BAB 31 : MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN

637 71 10
                                    

Jika dengan berbicara saja sudah tidak dapat menyelesaikan permasalahan, apa mungkin memendam  satu-satunya cara terbaik yang manusia punya?

INSIDE YOU

...

"Tante makasih banget lho sama kamu udah mau ajarin Netha, ini dimakan dulu."

Sebuah cake cokelat dihidangkan di meja ruang tamu, Atha yang tadinya sibuk mengoreksi jawaban dari Netha kini tersenyum, mengangguk pelan. "Makasih Tante."

Perempuan paruh baya dengan kaos dan rok selututnya itu mengangguk, lalu kembali meninggalkan kedua anak itu agar dapat fokus.

"Whoaa!! Brownies!" gumam Netha tiba-tiba, mata bulat itu memerhatikan dengan berbinar dan tanpa sadar mengecap saat membayangkan cita rasa manis itu bergabung dalam mulutnya. "Atha ternyata kalau sama orang tua sopan banget ya, beda dengan yang di sekolahan."

"Enggak juga," Atha melirik jam tangan sejenak, sudah pukul lima lewat, bagaimana juga sebentar lagi dirinya harus bersiap-siap untuk mengunjungi kafe Gabriel.

"Atha," panggil Netha menyenggol lengant di meja itu dengan pena berhasil membuat Atha mengedarkan pandangan, mengangkat alis. "Nonton sebentar yuk! Kan tadi Netha udah bilang, Atha lagi enggak boleh banyak mikir, terus ditambah lagi Atha kurang istirahat, itu tuh otaknya udah kasih sinyal makanya Atha susah fokus hari ini, lagian Netha enggak mau Atha ambruk kayak kemarin."

"Gue enggak ambruk, waktu itu ketiduran," timpal Atha.

Netha mendengus, diraihnya beberapa potong stroberi dengan garpu lalu mengunyahnya. "Orang tidur kayak apa yang sampai jatuh kayak gitu?"

Nihil, Atha tidak menjawab. Biarkanlah cewek itu berimajinasi dengan dunianya.

"Pokoknya Netha lagi enggak nerima penolakan," ucap Netha bangkit secepatnya, tak lama kemudian kembali duduk dengan laptop silver di hadapannya. "Netha minjam laptop Bang Rangga dulu, soalnya laptop Netha lagi kayak hati Netha pas ditolak Atha."

Atha mendelik, menyesap segelas susu cokelat di hadapannya. "Patah kebelah dua?"

"Iihh! Hati Netha enggak semengenaskan itu!" Netha mengembungkan pipi, ditekannya tombol power lalu duduk di samping Atha, bersandar di sisi bawah sofa. "Cuma rusak! Potek! Ittai! (sakit!)"

Tanpa suara, Atha tertawa datar, mungkin lebih baik bila ia menyelesaikan tugas ini secepatnya dan pulang sekarang juga.

"Atha," Berusaha mungkin Atha mengabaikan, namun nihil pada akhirnya ia harus menoleh saat cewek itu menepuk bahunya dengan kuat. Film diputar. Ah, bukan film, namun lebih kepada anime. Tontonan yang tidak pernah Atha ingat  kapan terakhir kali ia melihatnya.

Adegan di suatu desa, di mana seorang perempuan paruh baya menjadi kepala desa yang menguasai jurus medis. Latar desa, lalu rumah sakit sangat jelas berada di scene tersebut.

Atha menoleh seketika, menggertak gigi dengan geram. Cewek ini lagi-lagi ....

Netha menoleh, polos. "Atha pernah nonton Naruto? Kalau pernah Atha suka sama siapa?"

"Pernah," Urung sudah, Atha mengembus napas panjang, ditutupnya buku lalu merapihkannya di sudut meja. "Itachi."

"Eh?" Netha mengerjapkan mata sejenak lalu tersenyum cerah, Atha termundur saat cewek itu mencondongkan tubuh dengan semangat. "Jadi Atha suka sama Itachi? Abangnya Sasuke 'kan? Wahh! Netha suka Sasuke, Atha suka sama abangnya. Besok-besok kita bisa jadi satu keluarga!"

Atha mendelik, menjauhkan wajah kecil itu dengan telapak tangan. "Jaga ucapan lo, entar dikirain nyokap lo bukannya belajar malah main."

"Netha udah biasa kok main sambil belajar," ucap Netha tidak peduli, kembali memerhatikan alur cerita lalu menunjuk saat bagian pertengahan berlangsung. "Tuh, Atha lihat kalimatnya. Bahkan istirahat juga merupakan salah satu bentuk latihan, berarti Atha sesekali juga harus istirahat biar enggak error kepalanya."

Inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang