Cermin 6

79 10 21
                                    


DESPERATE AWAY

"Jum, ayo cepat. Aku tidak ingin kita terlambat lagi gara-gara kekaguman tidak jelasmu itu." Sebuah suara menginterupsi indra pendengaranku dan tak lama kurasakan tarikan di lengan kiriku. Aku yang sejak tadi fokus menatap sebuah tugu yang sejak dulu sudah menjadi lambang ibu kota dengan balutan emas di atasnya itu tidak siap dengan aksi kesal Jenny—gadis tomboy—yang hampir saja membuat kami berdua jatuh ke dalam selokan yang ada di sebelah kiriku. Tangan kananku yang bebas dan kedua lututku bertubrukan dengan field yang menutupi selokan tersebut dan menahan bobot badan kami di atasnya. Sebuah field kasat mata tapi mampu menahan bobot seberat apapun agar tidak jatuh ke dalam aliran listrik yang mengalir di bawahnya.

"Cantiknya ...." Gadis itu membeo dengan tatapan tidak lepas dari aliran warna biru tersebut. "Jum, kamu lihat tidak betapa cepatnya arus listrik itu mengalir? Percikannya tampak seperti kupu-kupu kecil berwarna biru yang sedang dalam musim kawin," tambah gadis itu santai. Aku hanya menggelengkan kepala sambil menepuk-nepuk celanaku. Menurutku hal yang paling indah adalah sesuatu yang berharga dan berkilauan seperti emas, tapi gadis ini memiliki pemikiran aneh. Dia malah menyukai sesuatu yang bergerak dalam kecepatan cahaya dan memiliki sengatan kuat. Dasar maniak listrik, itu julukan yang sering aku lontarkan padanya.

"Jika kasus cosmopolit tidak terjadi, mungkin saat ini kita sudah berkubang lumpur, Jen. Layaknya selokan negara kita lima puluh tahun yang lalu yang dipenuhi oleh limbah masyarakat dengan bau menyengat."

"Jangan terlalu percaya dengan omongan pak tua Zam itu, Jum! Kita tidak tahu bagaimana keadaan Jakarta 50 tahun yang lalu, bisa saja laki-laki tua itu mencoba mencuci otak kita." Jenny berkata ketus yang hanya kujawab dengan tatapan sinis. Aku tidak tahu kenapa gadis ini tidak pernah suka mendengar sejarah bangsa dan mendengar fakta yang menurut dia sangat menjijikkan. Bangsa yang dipenuhi koruptor dan teroris. Di mana-mana sampah berserakan dan memenuhi sungai kota. Taman kota yang sangat sedikit dan jalanan kota yang semberawut karena dipenuhi kendaraan.

"Ayo, Jum. Sebentar lagi mobilnya lewat."

Menggelengkan kepala menghadapi keanehan gadis itu yang sejak kecil selalu mengganggu hidupku, aku membiarkannya menarik tanganku menuju halte di depan kami.

"Seandainya kita memiliki pollycar sendiri ya, Jum. Kita tidak perlu repot-repot setiap hari menunggu angkutan umum." Gadis di sampingku ini kembali merengek seperti kebiasaannya setelah sampai di halte.

"Hu'um," jawabku singkat tanpa berniat meladeninya. Aku sibuk melihat berita tentang model pollycar yang bakal dirilis oleh Industri melalui ponsel. Sebuah mobil terbang tipe sport dengan dua mesin pendorong yang tersembunyi dalam body-nya. Serta mesin HTX-300 sebagai mesin utama dengan kekuatan aliran listrik 100 kwh, di mana mampu membuat mobil itu melaju sangat cepat di udara. Bahkan dapat mendeteksi jarak jauh dalam radius 30 meter ke depan untuk menghindari tabrakan

"Jum! Ayo cepat." Teriakan gadis itu kembali terdengar membuat fokusku buyar. Tanpa aku sadari dia sudah memasuki bus dua tingkat yang sudah ada di depan. Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam saku dan melangkah malas mengikuti keinginan gadis itu. Bus bertipe WG8 ini sudah tidak layak lagi menurutku, walau masih mampu terbang dengan kecepatan 80 mph, tapi tetap saja sudah ketinggalan zaman karena akan bergoncang hebat saat berbelok di udara.

****

Setelah jam pelajaran usai, aku langsung menuju atap sekolah. Sedikit menghindar dari kebisingan dan dapat menatap kilauan emas tugu Monas. Setiap kali menatap tugu tersebut, aku seolah dapat melihat kilasan masa lalu bangsa, bagaimana perubahan besar telah terjadi dan kikisan sejarah yang tergores di sana.

Efek cosmopolit.

Efek beruntun yang berasal dari penyelewengan pembangkit listrik dan tubrukan dengan meteor yang tertarik ke bumi. Walaupun seluruh dunia merasakan dampaknya di mana aliran listrik mengalir bebas di tanah, tetap saja ada timpangan perkembangan teknologi yang terjadi.

Seperti biasa suara sorak-sorai siswa yang sedang bermain seluncuran dengan memanfaatkan field yang ada di atas tanah, mendominasi. Di sebelah kiri sekolah aku yakin saat ini beberapa anak sedang bertempur menggunakan hologram.

Aku menyipitkan mata melihat kepulan asap dekat tugu Monas yang disusul suara ledakan. Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan bergegas menuju kelas. Mencari seseorang lalu pergi ke tempat berlindung. Suara peringatan menggema di pengeras suara sekolah, memberitahukan kode A-3, artinya ada gejolak gelombang listrik yang terjadi dan bakal membakar apa saja di sekitarnya. Pemerintah selama ini sudah mencari cara untuk mengatasi gelombang tersebut dengan membuat tempat sembunyi yang mampu meredam listrik di area-area publik kota.

"Jen! Jenny ...." Aku berteriak di tengah kerumunan siswa yang lari dalam kepanikan. Secepat mungkin berusaha menemukan gadis tomboy itu. Kulit Jenny sangat sensitif terhadap gelombang listrik dan hanya dari hawa aliran itu saja sudah mampu membakar kulitnya. Aku tidak mau kejadian beberapa tahun silam saat kulitnya terbakar kembali terulang. Membelah kerumunan, aku berlari menuju kelas lalu perpustakaan. Meremas rambut, aku melampiaskan kekesalanku saat tidak menemukan gadis itu. Peringatan dari pengeras suara semakin keras memberitahukan untuk segera menuju lantai tiga. Aku menyandarkan punggung pada dinding, tidak menghiraukan teriakan dan langkah siswa di sekitar.

"Jum, ayo lari." Nanda—teman sekelasku menarikku untuk berdiri. Aku hanya menggeleng lemah dan membiarkan laki-laki jangkung itu menjauh. Sejenak aku memperhatikan sekeliling dan merasakan suasana seperti tidak penanganan kasus A-3. Melangkah ke arah jendela, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Pasukan keamanan ada di mana-mana dan menembak siswa yang ada di depan mereka. Sekilas pandanganku menangkap siluet seorang gadis dengan rambut di cepol ke atas di sisi kiri lapangan, tanpa menunggu lama aku berlari menuruni tangga dan langsung menuju lapangan. aku yakin itu adalah Jenny. Tapi apa yang sedang dilakukan gadis itu di sana?

"Jen! Jen ... ny," tenggorokanku tercekat saat melihat Jenny menodongkan pistol yang dipegangnya kepadaku. Matanya tampak kosong dan seolah-olah tidak mengenaliku.

Apa yang sebenarnya terjadi? ini bukanlah penanggulangan A-3, tapi seperti pemusnahan.

"Ha ha ha ha ...," suara gelak tawa seseorang terdengar dari arah belakang Jenny. Aku melihat sorot mata yang begitu menakutkan, tajam dan penuh intimidasi. Di bahunya terdapat bintang dua yang menandakan pangkatnya bukanlah sembarangan. Gurat wajahnya mengingatkanku akan seorang perwira yang sering muncul di media.

"Selamat bergabung, Jum." belum sempat aku menoleh, aku sudah merasakan sengatan listrik di sekujut tubuhku, membuat kesadaranku hilang sedikit demi sedikit. Samar-samar aku melihat laki-laki itu bertepuk tangan dan tertawa keras.

"Maafkan aku, Jum"


Kumpulan CerminWhere stories live. Discover now