Cermin 5

73 8 10
                                    


SESAL

"Terima kasih."

Satu kata penuh ketulusan terucap di bibirnya. Kau tahu dia sudah lama menanti peristiwa ini, menunggu kesiapan dirimu untuk naik satu tingkat dari proses yang kau jalin sekarang.

Mengusap kepalanya pelan, kau membawanya ke pelukan, memberikan kehangatan dan rasa bahagia yang turut menyelimuti hatimu yang sempat membuatnya ragu dulu.

"Aku yang harus mengucapkan terima kasih kepada kamu, Lean. Sudah bersedia menunggu dan mempertahankan hubungan kita," bisikmu pelan di telinganya.

Setelah satu tahun lebih menunda-nunda lamaran yang sudah dinantinya, kau akhirnya berani mengucapkan kata-kata tersebut di depan kedua orang tuanya dua hari yang lalu. Tentu keyakinan itu kau dapat setelah kau berhasil mendirikan sebuah rumah impian dan pekerjaan yang mampu membuat hidup kekasihmu itu berkecukupan, seperti keinginanmu. Satu hal yang mendasari pikiran laki-laki sebelum melamar seorang wanita.

"Aku sangat mencintaimu, Jim, tanpa keraguan sedikit pun," balasnya serak.

Kau tahu dia sudah sering mengucapkan kata-kata cinta, tapi kali ini rasanya berbeda. Hatimu terasa hangat dan jelas sekali hasrat kepemilikan dari suaranya.

Ah... betapa beruntungnya kau memiliki kekasih yang begitu setia.

Kondisi taman yang tidak terlalu ramai dan embusan angin pelan yang membawa hangatnya mentari seolah-olah berpihak padamu untuk merasakan suasana romansa yang tercipta. Menekuk sedikit kepala, dengan berani kau mengecup bibirnya pelan, sedikit melumat dan menyesapi rasa yang ditawarkannya. Ciuman tanpa nafsu, tapi penuh perasaan dan rasa kepemilikan. Kau tahu, tidak ada orang lain selain dirimu yang pernah merasakan cherry di bibir tipis itu.

Wajahnya yang tersipu malu dengan sedikit rona kemerahan bersembunyi di dadamu, membuat tawa kecil keluar dari bibirmu yang telah lancang tadi. Rasa puas dan bahagia tidak dapat kau tutupi dari wajahmu, yang selama ini memberikan tatapan datar dan memandang dia sebagai prioritas kedua.

"Dua minggu lagi aku akan selalu memunculkan rona tersebut di wajahmu dan menyesapi rasa manis itu setiap saat," ujarmu setelah mengangkat wajahnya dan mengarahkan tatapannya ke matamu.

Mengeliat, kau tahu dia tersipu dan ingin memalingkan wajahnya.

"Aku bahagia bisa memilikimu, Lean."

****

Hujan.

Dalam guyuran hujan yang lebat, kau berjalan seorang diri. Tak peduli dengan dinginnya air yang membasahi pakaianmu, menembus hingga ke kulit.

Dalam guyuran hujan itu, air matamu terus mengalir seiring. Tak seorang pun yang dapat melihat jika kau tengah menangis dalam diam.

Kau terus berjalan, tanpa tahu ke mana tujuanmu saat ini. Hanya mengikuti langkah kaki yang terus membawamu.

Kau semakin merasakan sakit ketika bayangan itu kembali terlintas dalam ingatanmu. Kenangan itu masih terlalu basah untuk dilupakan, layaknya keadaanmu sekarang.

Sesal, sakit, pedih, itulah yang menyelimutimu saat ini. Entah sampai kapan rasa itu akan terus memenuhi hatimu.

Kau masih mengingat betapa excited-nya dia menjelang hari pernikahan yang sudah kau rencanakan dengan dia. Betapa hebohnya dia menyebarkan informasi itu kepada temannya. Dan kata-kata cinta yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

***

Kau masih saja berjalan lurus seorang diri, tanpa apa pun yang kau bawa. Hanya pakaian hitam basah yang kau kenakan menemanimu, juga kesedihan yang mendalam. Nafasmu tercekat, wajahmu pucat, kakimu nyaris tak dapat menahan berat tubuh dan juga beban yang bergelayut di kepalamu, matamu memerah menahan buliran bening yang hendak jatuh. Menggelengkan kepala, kau mencoba menyangkal semuanya. Semua itu tidak mungkin, apa yang kamu lihat hanyalah halusinasi. Hatimu masih mencoba menjeritkan namanya, membayangkan bahwa dia saat ini berada di pelukanmu, bukan di pelukan orang lain atau siapa pun itu.

Kau hendak melangkah, namun kakimu terasa berat. Dia yang kau cintai tidak lagi setia padamu. Tanpa memberi kabar terlebih dahulu dia meninggalkanmu dalam kesendirian. Membuatmu harus menahan perih tanpa mengatakan apapun.

Tangis dan jerit kepedihan terdengar menggema di ruangan yang kau pijaki. Tubuhnya terbujur kaku di atas ranjang kecil dengan kain warna putih yang menyelimuti. Seharusnya kau tidak terlena dengan pekerjaan, memperdayai dirimu oleh ancang-ancang masa depan. Lihatlah sekarang, kecelakaan itu merenggut nyawanya, memisahkan dirimu dengan dirinya. Menyesal. Apakah kau harus merasa menyesal atas segalanya?

Kumpulan CerminWhere stories live. Discover now