku tidak mendengar nama itu disematkan kepadaku. Sudah lama aku mengubur semua angan-angan itu, sekarang semuanya malah keluar saat melihat tatapan tegas itu. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan, aku merogoh tasku untuk mengambil pistol perak yang selalu aku persiapkan. Dengan tangan gemetaran, aku mengarahkan pistol kepadanya, mencoba sekuat tenaga menarik pelatuknya.

"Jingga,"

"Komandan Van Hor'm,, di kiri anda."

Aku mendengar seorang serdadu melangkah dari belakangnya sambil melepas tembakan. Seketika pistol yang aku pegang terlepas, pandanganku buram dan darah segar dengan jelas kurasakan mengalir dari tubuhku. Sebelum semuanya menghitam aku dapat melihat ekspresi menggelikan dari wajahnya. Air mata yang terurai sebelum dia menembaki serdadu di belakangnya.

Kumpulan CerminWhere stories live. Discover now