Cermin 7

70 8 5
                                    


Pudar Dalam Rasa

Aku tidak tahu sebuah rasa dapat mengubah segalanya. Membuatku tergila-gila dan bertindak di luar nalar. Aku hanya ingin mengukuhkan dia jadi milikku, menandainya sebagai belahan jiwaku. Dan aku rasa tidak ada yang salah setiap tindakan dalam mempertahankan cinta.

"Kamu tidak harus bertindak seperti itu, semuanya tidak bisa dipaksakan."

Mataku menyipit mendengar pandangan subjektifnya. Padahal jelas sekali dia tidak mengetahui semua kejadian itu, hanya berkomentar berdasarkan asumsi yang sudah dikumpulkannya.

"Aku hanya mencoba memperjuangkan isi hatiku, apa yang salah dengan itu?" tanyaku menantang. Aku tahu dia tidak akan terpengaruh dengan emosiku, pandangannya selalu tenang dan membantah kata-kataku dengan jawaban penuh logika.

"Aku tahu itu dan aku bisa memahaminya, tapi apa kamu tidak memikirkan konsekuensi terhadap tindakan kamu itu?"

Aku tertawa mendengar pertanyaan retorisnya.

"Cinta bukanlah logika dan aku hanya mengikuti keinginan hatiku dalam bertindak," jawabku cuek.

Sejenak aku memejamkan mata, mengingat bagaimana pertemuan pertama kami. Waktu itu aku sedang bermain di taman bersama ibu dan adikku. Saat aku gagal menangkap bola dari ibu, aku terjatuh dan membuat bagian tumitku memar.

"Kamu tidak apa-apa? Bisa berdiri?" Belum sempat ibu sampai ke tempatku, dia sudah lebih dulu menolongku. Melepas sepatuku dan mengurut bagian tumitku sambil menempelkan air ludahnya ke sana. Aku tidak tahu siapa dia, tapi manik hitam yang tampak serius itu membuatku merasa terhisap dan mengaguminya

"Terima kasih." Ibu yang baru datang tersenyum lembut kepadanya sambil tersipu malu, bahkan aku cukup terpana melihat senyuman tipis yang ikut terbit di bibir laki-laki itu.

"Sadarlah, Ma. Setiap tindakan kamu hanya akan menyakiti ibu."

Suara tegasnya mengembalikan fokusku kepadanya. Asap rokok yang keluar dan mengepul di mukanya menandakan dia juga ikut resah dengan semua ini. Tapi, kenapa dia tidak paham juga dengan perasaanku?

"Kamu tidak akan pernah bisa seperti dirinya, menjadi bintang di kala senja. Kamu lebih cocok menjadi pelangi di kala hujan reda, lebih berwarna dan menawarkan keceriaan," selorohnya pelan.

"Dia tidak akan pernah melirikku jika aku terus bernaung di bawah warna itu, aku harus menjadi lebih menantang dan berani agar dia sadar akan pilihannya."

Netra hitamnya memudar membuatku terpaksa membuang pandangan. Aku tahu dia tidak pernah suka aku bertindak liar dan di luar kewajaran. Dia kakakku, laki-laki yang menjadi pelindungku setelah ayah meninggal, laki-laki yang selalu setia menopangku di kala resah dan menyemangatiku di saat gundah.

"Apa kamu harus menciumnya di saat dia sedang melamar ibu? Memoleskan lips merah ke bibir tebalnya. Apa itu semua termasuk ke dalam tindakan yang benar?" tukasnya sambil menatap tajam, tapi tidak mampu membuat api yang membara dalam jiwaku padam.

Aku tertawa melihat kekesalannya, jika kami tidak duduk berseberangan dan dibatasi meja kayu yang cukup keras, pasti dia sudah memelukku, mengukuhkanku dalam kepemilikannya.

"Karena dia mendekatiku, memujaku, menyayangiku dan membuatku merasa begitu sempurna. Dan tanpa aku sadari itu hanya perlakuan kecil untuk mendekati ibu. Apa aku salah sedikit menunjukkan kuasaku padanya?"

Tanpa aku sadari air kesedihan menyeruak dari pelupuk mata, membuat kakak mengeram dan memukul meja di depannya. Aku terdiam dan sedikit menyesal tidak bisa mengontrol diriku. Kenapa cairan ini selalu tumpah saat aku berbicara dengannya? Bahkan, saat Fauzan menyatakan keinginannya untuk melamar ibu pada saat makan malam yang diadakan di rumah waktu itu, tidak ada kesedihan sama sekali dalam hatiku, yang ada hanya perasaan menggelora.

"Cinta memang buta, tapi jangan terpedaya olehnya. Ingat, Ma. Di samping keinginan sesaatmu untuk bahagia, ibu juga mendambakan perasaan itu."

Seketika tawaku lepas mendengar kata-katanya, benar-benar menggelikan dan sungguh naif kurasa. Menaikkan salah satu alis, aku memandang remeh ke arah kakak. Mengukuhkan bahwa aku juga mengetahui sisi gelapnya.

"Kakak ingin aku melepasnya agar kakak bisa memilikiku? Kita saudara kandung, kak. Dan perasaan kakak itu lebih naif dari yang aku kira."

Dalam hati aku tertawa melihat ekspresi terkejutnya. Dunia dipenuhi orang-orang munafik, egois akan perasaan, dan hina terhadap tindakan.

Dan aku hanya ingin merasakan cinta dari dirinya.

Kumpulan CerminWhere stories live. Discover now