3. Persiapan Mental

136 8 18
                                    

Kisah ini sudah saya ceritakan berkali-kali dalam berbagai event workshop kepenulisan, baik bersama Kantin Banget Suara Merdeka, bersama Tabloid Remaja tren, Majalah Gradasi (g-Mag), maupun dalam kesempatan-kesempatan lain. Tapi tak apalah saya ceritakan lagi agar Anda lebih mudeng memahami persoalannya.

Sebagaimana telah tertayang dalam berbagai infotainment (hasyah...!), saya adalah anak dari almarhum Pak Masdi Sunardi, komikus dan kartunis beken pengarang komik strip Pak Bei. Dari dia saya menuruni talenta menggambar, terutama dalam bidang komik dan kartun. Tanpa diajari atau belajar, kemampuan itu sudah ada dengan sendirinya dalam daftar kebisaan saya.

Suatu ketika, pada tahun 1985 ketika saya masih kelas II di SMP Negeri 20 Semarang, muncul truk box Datsun milik Perling alias Perpustakaan Keliling, yang buka "praktek" di kawasan tempat tinggal saya di Genuk Indah, Semarang. Truk itu datang setiap Rabu sore pukul 15.00 WIB, dan para ABG serta anak-anak berebut untuk meminjam buku.

Saya pun mendaftar jadi anggota, bareng adik saya, Itok dan Gotri. Tiap Rabu sore sepulang sekolah, kami bertiga sudah stand by bareng teman-teman di tempat truk Perling biasa mangkal, yaitu tak jauh dari TK Taman Indrya di Jalan Padi, Blok A, Kompleks Genuk Indah. Lalu, begitu truk datang, kami semua akan berbondong-bondong merubung truk bahkan sebelum "etalase" perpus dibuka.

Dari Perling saya mengenal novel-novel karya Alistair MacLean, Agatha Christie, Enid Blyton, Arswendo Atmowiloto, Dwiyanto Setyawan, dan juga Bung Smas. Begitu terkesannya saya akan novel-novel itu sehingga saya berikrar untuk menjadi seorang pengarang novel. Bahkan lain dari teman-teman yang pada pasang cita-cita pengin jadi dokter, insinyur, ABRI, atau polisi, cita-cita hidup dan masa depan saya hanya satu: jadi novelis!

Masalahnya hanya satu, saya tak bisa menulis sama sekali. Saya seorang kartunis dan komikus, bukan penulis. Saya tak ada bakat sedikitpun untuk menulis. Oleh karena itu, satu-satunya cara tentu adalah mulai belajar dengan meniru. Dan yang saya jadikan bahan contekan adalah serial Lima Sekawan-nya Enid Blyton.

"Novel" pertama yang saya tulis berjudul Lima De: Petualangan di Gunung Perahu, yang mirip sekali dengan Lima Sekawan. Ini kisah petualangan empat orang ABG berumur 12-13 tahunan yang nama-namanya diawali dengan huruf "D" (entah kenapa waktu itu saya memilih abjad itu, dan bukan yang lain), yaitu Dedi, Danur, Desi, dan Diah.

Dedi adalah kakak Desi, Danur adalah kakak Diah, dan mereka bersepupu. Dalam petualangan membasmi kejahatan, mereka ditemani anjing milik Dedi dan Desi yang bernama Digital. Karena belum punya mesin ketik, novel itu saya tulis di buku tulis cap Banteng bersampul biru tua dengan bolpen tinta biru yang kadang-kadang berubah jadi tinta hitam (sampai sekarang bukunya masih ada).

Dengan cara latihan menulis sedikit demi sedikit seperti itu, saya pun menguasai ilmu menulis sedikit demi sedikit juga. Awalnya meniru, mulai dari Lima Sekawan, Hardy Boys, Nancy Drew, Poirot & Miss Marple, hingga Trio Detektif. Baru kira-kira tujuh tahun kemudian, 1992, saya mulai menemukan gaya saya sendiri. Dan sejarah membuktikan, saya baru bisa menerbitkan novel tahun 2005, atau dua dekade setelah saya memutuskan untuk mulai belajar menulis.

Kisah hidup saya itu membuktikan, menulis bukanlah bakat. Itu yang selalu saya tekankan pada audiens workshop yang merasa mereka tak bakalan pernah bisa jadi penulis profesional karena tak punya talenta dalam menulis. Bagi saya dan penulis lain macam Om Daktur Kantin Banget, menulis adalah keterampilan, sesuatu yang sangat bias dipelajari, hanya kalau kita punya kemauan dan determinasi besar untuk melakukannya.

Hal yang sama berlaku juga untuk dunia komedi. Kalau kita melihat pada pelawak-pelawak besar macam Bob Hope, Benyamin S, Bing Slamet, Bagio, Basuki, atau Jojon, kita selalu berpikir bahwa mereka funny by nature, sejak dari sononya memang sudah lucu duluan. Karena mereka memang orang yang punya bakat melucu, maka mereka bisa memainkan itu di panggung dan memanen nama besar di pentas lawak.

The Science of nDhagel: Panduan Edan Menjadi Orang LucuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang