4. Rumah Marc

3.3K 448 19
                                    

Bagaimana harus kukatakan? Rumah Marc luar biasa indahnya. Rumahku akan tampak seperti gubuk reyot kalau letaknya bersebelahan dengan rumah Marc. Rumah Marc dapat dikatakan hampir seperti taman nasional—oke, mungkin aku sedikit berlebihan. Aku hanya tak tahu bagaimana cara mengatakan bentuk rumah Marc dengan benar.

Aku telah mengunjungi perpustakaan pribadinya yang ukuran dan koleksinya bahkan mengalahkan perpustakaan di sekolahku. Orang tua Marc sering berpergian ke luar kota dan juga luar negeri. Ada banyak buku dengan berbagai macam bahasa di rumah Marc. Mencengangkannya, Marc setidaknya bisa berbicara dengan fasih lebih dari lima bahasa. Termasuk, Bahasa Indonesia, bahasa Ibuku.

Yang ada di hadapanku ini, kalau bukan keajaiban dunia buatan, entah apa lagi aku harus menyebutnya. Kolam renang besar yang mungkin mampu menampung puluhan orang. Terlalu besar untuk ukuran kolam renang rumahan. Desainnya cantik, mengingatkanku akan sumber air di tengah gurun pasir. Pohon-pohon kurma dan palem ditata sedemikian rupa sehingga tampilan kolam tampak seperti oase.

"Wah! Luar biasa! Indah sekali!" Aku tak tahan untuk tidak menyerukan rasa takjubku. Tubuhku seakan terbakar dan tak sabar ingin menenggelamkan diri di dalam air berwarna biru jernih itu.

Marc menyeringai. "Kau boleh mencobanya. Mau berenang? Aku bisa meminjamkan baju untukmu."

"Oh, trims. Kau baik sekali. Tetapi, tidak. Setidaknya aku masih memiliki sedikit sopan santun. Mungkin lain kali. Em... walaupun aku tidak yakin kalau aku akan datang lagi ke rumahmu."

Kening Marc berkerut samar. Tampak tak setuju dengan perkataanku barusan.

"Oh, tentu kau akan datang ke rumahku lagi," kata Marc yakin.

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena aku kekasihmu. Bagaimana mungkin kau tidak akan menjengukku lagi ke rumah?"

Aku hanya memutar bola mataku ketika Marc mengatakannya. Sudah kehabisan kata-kata setiap kali Marc menyebut dirinya sebagai kekasihku.

"Aku tak pernah berniat menjengukmu kemari pagi ini, Marc. Percayalah."

"Berjanjilah kau akan datang ke sini lagi," kata Marc, kemudian secara mendadak melangkahkan kakinya dengan cara yang agresif ke samping, mendekatiku. Aku mengambil satu langkah ke samping untuk menjaga jarak dari Marc.

"Em... nanti akan kupertimbangkan lagi, jawabku takut-takut, gagal membuat kesan bijaksana dalam kalimatku karena kini tubuh Marc semakin mendekat dengan tatapan mengintimidasi.

Karena aku mungkin akan meleleh kalau terus-terusan berusaha menghalau pandangan Marc dariku, akhirnya aku memilih mengalihkan perhatian kami dengan melangkah kembali masuk ke dalam.

"Kurasa cuacanya terlalu dingin untuk berenang. Ayo, kita masuk saja."

Kudengar helaan napas Marc tak jauh di belakangku disusul dengan langkah kakinya.

Selain perpustakaan superlengkap, rumah Marc juga memiliki taman yang indah. Tempatku berdiri ini adalah tempat favorit Marc. Sebuah jembatan kayu di atas sungai buatan yang bermuara di kolam ikan yang letaknya di bagian utara taman. Tanaman bunga ipomea biru merambat di sepanjang jembatan. Tampak serasi dengan kemeja biru muda yang Marc kenakan, berpadu dengan celana jeans gelap. Marc melemparkan pandangannya ke halaman luas berumput di sisi kanan jembatan. Sudah hampir lima belas menit kami berdiri di sini. Sedari tadi Marc tak luput menjelaskan berbagai macam tanaman yang ada di sini.

"Yang itu namanya mawar Juliet." Marc menunjuk bagian selatan taman yang ditanami mawar dengan warna serupa buah persik. Kesukaan Ibuku. Pertama kali diluncurkan tahun 2006 di acara Chelsea Flower Show. Cukup sulit menanam dan merawat bunga itu. Butuh waktu 15 tahun untuk memanennya."

The Sky OccupantWhere stories live. Discover now