Mengapa Harus Lucu?

363 29 3
                                    

Humor adalah obat mujarab buat penyakit apa saja, kata orang. Bahkan yang lebih hebat, humor mencegah kemunculan aneka macam penyakit, terutama yang bersumber dari stres dan depresi. Tahu sendiri, kan? Tekanan hidup masa kini—terutama di kota-kota besar—rentan menghadirkan stres berkepanjangan. Dipadu dengan gaya hidup yang penuh kolesterol dan lemak jenuh, itu akan jadi bom waktu yang amat menakutkan bernama stroke.

Kalau stres tidak ditangkal dengan humor dan kelucuan, dijamin kita akan masuk jalan tol (highway) menuju alam barzah. Padahal belum tentu di sana nanti kita masih boleh melucu lagi. Karena itu pepatah bilang "tawa itu sehat". Sehat untuk badan dan sehat juga untuk jiwa. Hidup hanya sebentar. Kenapa harus menghabiskannya dalam suasana yang serba spaneng, menegangkan, dan selalu penuh keseriusan?

Maka intinya adalah menikmati hidup. Mensyukuri. Dalam agama, syukur adalah pilar utama hidup. Bersyukurlah, maka Allah akan menambahkan nikmat-Nya berkali-kali lipat. Nggak cukup dengan hanya selalu bilang "Alhamdulillah" tiap kali bersin, tapi juga dengan menikmati dengan sepenuh hati semua kelucuan dan keindahan yang ada di sekeliling kita.

Ada apa saja? Oh, buanyak! Sak-bajeg, kalau kata orang Semarang. Siaran TV setiap hari penuh dengan barang lucu, sejak dari talk show ala Sule & Andre, reality show, kontes bakat, hingga film seri komedi. Rental VCD dan DVD juga tak pernah kekurangan stok film komedi, entah yang lokal, buatan Hollywood, Bollywood, atau Hong Kong dan Korea.

Orang-orang sekitar kita pun pasti banyak yang lucu dan pinter nDhagel, entah nDhagelnya brilian atau jayus bin garing. Dan anak-anak kecil juga pasti lucu-lucu serta sangat menghibur, apalagi kalau mereka sudah mulai bisa berceloteh menirukan omongan dan cara omong orang dewasa.

Lalu, sesekali dalam hidup, kita pasti pernah mengalami kejadian lucu. Bisa lucu yang berkategori slapstick seperti kejedot pinggiran lemari, kecemplung got, atau kejepit pintu; bisa pula yang ber-genre komedi situasi, seperti tidak sengaja ngobrol dengan orang gila, ngrasani seseorang tapi kebetulan yang kita gunjingkan berdiri persis di belakang tengkuk kita, atau tertawa sendiri teringat hal-hal lucu saat lagi naik angkot!

Tapi kemudian kita pun bertanya, daripada repot mencari, kenapa bukannya membuat diri kita sendiri yang lucu duluan? Tentu saja lebih murah dan mudah, karena sudah langsung ada. Tidak perlu lagi harus mencari atau menunggu, soalnya mungkin saja kita justru akan stres karena gagal mencari hal lucu atau bosan menunggu-nunggu datangnya hal-hal lucu di depan mata.

Masalahnya adalah, sebagaimana bidang-bidang keahlian lainnya dalam hidup, tak semua orang punya bakat untuk melucu. Ada yang sejak dari sononya memang tak selucu Cak Lontong, Ridwan Remin, Jerry Seinfeld, Ellen DeGeneres, almarhum Basuki, almarhum Basiyo, atau almarhum Asmuni. Kalau memang tak ada bakat lucu, bagaimana bisa akan jadi manusia lucu?

Dulu saya mengira, saya dinyatakan orang sebagai lucu karena bakat dan DNA dari bapak saya yang memang sudah lucu duluan. Tapi melalui tahun demi tahun, saya menyadari bahwa kemampuan saya dalam melucu mengalami perkembangan yang sangat tak terduga-duga karena tidak direncanakan. Cara saya melucu saat ini sudah beda jauh dari saat saya masih SMP dan SMA dulu.

Beda karena, disadari atau tidak, saya belajar dari menyerap apa pun yang saya temui. Dalam hal ini, lawakan Srimulat, film serial komedi TV setengah jam, dan film-film komedi (dan komedi romantis) Hollywood sangat berpengaruh banyak dalam proses pembelajaran itu.

Padahal saya tahu, bakat tak bisa berkembang. Talenta hanyalah cetak biru alias blueprint dari apa yang akan kita lakukan di tingkatan dunia nyata. Yang bisa berkembang dan meningkat bukan bakat, tapi keterampilan. Yang membuat Mariah Carey bisa menyanyi dengan oktaf yang sedemikian luas bukanlah bakat, tapi keterampilannya menyanyi.

Begitu pula yang bisa membuat saya jadi lucu baik saat ngobrol, saat membawakan acara, maupun saat menulis novel bukan bakat. Itu keterampilan, sebagai hasil dari upaya yang berangkat dari bakat. Tanpa latihan, kemauan, dan kerja keras, bakat hanyalah kesia-siaan belaka jika tak bisa mengubahnya menjadi keterampilan.

Maka pertanyaannya sekarang, apa bisa kita mengolah keterampilan bila tak didahului talenta? Apa bisa kita jadi orang lucu kalau sama sekali tak ada bakat untuk jadi orang lucu? Pertanyaan yang sama bisa Anda ajukan pada orang-orang yang berbondong-bondong ikut kursus komputer, kursus teknisi ponsel, les piano, bimbingan belajar, atau mendaftar ke perguruan silat dan dojo taekwondo.

Mengapa mereka ikut kursus? Ya karena mereka ingin mempelajari dan menguasai satu keterampilan baru. Apa bakat menjadi syarat utama diterima tidaknya kita di tempat-tempat kursus, les, dan bimbingan itu? Walah... lha, kalau pengurus di sana nanya-nanya mulu soal bakat, kapan mereka bakal nerima murid?

Nah, anggap saja buku ini sebagai tempat kursus, soalnya Primagama, Ipiems, atau John Robert Powell kan belum buka kelas orang lucu. Intinya, dicoba saja dulu! Ini hanya soal keterampilan. Hanya soal tips & trik. Tentang penggunaan dan pemanfaatannya tok. Bahkan orang yang terlucu di dunia pun tetap harus belajar teknik-teknik baru untuk meningkatkan kadar kelucuannya, atau dia terjebak dalam pengulangan sehingga akhirnya dikatai jayus dan garing oleh "audiens"!

Yang jelas, karena ini bukan buku ilmiah yang nanti bakal dipakai entah untuk skripsi, tesis, atau disertasi, saya tak perlu repot-repot untuk memberinya daftar pustaka di bagian akhir buku. Sudah terima saja apa adanya, saya ndak bakalan bohong atau memanipulasi fakta atau memfitnah kok. Tidak lucu kalau buku humor harus pakai daftar pustaka (padahal sebenernya cuman karena malas baca, hehe...!).

Semua data dan fakta berasal dari pengalaman dan pengetahuan pribadi. Yang sifatnya sedikit agak ilmiah, saya hanya perlu baca di internet khususnya Wikipedia. Jadi kalau perlu melakukan cross-check atas apapun yang saya sampaikan, Anda tinggal masuk Wikipedia saja, atau Google, dan tak perlu harus ke perpus atau toko buku untuk membuka buku-buku setebal empat atau lima senti karangan para pakar sosiologi, linguistik, sejarah, kebudayaan, psikologi, atau kesenian tingkat dunia. Mencari keyword-nya pun tak terlalu sulit juga, karena tak jauh-jauh dari kata "comedy" atau "humor".

Jadi, selamat membaca danselamat menjadi orang lucu! Kalau sudah, nanti kontak saya biar kita bisa bikingrup lawak, oke!?

The Science of nDhagel: Panduan Edan Menjadi Orang LucuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang