Terlambat - 6

1.5K 187 37
                                    

Dilupakan, ternyata lebih
sakit daripada dikhianati.
_____________

"Maaf, sepertinya Mbak salah orang. Oh, ya ... bukannya Mbak yang kemarin foto copy di tempat saya, kan? Kertas Mbak ketinggalan."
Damar tak mau berpraduga. Perempuan di hadapannya ini mungkin segelintir orang yang sedang salah alamat. Mengira ia adalah orang yang dikenal. Jujur, Damar hanya ingat kalau gadis di hadapannya ini adalah pelanggan yang kertasnya tertinggal di tempatnya. Tapi, kenapa tatapan gadis itu terlihat sangat mengenalnya? Ah, ada sorot terluka yang Damar lihat dengan cermat.

Kecewa karena ternyata salah orang? Mungkin saja. Hanya itu dugaan Damar.

"Aku Nia, Mas. Tidakkah Mas Damar mengingat sedikit saja tentangku?" Damar menggeleng ragu-ragu. Kerutan di dahinya semakin berlipat. Ia heran, kenapa gadis di depannya ini masih saja bersikukuh?

"Maaf. Tapi saya benar-benar tidak kenal dengan Mbak. Saya permisi kalau begitu," pamit Damar segera beranjak dari hadapan Nia. Diiringi tatapan kecewa, Damar setengah terbirit ketakutan.

Di tempatnya, bahu Nia merosot jatuh. Dengan lunglai, ia kembali ke kursinya. Menengok nasi yang terabaikan sejak tadi.

***

"Makasih, Ren. Udah bantuin." Rena, salah satu tutor bimbingan belajar yang dikelola Alif, mengangguk malu-malu. Rena membantu Alif membersihkan sampah sisa pertemuan bulanan di kantornya. Yang lain juga membantu. Tapi sudah banyak yang pulang. Tinggal Rena yang masih sibuk mencuci piring bekas makan puluhan tutor yang hadir.

"Kayak sama siapa aja sih, Mas Al. Rena ikhlas banget kok. Seumur hidup juga rela disuruh beginian," goda Rena dengan kedipan manjanya. Alif meringis dibuatnya. Mahasiswa jurusan matematika itu selalu saja melemparkan kode keras pada Alif. Bukannya menyambut, Alif malah melempar balik dengan harapan kosong. Berkali-berkali. Hanya berakhir dengan Alif melempar gurauan. Padahal Rena sudah mati-matian merencanakan kalimat kode, dari yang singkat sampai sepanjang rel kereta. Sekadar untuk mengetuk hati Alif yang keras seperti batu gunung. Susahnya, Tuhan.

"Nggak kuat bayarinnya, Ren, kalau seumur hidup. Kang Mas tak kuasa, Ren. Tak kuasa." Rena tersenyum kecut. Memangnya dia mau melamar jadi pembantunya? Jadi istri, dong. Kapan pekanya sih, gerutu Rena.

Alif bukannya tak mengerti akan kode-kode yang dilayangkan Rena sejak setahun terakhir. Gadis periang yang ia kenal karena Rena adalah kakak muridnya itu, seringkali memberinya perhatian lebih. Alif suka dengan Rena. Sebatas semangat dan kinerja gadis itu saat menghadapi tiga murid yang ia bimbing privat setiap harinya, dalam satu minggu.

Untuk urusan hati, ia belum bisa menerima orang lain. Hanya satu orang yang mendiami sejak lama. Meski tak ada sambutan sepadan pada perasaannya, Alif tetap menyimpannya rapi. Sebenarnya sudah ada sosok lain. Tapi, Alif masih meragu.

"Emangnya aku pembantu, Mas. Sekolah tinggi-tinggi ngitung rumus, masa berakhir jadi pembantu. Lebih berkelas dong. Jadi ibu rumah tangga. Ngitungin kadar cintaku buat Mas, yang tiap hari makin bertambah."

Alif menyahut seketika, "Eyaak ... asek!" Tawa Alif membahana, sedangkan Rena memelintir bibirnya kesal. Kurang keras dan jelas apa dia melemparkan kode? Bahkan sapi di rumah Rena saja tahu semua kode itu. Iya lah. Karena Rena selalu menggunakan sapi sebagai obyek latihannya belajar bermain kode-mengode.

"Kebo!"

Teriakan membahana dari arah depan, menghentikan obrolan Rena dan Alif. Alif pamit meninggalkan Rena melanjutkan mencuci piring. Lelaki itu segera melesat pergi.

"Apa sih, Mbel. Teriak-teriak kayak di sawah aja. Ada apa? Udahan hibernasinya?" Nia menjatuhkan tubuhnya di lantai. Terlentang. Tangan dan kaki ia bentangkan lebar.

"Bosen di rumah, Bo. Kamu juga nggak ada." Alif dudk bersila di samping Nia. "Dari kemarin, siapa yang nggak keluar kamar? Sore aku nyariin ke rumah, kamu ke warung Ibu. Ya udah." Nia mendengus.

Setelah insiden Damar tidak mengenali dirinya, Nia meminta izin pulang lebih dulu. Ia mengurung diri di kamar. Tak menyangka bahwa usahanya tetap bertahan pada janji  anak ingusan sepuluh tahun lalu, tak ada artinya sama sekali.

"Bo, kamu inget nggak?"

"Nggak." Nia mecubit paha Alif karena kesal. "Apaan, sih!" ringis Alif tak kalah kesal. Benar, kan? Alif ditanya, ia jawab.

"Belum selesai ngomong, Bo. Nggak usah diserobot dulu, dong. Bikin makin kesel aja," sungut Nia. Alif mengusap pahanya yang ngilu. "Iya. Lanjutkan!"

"Kamu inget, dulu aku selalu bilang ada cowok yang aku tunggu kalau dewasa, kan?" Alif mengangguk. Jelas saja Alif tahu cerita tersohor yang setiap hari Nia ceritakan padanya. Sejak gadis itu masih duduk di bangku kelas lima SD, dan ia sudah SMP hingga sama-sama dewasa.

"Cowok yang ingin kubuat menyukaiku, jatuh cinta sama aku. Mimpi besar kalau kita bisa sama-sama sampai tua. Nikah, punya anak, bahagia bersama."

Alif ikutan berbaring. Namun, dengan posisi miring menyangga kepala dengan tangannya. "Cinta kecebongmu itu? Kenapa? Akhirnya dia mau nikahin kamu? Kapan? Emang udah berani dikawinin? Buang pembalut aja teriak-teriak. Gimana ntar cuci darah perawanmu?" Buset! Nia mendorong tubuh Alif hingga terjatuh ke sisi belakang. Kepala Alif sampai nyut-nyutan karena berbenturan dengan asbak rokok, yang dengan tidak sopannya beradu dengan kepala Alif.

"Sumpah deh, Bo. Kata-katamu nusuk ulu hatiku. Sakit! Perih!" Alif tergelak. Melihat Nia sudah kembali galak, membuat lelaki itu senang. Tidak seperti kemarin.

"Ya udah, lanjut. Kenapa sama cowok itu?" Nia mulai bercerita soal laki-laki impiannya, untuk pengulangan selama sepuluh tahun terakhir. Alif sudah hapal dengan legenda itu. Perasaan menggebu Nia, alasan ia tidak mau pacaran dengan lelaki mana pun, alasan ia selalu berdandan cantik, alasan ia ... datang ke kota ini lagi.

"Aku kemarin ketemu dengannya. Nekat, aku ngenalin diri. Tapi, dia lupa padaku. Apalagi dengan janji fiktif itu. Selama ini, hanya aku yang berusaha. Untuk seseuatu yang tidak nyata."

Alif menepuk-nepuk lengan Nia. "Dia hanya lupa sebentar. Kalau diingatkan lagi, mungkin saja bisa inget kamu, Mbel. Oh, ya. Namanya siapa sih? Dari dulu kamu cerita, tapi nggak kasih tahu namanya."

"Damar Sadewa. Orang yang kamu temui saat di foto copy-an kemarin, Bo."

___________

Aduh, gimana nih kisah Nia selanjutnya?

Jangan lupa follow IG kak Icha comel ya @icha_rizfia buat tahu perkembangan cerita ini.

Terlambat (End-Terbit)Where stories live. Discover now