9. Permainan Marc

1K 194 8
                                    

WAH. Benar-benar ajaib. Dad tidak menanyakan tentang kejadian kemarin. Sepanjang sore aku bersama Dad selepas jam sekolah. Dad sibuk membicarakan banyaknya tugas yang harus ia lakukan dan itu membuatku lega. Dad bahkan tidak protes ketika kuceritakan masalah beasiswa kuliahku. Yang ia lukan hanya menganggut-anggut sambil menghitung jumlah uang di mesin kasir.

Seperti yang dikatakan Marc pula, toko kami kian hari kian ramai. Kurasa sudah waktunya Dad mempekerjakan orang lain untuk membantunya selama aku di sekolah. Pasti akan sangat repot mengatasi para remaja tanggung sepertiku yang senang datang bergerombol. Yang laki-laki datang untuk membeli berkaleng-kaleng bir, sementara yang perempuan datang untuk makan sambil membicarakan idola mereka. Sausana toko menjadi bising. Tak jarang di antara mereka ada yang bertengkar dan Dad terpaksa turun tangan.

Hari ini belum ada kejadian apapun. Satu gerombolan remaja beranggotakan tujuh orang baru saja pergi dan aku kebagian tugas membersihkan meja yang mereka tinggalkan. Banyak sekali sampah yang mereka tinggalkan, tapi aku tak bisa mengeluh. Dengan kepergian kelompok remaja itu, suasana yang rebut menjadi tentram. Hanya tersisa dua tamu yang sibuk dengan laptop masing-masing.

Ketika aku hampir selesai membersihkan meja, pintu toko kami berbunyi, menandakan ada tamu datang. Aku berbalik badan untuk memastikan apakah ada kelompok remaja lagi yang datang.

Tak kusangka, yang datang justru... Marc?

Ia mengenakan celana hitam, dan jaket berwarna senada. Tapi... tunggu, apa dia baru saja menata rambutya? Rambutnya berubah kemerahan sekarang. Rambut Marc seharusnya berwarna coklat gelap. Kulitnya juga tampak lebih pucat.

Hey, apakah dia baru melakukan perawatan di salon? Kenapa dia bahkan lebih memperhatikan penampilannya ketimbang diriku?

Aku melihat Marc menoleh ke arahku. Kukira ia akan mengedipkan sebelah matanya seperti yang biasa ia lakukan, tetapi tidak, ia justru langsung memalingkan wajahnya dan berjalan ke rak pendingin untuk mengambil minuman. Seakan-akan lelaki itu tak mengenaliku.

Baiklah, Marc, kalau kau mau berpurapura tak mengenalku. Apakah dia bersikap begitu karena ada Dad? Mungkin saja. Tapi setahuku, Marc adalah orang paling percaya diri dan tak peduli siapapun yang ada di hadapannya.

Aku masih memperhatikan gerak-gerik Marc. Ia mengambil beberapa makanan dan membawanya ke kasir. Aku terus memandangnya seakan ingin melubangi punggung Marc. Dia tampan sekali, dingin, dan meyebalkan di saat bersamaan.

Woah. Dia memang punya kepribadian ganda. Aku masih belum lupa ketika ia berpura-pura tidak mengenaliku di telepon.

Lihat saja. Jangan coba lagi kau muncul di depanku, Marc. Apalagi mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Cih!

Marc beranjak mendekat ke arahku. Sepertinya ia akan menghabiskan makanannya di sini. Aku lekas memberikan tempat untuk Marc. Sekarang ia duduk tepat di belakangku sementara aku membersihkan lantai di sekitarnya.

Kau ingin tetap bersandiwara denganku, Marc? Baiklah. Akan kuikuti.

"Apa kau magang di sini?"

Aku berbalik, untuk memastikan apakah benar Marc baru saja menanyakan hal itu kepadaku.

"Eh, ya?" tanyaku ragu. Marc menatapku dengan ekspresi datar dan dingin, seperti benar-benar tak mengenalku.

"A...aku.... Ya, aku baru bekerja beberapa hari. Ada yang bisa kubantu?"

Marc hanya menyunggingkan senyum. "Kerja yang baik. Kau harus lebih rajin lagi."

Keningku mengerut menatap Marc. Lakonnya pintar sekali, seperti aktor profesional.

The Sky OccupantWhere stories live. Discover now