36

393 21 5
                                    

Setelah pertandingan kemarin, Irham belum menghubungiku kembali. Padahal aku sudah mengirim pesan ucapan selamat, namun tak ada tanda-tanda kehidupan darinya. Memang sih, aku pulang lebih awal. Tapi itu kan karena aku sudah terlalu bosan dan ingin segera sampai rumah.

Drrttt..Drrt

Irham: la kita putus

"La kita putus" aku mengucapkan pesan Irham berkali kali. Berharap ini hanya halusinasi. Tapi sayangnya tidak.

Ini nyata.

Begitu mudah ia mengirim pesan itu. Begitu mudah dia melakukan itu. Begitu mudahnya...

Dia yang dulu memintaku memaafkannya, tapi sekarang dia malah menghancurkan kepercayaanku.
Benar kata ica.
Harusnya aku tak semudah itu diraih setelah dihempas. Memang bodoh aku ini.

Aku malas membuka pesan itu. Jika aku membukanya, berarti aku membuka kenangan bersamanya lagi. Kenangan saat ia meminta maaf dan ingin kembali seperti dulu. Dan dengan bodohnya, mudah sekali aku memaafkannya sekaligus menerimanya tanpa berfikir baik-baik.

Bodoh. Menyesal. Hanya itu yang menggambarkanku sekarang. Mataku yang sembab dan boneka yang ikut basah karena terkena air mataku-pun tak bisa protes. Mereka hanya menjadi saksi betapa bodohnya aku dulu, betapa mirisnya kondisiku sekarang yang dipenuhi penyesalan.

Tik...tikk..tikkkkkk

Air hujan yang turun dari langit menimbulkan suara dan bau yang khas. Air yang satu persatu turun itu, lama kelamaan menjadi ribuan bahkan jutaan rintikan hujan. Air hujan yang deras seolah mengerti perasaanku. Ia menemaniku dan memedam suara tangisanku. Air mataku semakin deras...deras...derass bersamaan dengan derasnya hujan dikota kembang ini.

---

"Icaaaaaaa" rengekku saat aku baru sampai dirumahnya

"Kenapa? Baik-baik aja kan?"

"Irham caaa irhammm"

"Kan kata aku juga, da kamu mah ni susah dibilangin sama yang lebih berpengalaman teh"

"Iya iya maaf maaf caaaa"

"Udah udah, mata kamu udah sembab gitu. Udah tau jelek, makin jelek elah"

"Icaaaaaaaaaa"

"Ahhhhh udah udahh, uh cupcupcup. Udah cerita ke mamah belum?"

"Belum, tadi aku dirumah sendiri"

"Kasiannya sahabatku inii"

"Ica haaaa aaa icaaa"

"Aduh, udah ya udah mala sayang. Mendingan sekarang cuci muka, trus kita jalan-jalan aja. Jangan dipikirin yang gitu mah, kita harus fokus belajar sekarang. Kelas 9 laa kelas 9" aku mengangguk paham mendengar perkataan ica. Aku akui memang benar apa yang dikatakannya, tapi pikiran ku tak semudah itu menerimanya.

Sekarang ica mengajakku pergi, ica membawaku ke sebuah pusat perbelanjaan yang ada di jl. Peta. Kami berniat untuk menonton sebuah film terbaru yang sedang ramai dibicarakan.

Didalam studio sungguh berdesakan. Aku menempati bangku tengah. Aku duduk ditengah orang-orang yang sedang bersama kekasihnya. Sungguh pemandangan yang menyebalkan. Selama penayangan film aku cukup terhibur, namun ica tidak. Dia malah tidur dari awal sampai akhir film.

Sesudah kami menonton, kami menuju lantai tiga untuk mengisi perut yang sudah meminta minta ingin diisi.

Damn!

Aku melihat Irham. Irham ada dibangku luar sedang berbincang-bincang dengan 2 teman laki-laki dan 3 teman perempuannya. Sungguh akrab. Malah Irham terlihat lebih akrab dengan satu perempuan yang rambutnya dicepol dibandingkan 2 teman perempuan lainnya. Mereka sungguh akrab, sesekali Irham mencubit pipi perempuan itu. Ahhh pemandangan yang menyakitkan.

"Caaa jangan makan disini, kita makan di ujung aja ya didalem"

"Lah kenapa?" Ica mengeryit

"Males, hayu caaa" ajakku

"Ah aku pah..." aku langsung menarik Ica tanpa syarat

"Sssttttt diemm"

"Emang ya dasar tuh si irham, so ganteng bangetlah" cerocos Ica penuh emosi

"Emang ganteng" jawabku datar

"Ihh malaaa sadarrr astagfir, malaaa. Ya Allah berikan kesadaran pada temanku ini"

"Apaan sih lebay ah ca, emang bener ko"

"Aduhh tau ahhh, pokonya kamu harus lupain irham cowo tak tahu malu itu oke?"

"Gajanji ya" Ica langsung menatapku sinis

"Iya iyaa caa iyaa, tapi aku gabisa jan..."

"Sssstt, liat itu cowo ganteng yaa. Anak SMA tapi. SMA mana ya?"

"Dasarrrr" aku mendengus tak peduli

----

17.00 WIB

Sekarang aku berada didalam kamar, sendirian. Sepi. Hanya kata itu yang menggambarkan keadaan sekarang. Aku sendiri disini. Mamah masih merawat nenek, bapak masih kerja, dan Kaila dia ikut bersama Mamah. Hffttt...

Aku menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Kejadian tadi saat aku melihat dirinya bersama perempuan itu tiba-tiba serasa tayang diatas langit kamar yang sedang kutatap. Serasa de javu. Dulu... Dulu aku yang ada diposisi perempuan itu. Tapi sekarangg,,, ah sudahlah kalian pasti tau apa yang terjadi sekarang.

Drrttt...drrrttt

Afka: laa?

Kemala: iya ka?

Afka: apa kabar?

Kemala: alhamdulillah, baik

Afka: la pap

Kemala: males

Afka: -_- btw makin cantik aja la

Kemala: apasih ka-_-

Afka: saya putus sama Aila

Kemala: ohya? Kenapa?

Afka: gatau, Aila yang mutusin

Kemala: ohiya, sabar ka

Afka: saya masih suka sama kamu la'-'

Kemala: lah?

*Afka menelepon"

"Halo la?"

"Iya apa ka, ngapain nelfon dah"

"Saya masih suka sama kamu la"

"Terus?"

"Iya, emm"

"Mudah ya cowo bilang gitu. Setelah membuat nyaman tiba-tiba pergi, pergi karena menemukan cewe yang lebih dari cewe yang udah buat kamu bikin nyaman. Terus waktu cewe yang dipilihnya ninggalin tiba-tiba dateng lagi. Gitu aja terus sampe dapet yang sempurna kaya barbie. Mudah ya ka bilang gitu mudah... "

"Laa bukan maksud saya kaya gitu, mak--"

*tutututut*

Sambungan terputus. Aku mematikan telepon sepihak tanpa izin dan pamit. Toh mereka juga datang tanpa izin dan pergi tanpa pamit. Aku memblokir Afka. Aku kesal dengannya. Ternyata dia sama aja kaya Irham. SAMA.

Memang dasar mereka itu, melakukan hal sesuka hatinya. Yang mereka pikirkan hanya kesenangannya. Mereka tidak memikirkan dampak yang telah dibuatnya. Bagaimana perasaan,,, perasaan perempuan yang telah dipermainkannya...

BandungWhere stories live. Discover now