two

52.6K 2.9K 54
                                    

"Non nggak apa-apa?" tanya Bu Susi, pembantu rumah tangga di rumah Stacy yang kini tengah menatapnya khawatir.

Stacy menggeleng, memberi senyuman paksa kepada Bu Susi. "Jangan bilang Mama ya, Bu."

Bu Susi hanya dapat mengangguk saat mendengar jawaban anak majikannya. Wanita setengah baya itu melihat kedua lengan Stacy yang merah dengan iba. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa jika Stacy tak membolehkannya untuk memberitahu sang Ibu.

Stacy memang tak pernah menceritakan masalah pergaulannya pada Mama. Yang Mama-nya tahu, Stacy adalah gadis ceria yang akrab dengan semua orang. Setidaknya, itulah yang Karin -Mama Stacy- tahu sewaktu Stacy SMP.

Saat itu, siapa yang tidak mengenal Stacy Amanda Athalia? Gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang serta wajahnya yang selalu tersenyum ramah pada setiap orang. Setiap bulan, selalu ada saja seseorang yang meletakkan surat cinta atau bunga di atas mejanya. Dan setiap bulan pula, selalu ada saja lelaki yang memintanya untuk menjadi kekasihnya. Hidupnya terasa sangat sempurna. Kaya, cantik, pintar, banyak teman, dan disukai banyak lelaki.

Namun semakin lama ia semakin sadar, bahwa orang-orang yang dianggapnya sebagai teman, hanya memanfaatkan dirinya karena ingin ikut terkenal di kalangan sekolah. Orang-orang yang dianggapnya sebagai teman, tak lebih dari seorang sampah yang tak berguna.

Hingga saat Stacy duduk di bangku SMA, ia mencari sekolah yang jauh dari jangkauan orang-orang di SMP-nya dan merubah penampilannya seperti saat ini, berpakaian serba panjang, kacamata besar, dan rambut yang selalu dikuncir rapih.

Hidup dengan Stacy-Si-Culun-Tak-Berguna
lebih berat dibandingkan Stacy-Si-Cantik-Kebanggaan-Sekolah. Namun selama gangguan yang diterimanya masih sebatas luka akibat lakban, ia masih bisa menahannya.

Tanpa sadar Stacy melamun, mengabaikan perih di lengannya yang sudah mulai memudar, dan juga keadaan bahwa ia masih mengenakan seragam sekolah dan duduk di ruang tamu. Saat menengok ke arah jam, Stacy membelalakkan matanya. Jam setengah lima sore, tak lama lagi Karin akan pulang, dan ia tak boleh melihat Stacy dalam keadaan seperti ini.

Akhirnya, gadis itu dengan cepat mengambil barang-barangnya dan berlari menaiki tangga untuk sampai ke kamarnya. Dengan cepat ia mengganti seragamnya dengan kaus panjang dan celana pendek serta menaruh kacamatanya di atas nakas.

"Stace?" suara Karin yang disertai dengan ketukan di pintu kamarnya membuat Stacy dengan cepat membuka pintunya.

"Iya, Ma?" Stacy tersenyum memaksa, menatap Mamanya yang tetap cantik walau sudah berkepala empat. Wanita di hadapannya terlihat lelah walau diselimuti dengan senyuman.

"Kamu tolong kasih ini sama Tante Mira, dong." Stacy menerima paper bag yang diulurkan oleh Karin. Di dalamnya terdapat tas, yang didesign oleh Karin sendiri.

"Bilangin ke Tante Mira, dia nggak jadi orang pertama yang beli tas ini." Karin mengusap rambut Stacy, kemudian berbalik dan menuruni tangga.

Stacy menghela napas. Mamanya adalah seorang designer yang -bisa dibilang- sedang naik daun. Namun kalau boleh jujur, Stacy sendiri masih tak tahu apa brand yang dilahirkan Karin. Ia hanya melihat huruf 'S' setiap mengantar tas pesanan tetangganya.

Stacy berjalan menuruni tangga, kemudian melihat Karin tengah menggambar dengan sketch book-nya di atas meja makan. Ah, Karin tak pernah berhenti bekerja walaupun sudah di rumah.

Tanpa berkata apa-apa pada Karin, Stacy memakai sandal jepitnya kemudian berjalan menuju rumah Tante Mira--yang kebetulan agak jauh dari rumahnya.

Saat berada di depan rumah dua tingkat milik Tante Mira, Stacy menekan bel kemudian menunggu sesaat ketika terdengar derap langkah seseorang dari dalam rumah.

"Sebentar!"

Suara cowok, mungkin anak Tante Mira. Gumam Stacy. Ia mendengar kerusuhan dari dalam, kemudian kembali terdengar suara derap langkah yang kian cepat.

Pintu rumah itu terbuka secara tiba-tiba, membuat Stacy mundur beberapa langkah dengan cepat. Ia mengerjapkan matanya. Jika saja ia terlambat mundur dalam waktu satu detik saja, wajahnya pasti sudah membentur pintu tersebut.

"Maaf lama, tadi ganti baju dulu--" Lelaki itu terdiam, menatap Stacy yang juga tengah melongo menatapnya.

Ganteng. Haha.

"Eh- i-ini," Stacy memberi paper bag yang dibawanya. "Tolong kasih Tante Mira, ya."

"I-iya." lelaki itu menerima paper bag-nya perlahan, kemudian mengusap tengkuknya dengan gugup.

"Wah, tas Tante udah sampai, ya?" sosok wanita yang diketahui Stacy adalah Tante Mira, berada di belakangnya sembari membawa beberapa kantung belanjaan.

"Iya, Tante." ujar Stacy sembari tersenyum. "Tapi kata Mama, udah ada orang lain yang beli, jadi Tante bukan orang pertama."

Tante Mira terkekeh. "Iya nggak apa-apa kok." kemudian wanita itu melihat anak lelakinya, masih berdiri di ambang pintu. "Stacy udah ketemu Fino?"

"Ah," Stacy reflek menatap lelaki di depannya. "I-iya, Tante."

"Gimana, Fin? Stacy cantik, ya?" goda Tante Mira kepada anaknya, yang dapat Stacy simpulkan bernama Fino.

Fino kembali mengusap tengkuknya seraya mengangguk.

Stacy tersenyum kecut, ia tidak berdandan seperti Stacy-Si-Culun-Tak-Berguna di luar sekolahnya. Jika si Fino-Fino ini melihatnya dengan versi yang berbeda, ia ragu lelaki ini akan tetap mengangguk menyetujui ucapan Ibunya.

"Makasih lho, udah nganterin segala. Tante 'kan bisa kesana sendiri." ujar Tante Mira lagi. Wanita memukul pelan bahu anaknya. "Suruh masuk atuh, Fin." Kemudian berjalan masuk menuju rumahnya.

"Eh i-iya." Fino mengusap bahunya. "Ayo, masuk dulu."

"Ah, nggak usah." Stacy tersenyum sopan. "Duluan, ya."

Stacy berbalik, meninggalkan lelaki tampan di belakangnya yang terus menatapnya hingga ia menghilang dibalik tikungan.

Ia merasakan pukulan kembali menghantam bahunya.

"Kok nggak disuruh masuk? Cewek cantik, lho, Fin, jarang-jarang." Tante Mira kembali muncul, mengambil paper bag yang dipegang anak lelakinya.

"Apa sih, Mama." Fino terkekeh pelan, kemudian kembali menatap tikungan dimana gadis itu tak terlihat lagi.

Ia tersenyum.

----

Ola!

Maaf yaa editnya lama, tugas numpuk banget nggak ngerti lagi T_T

5 Februari 2017, K.

I'm Not a NerdWhere stories live. Discover now