7. Hal-Hal Aneh di Dunia

1.1K 191 12
                                    

Hari sudah larut sekali ketika aku menemukan suara ketukan di jendela kamar. Seram sekali. Mengganggu tidurku yang nyenyak, tanpa bermimpi tentang Marc seperti hari-hari belakangan. Omog-omong, aku belum bertemu dengan anak itu lagi. Setelah memberikan pernyataan cinta yang begitu mendebarkan, ia menghilang begitu saja. Memang seharusnya aku tidak memikirkan bualannya. Anak lelaki memang sering jahil begitu, kan?

Suara ketuka itu kembali terdengar. Ketukannya lambat, tak terlalu keras, namun cukup menganggu kalau diulang nyaris sepuluh kali. Setidaknya, sejumlah itu yang kudengar sejak aku terbangun. Suara ketukannya aneh, seperti benturan paruhburung pelatuk dengan kaca. Tapi aku tak melihat siluet burung di jendelaku. Justru bayangan tangan dengan kuku memanjang. Atau itu hanya efek cahaya saja?

Aku menegakkan tubuhku dan bersandar pada kasur. Entah seri film horror apa lagi yang sedang kuhadapi. Menjalani hidupku saja sudah cukup menyeramkan. Aku menarik selimut hingga sebatas leherku. Suara ketukan masih berlangsung. Aku pikir ini saatnya aku meminta pertolongan Dad meskipun Dad pasti akan sangat kesal. Sebagai remaja akhir aku dituntut untuk dapat mandiri, termasuk dalam mengatasi ketakutanku. Tetapi kurasa lebih mendengar cerama panjang lebar Dad tentang bagaimana aku seharusnya aku bisa mengatasi masalahku daripada mati konyol akibat ketakutan dan mengompol di kasur. Benar, kan?

Kasurku sudah reyot, jadi ketika aku bergerak sedikit saja akan terdengar suara derak besi berkarat yang mengganggu. Suasananya benar-benar persis seperti di film horror. Napasku mulai menderu dan tatapanku tak teralihkan dari jendela. Suara ketukan itu tiba-tiba saja menghilang. Bukannya membuatku tenang, namun malah semakin waspada. Bisa saja hantu itu telah menembus kaca dan berada di dekatku.

Aku benar-benar melompat ke kasur ketika suara dering teleponku yang nyaring memecah kesunyian dan suasana tegang. Aku langsung mengumpat begitu membaca nama sang penelepon di layar.

"Demi Tuhan, Marc, tak bisakah kau menelepon di jam-jam normal selayaknya manusia beradab?" makiku yang justru dijawab dengan suara kekehan berat.

"Tak perlu takut, buka saja jendelanya. Aku mengirimkan sesuatu untukmu."

Keningku mengerut dalam. Permainan apa lagi ini?

"Kau mengirimkan burung untukku?"

"Bukan burungnya. Dia hanya kurir."

"Kau pikir ini zaman apa sampai mengirim barang pun masih menggunakan burung? Aku bukan Cinderella."

Marc lagi-lagi tertawa. Aku bisa membayangkan senyum menyebalkan di wajahnya. Seminggu ini aku tak melihatnya. Tapi tentu saja, jelas sekali, aku tidak merindukan atau mencari sosok Marc. Justru hidupku terasa amat tentram belakangan ini.

Aku beranjak menuju jendela ragu. "Sebaiknya kau tidak memutuskan sambungan teleponmu sampai aku menerima barangnya, Marc."

Marc hanya bergumam. Begitu aku membuka jendela kamar, benar saja, ada burung membawa sebuah botol kecil berisi cairan berwarna biru yang terlihat begitu magis. Cairan itu tampak sedikit mengilat. Mungkinkah Marc ingin meracuniku?

"Tentu saja tidak, Nao sayang. Aku tidak mungkin berniat meracuni calon istriku sendiri."

"Hebat sekali kau bisa membaca pikiranku. Jadi, katakan, kau ini manusia atau apa?" sergahku penasaran. Aku menarik botol kecil itu dari kaki burung kiriman Marc dan bruung itu langsung pergi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.

"Cairan apa ini?" aku memperhatikan cairan itu dengan saksama.

"Minumlah, aku ingin menunjukkanmu sesuatu."

"Kau tahu, Marc, aku sama sekali tak bisa memikirkan hal logis ketika bersangkutan denganmu. Aku tak mau mati konyol meminum cairan ini. Bentuknya mirip deterjen cair, asal kau tahu."

The Sky Occupantजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें