8. Siapa Marc

1K 190 29
                                    

Aku tidak percaya bahwa aku akan kembali ke rumah Marc, berbaring di kamarnya lebih tepatnya. Bagaimana aku tahu? Dekorasi kamar ini tampak persis seperti ruangan di mana aku melihat versi lain diriku melalui pengelihatan yang diberikan Marc tempo hari. Banyak lukisan langit, awan, bintang, bulan, dan burung. Kamar ini terasa hangat dan dingin di saat yang bersamaan. Asing, sudah pasti, namun terasa nyaman. Kalau saja pemilik kamar ini bukanlah lelaki yang dengan percaya dirinya memajang foto dirinya besar-besar tepat di dinding tepat di hadapanku, aku pasti tidak keberatan berada di ruangan ini lebih lama lagi.

Hey, Apa Marc memiliki kepribadian narsisme?

Foto Marc tersenyum menyebalkan ke arahku. Aku nyaris saja melemparnya dengan bantal kecil di sisi kananku.

Pintu kamar Marc diketuk. Tak lama berselang, muncul seorang perempuan dengan seragam pelayan membawa baki berisi makanan dan minuman.

"Selamat pagi, Miss Addison. Tuan Marc memintaku mengantarkan sarapan kepadamu."

"Ke mana Marc?"

"Pergi lari pagi di halaman sebelah timur bersama Steve. Beliau akan segera menemuimu setelah berolah raga."

Aku mengangguk,membiarkan pelayan Marc menyiapkan sarapan untukku di kasur.

Omong-omong, seharusnya aku sekolah hari ini. Dan Dad pasti akan membunuhku saat aku kembali ke rumah.

Aku tidak menjemput Chloe, tidak pulang ke rumah, tidak pergi ke sekolah, dan yang paling fatal, tidak memberikan kabar.

Wow. Baru kusadari ada banyak sekali cara mengakhiri hidup ini.

Dan lagi, ke mana perginya burung monster itu? Semalam Marc pasti sengaja mengirim peiharaannya itu untuk menakut-nakutiku. Jahat sekali.

Aku mulai memakan sedikit-sedikit sarapanku. Ya Tuhan, aku belum pernah menemukan makanan seenak ini. Untuk minuman saja ada teh, susu, dan jus disajikan bersamaan. Makanannya sendiri terdiri dari pancake dengan siraman saus maple, sosis, omelet, kentang tumbuk, juga sup krim jamur. Sudah pasti Marc berniat membuatku pingsan. Makanan sebanyak ini adalah porsi makanan harianku. Kalau kuhabiskan semua, aku tak mungkin bisa beranjak dari kasur. Menyenangkan sekali hidup menjadi orang kaya.

Marc datang di tengah-tengah acara makanku. Ia masih mengenakan jaket parasut berwarna kuning menyala dan celana pendek berwarna hitam. Tampak begitu kontras dengan dekorasi kamarnya yang bergaya semi kolonial.

"Kau suka sarapannya?" tanya Marc seaya duduk di tepi kasur, di sampingku, menghadapku.

Aku mengangguk. "Kau tahu kan aku punya banyak sekali pertanyaan?" aku mendelik kea rah Marc, lelaki itu hanya bergumam.

"Kalau hal itu menyangkut masalah Chloe dan ayahmu, tak perlu khawatir. Aku sudah mengatasinya. Begitu juga dengan sekolahmu hari ini."

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku penasaran sekaligus berdebar. Tak ada yang bisa ditebak dari Marc.

"Aku sudah menghubungi bibimu, mengatakan aku memiliki urusan denganmu sehingga aku perlu mengirimkan pengasuh harian untuk membantu Bibi Margareth menjaga Chloe. Bagaimanapun, bibimu butuh istirahat."

"Kau tahu kan Chloe tak bisa menerima orang asing?"

"Tenang saja. Aku sudah mengirimkan pengasuh paling hebat. Kau mau memastikannya?"

Marc mengeluarkan ponsel canggihnya dari saku jaket. Menekan serangkaian tombol sehingga terjadi panggilan kepada seseorang. Tak lama, muncul sebuah wajah di layar ponsel Marc yang langsung membuatku melompat menabrak dipan kasur.

"Apa kau sudah gila?" aku menatap Marc terkejut sekaligus heran. "Kau mengirim monster itu untuk menjaga adikku?!" tanyaku panik.

Khee—berbeda dengan tampilannya semalam: berpenampilan selayaknya manusia normal, hanya saja wajah tampannya tetap tidak berubah—membuka mulut lalu mengatupkannya kembali begitu mendengar kalimatku.

The Sky OccupantWhere stories live. Discover now