Chapter 8. Dilema

24 1 0
                                    

'Maukah kau pergi kencan denganku besok malam, Mandy?'

Adam menatapku dengan penuh harap. Dia berusaha nampak tenang, namun aku tahu dari gerak-geriknya dia begitu gugup. Sesekali dia memindahkan gelas kopi yang dipegangnya dari satu tangan ke tangan lain.

Saat ini kami sedang duduk di cafe. Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat akan memasuki cafe yang berada di dekat restoran tempatku bekerja. Rupanya dia pun sama denganku, ingin menghirup kopi panas sebelum menghadapi dinginnya angin malam. Akhirnya kami duduk semeja dan mengobrol, sampai akhirnya Adam melontarkan ajakan kencan itu padaku.

Aku menghela napas. Sungguh, aku tidak tahu menjawab apa. Bagiku ajakan kencannya bukan sesuatu yang kuharapkan.

Bukannya aku sok cantik atau jual mahal. Tidak sama sekali. Namun aku pun menghadapi dilema.

Jika aku menerima ajakan kencan Adam, aku mungkin akan menyakiti perasaaan Bill. Pria itu jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tertarik padaku. Tapi memang belum ada pernyataan lebih lanjut darinya mengenai hubungan kami. Hingga saat ini, dia bukanlah kekasihku.

Di lain pihak, jika aku menolak ajakan Adam, aku pun akan menyakiti perasaannya. Dia adalah pemuda yang baik. Aku tidak ingin hubungan pertemanan kami rusak karena aku tidak mau menghabiskan waktu berdua dengannya. Jika aku menerima ajakan kencannya, aku pun seperti memberi harapan palsu padanya.

'Jadi... bagaimana, Mandy?' tanya Adam sekali lagi. Dia menatapku dan kali ini tangannya menyibak poni dari keningnya. Dia tersenyum canggung karena aku hanya menatapnya bingung.

'Adam... kuharap kau tidak marah. Maaf... aku tidak bisa pergi kencan denganmu.' jawabku akhirnya.

Ekspresi kecewa terlihat jelas di wajahnya. Dia pun langsung bertanya, 'Kenapa? Apakah kau sibuk? Kita bisa pergi di hari lain kalau besok kau tidak bisa.'

Rupanya Adam bukan tipe yang gampang menyerah.

Aku tersenyum padanya, lalu aku berusaha memberinya penjelasan, 'Bukan begitu.... Tapi, aku memang tidak bisa melakukannya. Kuharap kau mengerti. Aku ingin menjadi temanmu, kau orang baik. Tapi tidak bisa lebih dari itu...'

Jawabanku membuatnya sadar akan arti penolakanku. Kulihat tatapan terluka di matanya.

'Jadi... sudah ada orang lain? Begitukah, Mandy?'

'Maafkan aku...' balasku pelan.

Adam menggelengkan kepalanya. Namun dia berusaha tersenyum padaku, 'Tidak apa-apa.... Aku mengerti... Bodohnya aku.... Gadis secantik dirimu tentu saja tidak akan sendirian. Pastinya kau sudah memiliki kekasih...'

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Mungkin ada baiknya dia berpikir seperti itu. Jadi aku tidak perlu berbohong atau mengarang alasan padanya. Lagipula, kebohongan hanya akan membuat segala sesuatunya lebih runyam.

'Tapi... jika hubungan kau dan lelaki itu ternyata tidak berjalan dengan baik, aku masih setia menantimu.' ujar Adam dengan penuh percaya diri.

Aku menggelengkan kepala, 'Adam... sungguh jangan lakukan itu. Kau pantas untuk mendapatkan kekasih yang benar-benar mencintaimu. Jangan habiskan waktumu seperti itu...'

Adam menghela napas, seakan berusaha untuk tidak mendengarkan ucapanku. Lalu dia menghabiskan kopinya dan mengambil ranselnya, 'Aku pulang duluan Mandy, sampai bertemu ..... nanti?'

Aku membalas lambaian tangannya. Sosok pemuda berambut merah itu pun berlalu dari hadapanku. Aku menatapnya hingga dia tidak terlihat lagi dari kursi dekat jendela tempatku duduk.

Apakah aku sudah melakukan hal yang benar?

Untuk beberapa saat, aku hanya bisa duduk terdiam. Tidak bisa dipungkiri ada rasa bersalah yang menggelayuti hatiku. Tapi apa boleh buat, tidak ada yang bisa kulakukan sekarang.

Setelah menyesap sisa kopi dari cangkirku, aku kemudian meninggalkan sedikit uang tips untuk pelayan dan meninggalkan cafe itu dengan perasaan galau.

                                                                                ***

'Apa yang sedang kau lakukan?'

Aku memutar-mutar sejumput rambutku sambil memikirkan jawaban, 'Um.... aku baru pulang kerja dan sedang bersantai di sofa tadi....'

Terdengar suara tawa kecil yang sudah begitu kukenal. Dia lalu berkata, 'Wah.... sepertinya kau sedang menikmati waktu luangmu sebelum aku mengganggumu.'

'Tidak juga..... Aku tidak merasa begitu. Bagaimana denganmu? Apa yang sedang kau lakukan?'

'Aku sedang memikirkanmu, Mandy...' jawabnya dengan nada menggoda, 'makannya aku menelponmu.' sambungnya kemudian.

Aku tertawa kecil. Dia sungguh tahu cara membuat wanita merasa tersanjung.

'Benarkah, Bill?' tanyaku pura-pura tidak percaya.

Terdengar suara erangan panjang di seberang sana, 'Awwww.... Mandy, apa yang harus kulakukan supaya kau percaya?'

'Hummmmm....... datang kemari dan membawakan bunga yang indah?' jawabku seenaknya. Toh aku tahu dia tidak akan melakukannya. Saat ini waktu sudah cukup larut dan mana mungkin masih ada toko bunga yang masih buka?

Dengan kata lain, aku hanya ingin melihat reaksinya.

Bill kemudian memberikan jawaban yang membuatku terkejut, 'Baiklah. Tunggu aku kalau begitu.'

Aku pun panik, 'Aku hanya main-main saja, Bill. Kau tidak perlu melakukannya.'

Tapi Bill pun tidak mendengarkan perkataanku, 'Aku pergi sekarang. Bye, Mandy.'

Terdengar suara telepon ditutup. Aku terpana dengan reaksi Bill. Tidak henti-hentinya aku mengutuki diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa begitu gegabah? Apa yang tadi kupikirkan?

Kulirik jam dinding. Jika perkiraanku benar, dia akan sampai dalam setengah jam atau sekitar empat puluh lima menit lagi.

Dari kamar Mom terdengar suara batuk-batuk. Sepertinya Mom sedang terbangun. Pasti dia tidak akan senang jika mengetahui ada tamu di jam seperti ini. Apalagi jika Mom tahu bahwa tamu itu adalah seorang pria.

'Oh Mandy..... kau itu bodoh sekali!'  seruku pada diri sendiri.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana jika Bill datang dan Mom mengetahuinya?

                                                                                      ***

Aku betul-betul tidak dapat merasa tenang. Aku harus cepat-cepat meminta Bill pulang jika dia benar-benar datang nanti. Aku tidak mau Mom merasa marah dan kemudian merasa tidak suka padanya.

Selama ini Mom hanya baru mendengar sedikit mengenai Bill. Aku tidak menceritakan seluruh hal padanya. Tentunya Mom akan kaget jika mengetahui bahwa 'Bill' yang selama ini sering menelepon dan memberikan perhatian padaku adalah seorang pria yang usianya jauh lebih tua dariku.

Apalagi jika Mom tahu bahwa Bill adalah salah satu Stones. Reaksi macam apa yang akan muncul?

Selagi aku panik dan pikiranku penuh dengan berbagai macam hal, aku tidak menyadari waktu sudah berjalan dengan cepat. Tiba-tiba saja bel pintuku berbunyi.

Oh tidak!

Aku buru-buru berlari untuk membukakan pintu. Jantungku berdebar kencang karena takut Mom ikut terbangun dan kemudian keluar kamar.

Namun, rasa terkejutku menjadi dua kali lipat saat kulihat pemandangan di hadapanku.

Bill dan Adam berdiri di depan pintuku. Dua-duanya saling menatap seakan sedang saling menilai. Di tangan mereka, masing-masing terlihat buket bunga. Sesaat kemudian, mereka pun menatapku.

Matilah aku.




In Another Land (Sebuah Kisah Fiksi Rolling Stones)Where stories live. Discover now