Terlambat - 2

2.5K 241 67
                                    

Repost bab dua nih. Ada yang mau komentarnya nampang di buku ini? Silahkan beri kesan kalian saat membaca kisah sederhana ini. Siapa tahu, komentar kalian yang akan menghiasai buku ini. Langsung ke kolom komentar, japri, atau pos di beranda. Makasih.

*

*

*

Meletakkanmu sebagai jeda, nyatanya mengurangi penat ini.
______

Rumah yang dulu menjadi tempat lahir Nia dan adiknya, masih tampak sama di matanya. Bangunan bercat  dinding kuning gading itu masih kokoh berdiri. Halaman yang tak begitu luas, namun tetap asri. Letak rumah orangtua Nia berdekatan dengan sebuah sekolah dan perguruan tinggi. Sehingga, rumah Nia dimanfaatkan sebagai tempat kos setelah pindah ke Surabaya.

Ada tiga kamar di lantai atas. Semua penuh oleh anak kos. Di lantai bawah, ada dua kamar. Selama keluarga Nia pindah, rumah ini diurus oleh adik ayahnya Nia. Yang kebetulan baru pulang dari Hongkong. Menjadi TKW sepuluh tahun.

"Bulek Dar!"

Seorang wanita paruh baya tampak terkejut sejenak. Begitu sadar siapa yang ada di hadapannya, senyumlah terlihat cerah. Keponakannya. Yang dulu ia ingat suka memanjat genteng rumah. Kini, sudah bertambah besar dan amat menawan.

"Nia?" Yang ditanya mengangguk dengan senyuman. "Owalah ... bulek pangling, Nduk." Darmi tert awa semringah. Tangan Nia menyambut uluran tangan Darmi untuk dicium.

"Bulek kira nggak jadi ke sini. Ibumu bilang, ke Kediri minggu nanti. Makanya bulek kaget," membuka lebar pintu rumah, "ayo ... sini masuk, Ya." Nia mengikuti Darmi berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kamarmu dipakai Alif. Nggak tahu kalau datangnya sekarag." Nia maklum. Harusnya memang ia datang minggu besok. Sekarang masih kamis. Tapi, kedatangannya ke sini sudah diberitahukan sejak berbulan-bulan lalu. Tepatnya, saat proposal skripsinya mendapat tanda tangan sah dan ujiannya sukses.

Nia meletakkan kopernya di samping sofa. Ia lelah duduk tiga jam di dalam bus. Sejenak ia merenggangkan otot-ototnya dengan menekuk pinggangnya ke samping kanan, kemudian ke kiri. Bunyi gemelutuk terdengar di telinganya. "Nggak apa-apa, Bulek. Aku pakai kamar Alif saja dulu. Mau tidur. Capek, Bulek." Darmi tersenyum.

****

Kamar Alif terbilang rapi untuk ukuran laki-laki dewasa. Dulu saat kecil, ia sering bermain dengan Alif di rumah ini. Waktu itu Alif sudah SMA, dan Nia masih SD. Pulang sekolah, Alif ke rumah Nia untuk bertengakar sekaligus menumpang makan. Sore saat Nia les, Alif sudah hilang bersama teman-teman sebayanya.

Kebetulan rumah mereka berdekatan. Karena alasan finansial dan meninggalnya suami Darmi, rumah orangtua Alif dijual. Darmi dan Alif menempati rumah Nia. Sekaligus menjadi pengelola rumah kos. Dari uang bulanan yang dibayar oleh anak-anak kos, Darmi mendapat persenan dari orangtua Nia. Sekarang, Darmi membuka warung makanan yang terletak di ruko dekat sebuah kampus.

"Ya ampun tuh anak. Kamar kok rapi amat. Kamarku di Surabaya aja kalah." Kamar Alif memang rapi. Semua ia kerjakan sendiri.

Karena lelah, Nia merebahkan diri di atas kasur bersprei biru gelap. Matanya memejam sempurna. Hampir saja ia mengejar gumpalan mimpi dalam lelapnya, hantaman keras mengenai tubuhnya yang sedang tengkurap. Nia sampai terperanjat dibuatnya.

"Anjay, Lif. Badanmu berat, Bo!"

Mata Nia terpaksa membuka. Dengan kekesalan yang menumpuk karena rasa lelah dan kegagalannya terlelap. "Kok tempe kalau aku yang dateng." Alif menggeser tubuhnya ke samping Nia.

"Kebo mana lagi yang repot-repot ganggu orang tidur, bahkan pake seragam begini. Mana bau lagi keringetmu. Ih, sana pergi. Berilah kesempatan saudaramu ini tidur, Lif. Aku capek," mohon Nia dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Surabaya-Kediri, Mbel. Cuma tiga jam. Di bis juga kamu ngorok. Capek dari mana? Bangun! Mandi sono, bau kendaraan umum tuh badan." Alif tersenyum kecil sembari menarik-narik selimut miliknya yang dipakai Nia. Seolah tak puas menggoda Nia, Alif bahkan menjepit hidung saudara sepupunya itu dengan kuat. Nia kembali memejamkan mata. Dan Alif semakin mengganggunya.

"Keluar sana, Kebo. Aku tidur bentar aja. Dhuhur bangunin," pinta Nia setengah memohon dengan mata masih terpejam.

"Ini juga udah dhuhur, Umbel. Mata lagi katarak apa." Nia tak menggubris ocehan Alif lagi. Menutup telinganya dengan bantal, Nia harap suara ocehan Kebo teredam. Alif akhirnya berhenti merecoki Nia. Laki-laki yang enam tahun lebih tua dari Nia tersebut keluar dari kamar.

****

Satu jam tidur, sudah cukup untuk Nia melepas lelah. Dengan tubuh segar setelah mandi, ia selonjoran di depan televisi. Acara sinetron di televisi menjadi santap siangnya kali ini.

"Mbel ... Umbel. Makan nggak, Mbel?" Alif yang datang dari arah dapur, membuat mata Nia berbinar. Ada bungkusan nasi di tangan Alif. Tahu saja kalau perut Nia berdendang qasidah sejak tadi. Begitu mendayu meminta belas kasih makan siang.

"Mau lah. Apaan tu?" Alif meletakaan bungkusan di samping Nia yang selonjoran.

"Nasi. Sama kadal goreng. Makan aja." Belum sampai Alif beranjak pergi, Nia sudah melemparnya dengan bantal. "Seriusan, Bo. Aku kapok kamu kasih makan aneh-aneh lagi. Udah cukup ban sepeda kamu campur bumbu kecap waktu itu."

Alif terbahak jika mengingat kejadian  beberapa tahun lalu. Alif kuliah di Surabaya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah Nia. Suatu hari ia diisengi temannya makan ayam kecap. Ternyata, diantara ayam yang dibalur kecap ... ada potongan ban sepeda bagian dalam. Gigi Alif sampai linu dibuat mengunyah ayam fiktif. Keisengan ia tularkan pada Nia yang waktu itu masih anak SMP. Gigi Alif linu, gigi Nia apalagi. Sampai ditempeli koyo sepanjang hari karena insiden tersebut.

"Becanda, Mbel. Itu nasi rames dari Ibuku. Nggak usah keluarin umbel begitu, ah. Pasokan tissu di rumah ini habis. Adanya gombal amoh, bekas cangcutku. Mau?" Belum sampai Nia melempar Alif dengan kemoceng yang kebetulan ikut selonjoran bersamanya, laki-laki itu melesat masuk kamar dengan tawa berderai.

Meski dongkol, melihat bungkusan yang dibawa Alif, perhatian Nia langsung teralih penasaran. Dengan hati-hati Nia membuka bungkusan. Memastikan baik-baik makanan di dalamnya bukan kadal goreng. Setelah diteliti, ternyata ayam bumbu bali. Nia bernapas lega. Dicuilnya sedikit daging ayam tersembut. Menyuap perlahan dengan kepala mengangguk-angguk.

"Daging tikus sama ayam, bentuk sama rasanya sama. Semoga kamu nggak makan tikus, Mbel!" teriak Alif dari balik pintu. Seketika Nia memuntahkan kunyahannya.

"Kebo!"

________________

*Umbel = Ingus
* Kebo   = Kerbau
*Gombal amoh = kain/baju bekas yang biasanya dibuat lap atau keset.
*cancut = celana dalam. Kalau dalam KBBI berarti kain.

Terlambat (End-Terbit)Where stories live. Discover now