Terlambat - 1

3.3K 311 152
                                    

Kenangan itu tersimpan rapi. Meski rasa sakit turut menyertainya.
_____________


Senyum tak lepas dari bibir Nia. Bibirnya sampai dipijat karena pegal. Aroma kerinduan terasa menyengat dari balik sosoknya yang berparas ayu, dengan wajah oval dan kulit bersih. Matanya yang sempat memejam guna merasai lamunan akan masa kecilnya, terbuka sempurna. Tentu saja karena lagu wajib di tiap lampu merah, tengah didendangkan merdu. Kerumunan penjual asongan tampak berebut masuk untuk menawarkan; minuman dingin, tahu petis dan buah-buahan segar dalam plastik. Sayang, tidak ada yang menawarkan jodoh padanya.

Ono kadal jare tekek, tangine merem melek.
Simbah lagi menek e, kathoke suwek.
Tak rewangi golek recek, golek duwek soko cepek.
Jebul malah dinyek Phak Dhe Mbok Dhe.
Sampeyan opo ngeyek kulo, ngamen ditanggap dudo tuwek.
Matur suwun diparingi cepek, nopo maleh gambar kethek rambute entek.

Setelah memasukkan kepingan seribu rupiah, Nia kembali menekuri jalanan dari balik jendela bus. Perjalanan tiga jam akan segera berakhir. Perjalanan pulang. Menuju tanah kelahirannya dua puluh satu tahun silam. Di sebuah kota yang sebagian besar penduduknya menjadi buruh pabrik rokok ternama. Kota berjuluk 'Tahu' itu, sudah lama tak ia kunjungi. Sejak Nia lulus Sekolah Dasar, ia ikut kedua orangtuanya pindah ke Surabaya. Sejak saat itulah, untuk pertama kalinya ia kembali menginjakkan kaki di kota ini.

Bulir-bulir padi yang menguning, deretan pertokoan, dan depot pinggir jalan menjadi pemandangan sepanjang bus Sumber Waras melaju. Perjalanan sudah sampai di perbatasan kota Jombang dan Nganjuk. Sebentar lagi bus akan berbelok menuju arah Kediri, melewati simpang mengkreng. Simpang yang menjadi pertemuan tiga kota; Jombang, Nganjuk dan Kediri.

Kepulangan mahasiswi Pertanian kali ini karena tugas skripsi yang akan ia kerjakan. Setelah lulus ujian proposal semester lalu, kini ia bisa mengunjungi langsung obyek penelitiannya. Beruntung Nia memiliki saudara dari ibunya yang menjadi ketua kelompok tani di desa. Sehingga, akan lebih mudah untuknya pengumpulan data nanti.

Perjalanan tidak sampai setengah jam lagi, untuk sampai di rumah lamanya. Rumah yang menjadi saksi, bahwa ia pernah memiliki perasaan lebih pada seorang laki-laki. Yang mengajarinya mengenal rumus bangun datar dan bangun ruang. Yang mengajarkannya mengukir lelehan lilin menjadi karya seni batik. Dan menyusupkan rasa sayang pada hatinya yang masih ranum.

Terlalu tinggi jika dikatakan cinta monyet, perasaan Nia kala itu. Lebih tepatnya, itu adalah cinta kecebong.

Mungkin ini juga alasan lain Nia memilih kota di samping tempat kelahirannya, sebagai obyek penelitian skripsi kuantitatifnya. Agar ia kembali menggali kenangan yang masih berserak di kota ini, sekaligus menyelesaikan tugasnya, tentu saja. Namun, ada satu tujuan lagi yang melatari. Tujuan yang ia nantikan selama sepuluh tahun lamanya, akan terwujud. Bertemu dengannya.

Damar Sadewa.

***

Jam makan siang seperti ini, Damar bukannya santai dan beristirahat tenang. Melainkan, bekerja keras dengan kekuatan tangan dan ketepatan ingatan. Tidak hanya dirinya. Ada dua perempuan dan seorang lelaki yang senasib dengannya. Meski Damar adalah pemilik usaha tersebut, tak pernah ia sekadar melihat karyawannya sibuk melayani para mahasiswa yang datang. Sebisa mungkin Damar akan turun tangan membantu, untuk memuaskan para pelanggan. Kepuasan pelanggan, adalah harga mati.

Salah satu ruko yang berjejer panjang, dekat kampus negeri di kota Kediri. Inilah tempat usaha Damar dan kekasihnya. Keduanya merintis usaha foto copy dan penjilidan, sejak tiga tahun yang lalu. Lokasi yang strategis, harga yang murah, karyawan yang cekatan, dan kerapian hasil menjadi pilihan para mahasiswa memakai jasa foto copy dan penjilidan di tempat Damar. Harga, pelayanan dan kualitas boleh diadu.

"Kamu makan aja dulu, Ma." Ima menggeleng. Tahu kalau kekasihnya sedang repot menjilid makalah, tidak mungkin ia tega membiarkan begitu saja. Ima, gadis manis yang dulu dikenal Damar saat sama-sama satu kelompok saat OSPEK.

"Masih ngecek sampul warna yang baru dibeli tadi dulu, nih." Damar mengulas senyum. Tangannya masih sibuk merapikan tumpukan lembar makalah yang sudah diberi sampul. Kemudian menyelipkan pada alat pres. Menekannya dengan kuat agar tidak ada lembaran yang tertinggal.

"Nanti aja makan bareng-bareng, kalau udah selesai semuanya. Lagi rame juga, Wa. Kasihan yang lain kalau nggak dibantuin," alasan Ima. Ia sendiri memang tengah duduk bersila untuk mengecek belanjaan kertas. Damar menyerah. Ia tahu benar kalau Ima tidak akan tega melihat tiga karyawan lain sibuk, sedangkan ia malah makan dengan nikmat. Kalau masalah perut, lebih lapar para karyawan yang bekerja sejak pagi.

"Berapa, Mas?" Seorang gadis berkerudung hijau motif bunga bertanya, seraya mengeluarkan uang dari dompet bergambar kepala katak.

"Semuanya dua puluh ribu, Mbak." Lembaran lima puluh ribuan segera berganti dengan selembar uang berwarna hijau dan coklat. Sebuah senyuman tulus tak lupa mengiringi wajah Damar, untuk para pelanggan yang berkunjung. Meski seorang anak kecil. Baginya, keramahan adalah hal utama. Uang memang bisa menukar keramahan seorang pelayan untuk pengunjung. Tapi ketulusan, tidak bisa dibeli dengan harga berapa pun.

"Kalian makan dulu, gantian. Aku mau ngecek komputer sama Ima. Jaga toko baik-baik," pesan Damar pada ketiga karyawannya. Ada teman yang menjual komputernya. Damar memang berencana akan membuka rental pengetikan.

"Ayo, Ma!"

Ima mengangguk. Keduanya melaju menggunakan sebuah motor bebek, membelah terik siang hari yang menyengat. Kedua tangan Ima melingkar di pinggang Damar. Penuh sayang, Damar menepuk-nepuk punggung tangan Ima dengan tangan kirinya. Motor masih melaju pelan, melewati jalanan yang ramai dengan aktifitas anak sekolah dan mahasiswa yang lalu-lalang. Menyusuri jalanan yang sejak dulu keduanya lewati saat masa perkuliahan. Sebagai sahabat. Dan kini, saat hubungan keduanya berlangkah lebih maju. Ya, sebentar lagi mereka akan menikah. Tidak lama lagi. Bukankah kalian bisa melihat sendiri, seperti apa pancaran cinta keduanya? Begitu membuat iri kaum jomblo yang melihatnya.

__________

Terlambat (End-Terbit)Where stories live. Discover now