Chapter 3. Adam

28 1 0
                                    

Hari ini cuaca cukup cerah sehingga aku memutuskan untuk bergabung dengan Nic dan teman-temannya. Mereka mengajakku pergi ke Brighton, kota cantik di pesisir pantai Selatan. Memang agak terlalu awal untuk jalan-jalan di pantai seakan-akan sudah musim panas. Namun nampaknya Nic dan kawan-kawannya cukup optimis kalau hari ini tidak akan ada hujan yang mampu merubah acara jalan-jalan menjadi mimpi buruk.

Karena ini acara santai, aku pun bersiap sekadarnya. Kukenakan sweater kesayanganku untuk menghalau udara pantai diatas kaus berwarna putih. Lalu aku memulaskan sedikit bedak dan lipstik. Cukup untuk membuat wajahku terlihat segar. Setidaknya guratan lelah setelah kemarin bekerja seharian tidak terlihat begitu kentara.

Nic sendiri sudah siap dari tadi. Dia mengenakan kaus polo berwarna hijau mint dan celana jeans. Cardigan berwarna putih disampirkan di bahunya. Sekarang dia sedang asik berbicara di telepon dengan Julian.

Ya, sejak bertemu dua minggu yang lalu di British Pop and Rock Award, Nic dan Julian sering bertelepon ria. Tiada hari yang terlewat tanpa telepon dari Julien. Nampaknya Julian memang benar-benar tertarik pada kakakku.

'Hmm.... aku benar-benar harus pergi sekarang. Teman-temanku sudah menunggu. Ya... Sampai nanti.' ujar kakakku itu seraya menutup telepon. Wajahnya berseri dan matanya berbinar.

'Ya ampun... kalian kan tadi malam mengobrol hingga larut malam. Tidak cukupkah itu?' tanyaku untuk menggoda Nic.

Nic hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Dia lalu berkilah, 'Tidak ada kata cukup saat orang sedang kasmaran, sayang.'

Aku menggelengkan kepala, 'Dasar.....'

'Bagaimana denganmu, Mandy?'

Aku mengerenyitkan kening, 'Bagaimana apanya?'

Nic menatapku jahil lalu berkata, 'Bukankah kau sendiri memiliki pengagum juga? Apakah dia belum mengambil langkah selanjutnya?'

'Ha? Siapa?' tanyaku semakin bingung

'Oh Mandy...' ujar Nic dramatis, 'Tidakkah kau sadar? Pria yang katamu bernama Bill itu tidak berhenti menatapmu dengan tatapan kagum. Bahkan aku pun bisa melihatnya.'

'Apa? Bill? Oh... maksudmu dia? Kau berlebihan Nic. Tidak mungkin pria seperti dia tertarik padaku. Kami hanya mengobrol saja waktu itu. Dia benar-benar teman berbicara yang menyenangkan. Itu saja. Kalau kau mengobrol juga dengannya, kau pun akan merasa seperti itu. Lagipula, dia kan berada di dunia yang sama sekali berbeda dengan kita. Mana mungkin...'

'Tidak ada yang tidak mungkin, Mandy. Buktinya dia malam itu tidak dapat berpaling darimu sedetik pun.' ujar Nic berkeras.

Aku mengibaskan tangan. Bagiku omongannya sudah terlalu melantur.

'Sudahlah Nic. Itu tidak mungkin. Pertama, dia hanya berusaha bersikap ramah saja. Kedua, dia itu artis besar sedangkan aku hanya gadis biasa. Bayangkan anggota Rolling Stones! Dan yang paling utama, dia itu pria matang.  Usianya pasti jauh lebih tua dariku. Jadi, berhentilah menggodaku.'

"Awww.... tidak ada yang salah dengan pria matang.' balas Nic sambil tertawa menggoda, 'mereka sudah pasti berpengalaman.'

Aku menghela napas. Aku benci digoda seperti ini.

'Aaaaaarrrghhh. Nicola, sudahlah. Jangan menggodaku terus.'

'Baiklah Mandy. Kau ini benar-benar tidak bisa bercanda yaaa.' balas Nic sambil mematut diri di kaca untuk terakhir kalinya. 'Ayo kita berangkat.'

Aku merasa lega. Akhirnya omongan tidak karuan itu berhenti juga.

Kami pun berpamitan pada Mom dan langsung bergegas menuju tempat janjian, sebuah tempat parkir di belakang gedung supermarket. Teman-teman Nic sudah menunggu disana. Ada dua mobil yang akan membawa kami semua ke Brighton. Jadi nampaknya untuk urusan transportasi pulang dan pergi, aku dan Nic tidak usah khawatir lagi.

In Another Land (Sebuah Kisah Fiksi Rolling Stones)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang