2. Siapa Dia?

5K 721 35
                                    

Malam harinya, aku dan Dad menjemput Chloe sebelum pulang ke rumah. Kata Bibi Margareth, Chloe sempat membuat kekacauan kecil dengan menumpahkan isi sup di mangkuk ketika makan malam. Hanya itu. Selebihnya, Chloe lebih banyak tidur.

Aku membiarkan Dad menggendong Chloe yang tertidur di pundaknya. Wajahnya damai, tenang, dan manis. Kami berjalan dalam diam, sunyi. Hanya bunyi gemerisik angin meniup dahan-dahan pohon yang terdengar. Seharian ini aku belum berbicara lagi dengan Dad setelah pertengkaran kami tadi pagi.

Lampu-lampu jalanan mulai redup di penghujung jalan menuju rumah kami. Rumah kami tidak berada di kawasan elit, tentu saja. Tidak seperti Marc. Ah, ya, soal anak itu, dia tiba-tiba pergi setelah mengatakan kalau mulai tadi pagi dia adalah kekasihku. Sebuah mobil berwarna hitam mengilap datang dan pria dalam balutan jas dan kacamata hitam memanggil Marc. Bisa dilihat betapa mencolok perbedaan hidup kami. Jadi, aku hanya akan mengabaikan bualan Marc tadi pagi.

Aku membuka pintu rumah. Dad berjalan mendahuluiku dan membaringkan Chloe di kamarnya. Aku langsung berbelok ke dapur untuk menaruh daging pemberian Kakek Nelson. Dad berdiri di ambang sekat dapur dan ruang keluarga. Dia memandangku dengan tangan terlipat di depan dada.

Aku memandang Dad bingung.

"Kau tetap pada keputusanmu?" Dad maju selangkah sehingga aku bisa melihat wajahnya yang tampak lelah.

"Keputusan apa?"

"Melanjutkan kuliah."

Aku menarik napas. Menutup pintu kulkas dan bangkit berdiri menghadap Dad dengan berani dan pasrah.

"Ya, Dad. Aku tetap ingin tumbuh sebagai anak terpelajar."

"Kau yakin bisa mendapatkan beasiswanya?" Kedua alis Dad terangkat.

Aku mengangguk walaupun tak begitu yakin. Kalaupun aku tak mendapatkan beasiswanya, aku akan mengajukan keringanan biaya kuliah ke kampus. Tentu, hal itu akan melibatkan Dad. Tapi, aku akan berusaha semampuku untuk tidak melibatkan Dad.

"Kalau begitu, kuharap kau tetap memenuhi kata-katamu. Aku tidak ingin terlalu merepotkan Margareth." Setelahnya, Dad meraih sekaleng beer di kulkas dan berjalan menuju ruang keluarga untuk menonton pertandingan bisbol mingguannya.

****

Hari Senin adalah waktunya berbelanja persediaan bahan makanan selama satu minggu ke pasar tradisional. Kulihat isi kulkas sudah hampir kosong. Hanya ada wortel yang hampir membusuk, sosis, dan beberapa kaleng bir.

Aku mendesah. Tak ada sarapan pagi ini. Kami bahkan kehabisan stok telur. Aku menutup pintu kulkas kembali, meraih mantelku dan membawaku Chloe bersamaku untuk berbelanja.

Chloe tak banyak bergerak pagi ini. Dia demam sejak semalam. Tak terlalu tinggi, tapi cukup membuatnya tak bisa tidur dengan tenang yang mana juga berdampak pada kulaitas tidurku. Tidak, aku bahkan tidak tidur. Chloe tidak membiarkanku terpejam barang sedetik pun. Rengekkannya membuat Dad kesal dan memintaku untuk mengurusnya.

"Kau kehilatan payah, Chloe," kataku seraya mendorong kereta Chloe. Dia sedang memainkan botol susunya.

Kami perlu berjalan beberapa blok hingga sampai di pasar tradisional kecil. Aku sempat membuat daftar bahan makanan yang akan kubeli sebelum pergi tadi. Aku mengeluarkannya dari saku mantelku. Toko yang pertama kudatangi adalah toko Paman Chris yang menjual sayur-sayuran.

"Kau ingin makan apa siang ini, Chloe? Dad bilang aku tak perlu datang ke toko, cukup mengurusmu saja sampai kau sembuh."

Tentu saja, Chloe tak merespon karena ia belum bisa bicara. Jadi, kuasumsikan, karena ini sudah hampir memasuki musim dingin, aku akan membuat sup ayam.

The Sky OccupantWhere stories live. Discover now