Chapter 4. Bukan Cinderella

19 0 0
                                    

Saat paling menyedihkan dalam hidupku adalah melihat Mom sakit dan aku tidak berdaya karena tidak memiliki cukup uang untuk membawanya ke dokter.

Beberapa hari ini Mom tidak bisa turun dari tempat tidur karena begitu lemas. Mom bahkan mengeluh karena kepalanya terasa seperti mau pecah. Karena tidak kuat menahan sakit, akhirnya Mom terus meminum obat anti sakit.

Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan. Aku dan Nic sudah menghitung jumlah uang yang kami miliki, namun nampaknya tidak cukup untuk membawanya ke dokter spesialis.

Nic berkata padaku kalau dia akan mencoba mencari pinjaman. Namun aku sangsi apakah teman-temannya ada yang mau meminjaminya uang. Mengingat jumlah yang dibutuhkan cukup besar, bukan lima atau sepuluh pound saja. Mungkin kami butuh seratus atau bahkan lebih dari itu untuk membayar biaya dokter dan obat.

Aku harus bagaimana?

'Mandy, tolong cek apakah bahan makanan kita masih ada? Jika ada yang sudah habis nampaknya kau harus segera berbelanja dan cepat kembali kesini. Gelombang pengunjung sore akan segera tiba.' ujar bosku, Gregory.

Aku tersentak dari lamunanku. Untungnya aku sedikit menangkap apa yang tadi diucapkan oleh bosku itu. Akupun segera bergegas menuju lemari es. Mengecek bahan-bahan apa saja yang perlu dibeli. Setelah menulis pada secarik kertas, aku pun meminta sejumlah uang pada Diana, istri Gregory yang bertindak sebagai bagian keuangan dan merangkap kasir.

'Apakah kau juga ingin membeli sesuatu, Diana? Biar aku belikan juga sekalian.' tanyaku pada wanita paruh baya yang manis itu.

Diana tersenyum lalu menggelengkan kepala, 'Tidak sayang, pergilah. Hati-hati di jalan.'

'Aku pergi. Bye, Diana.'

Aku bergegas ke tempat penyimpanan sepeda dan mengayuh sepeda itu ke supermarket langganan restoran.

Ah, aku harus konsentrasi pada pekerjaanku. Kalau aku dipecat akan lebih menyusahkan....

                                                                                    ***

Sore ini pengunjung yang datang ke restoran cukup banyak. Meja-meja sebagian penuh dan pesanan makanan terus berdatangan. Aku bolak-balik membawa pesanan dari meja tamu ke bagian penerimaan pesanan. Bosku Gregory yang juga merupakan koki restoran ini sibuk luar biasa. Dia dibantu Pat, koki kedua dan orang kepercayaannya, berjibaku membuat hidangan andalan restoran.

'Hai Mandy!' sapa Maureen.

'Oh syukurlah kau akhirnya datang juga!' seruku lega.

'Ya, aku buru-buru kesini begitu kelas usai. Kasihan kau, pontang-panting sendirian.' Maureen segera memakai celemek dan mengambil buku notes untuk mencatat pesanan. Kemudian dia menghampiri meja yang baru saja diisi oleh pelanggan. Dengan adanya Maureen, aku bisa bernafas lega sejenak.

Mauren merupakan mahasiswa yang bekerja paruh waktu di restoran ini. Dia tidak setiap hari datang karena menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Aku berteman cukup baik dengan Maureen. Gadis itu baik hati dan ringan tangan. Selain itu, dia pun enak diajak bertukar pikiran karena pembawaannya yang dewasa. Aku merasa aman bercerita apa saja padanya karena dia bukan tipe penggosip.

'Sore ini padat juga ya.' bisik Maureen saat melewatiku.

'Ya... aku hampir pingsan tadi. Begitu ada meja yang kosong, langsung ada pelanggan lain yang mengisinya.'

Maureen bersiul lalu membelalakan mata cokelatnya yang indah, pura-pura kaget. 'Yah... setidaknya restoran ini ada pemasukan. Apa jadinya kalau tidak ada yang datang?'

In Another Land (Sebuah Kisah Fiksi Rolling Stones)Where stories live. Discover now