11. Humor Spontan

36 1 0
                                    

Bagi orang awam, manusia superserius sok penting, dan humoris pemula, mencari dan menciptakan bahan lelucon kadang bisa terasa amat bikin frustrasi karena sulit dan berat untuk dilakukan. Tapi bila kita mengingat definisi humor menurut pendapat Rowan Atkinson pada bab depan, kita akan tahu bahwa humor dan lelucon sebenarnya amat gampang untuk ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Atkinson mengatakan, sesuatu bisa disebut lucu karena tiga hal, yaitu berada pada tempat yang tak semestinya, bertingkah laku dengan cara yang tidak biasa, dan berada dalam ukuran atau kapasitas yang salah. Dalam pencarian bahan lelucon reaksi, kelucuan tercipta hanya dengan menempatkan sesuatu dalam salah satu dari ketiga kondisi tersebut.

Sebagai contoh, frase "memerintah dengan arif dan bijaksana" akan cocok diterapkan pada tokoh raja-raja dalam cerita dongeng. Tapi sengaja salah menempatkannya dalam rapat RT pada Pak RT yang baru terpilih akan mengundang tawa dari hadirin. Nah, Pak RT sendiri dapat ikut melucu dengan melambaikan tangan sok berwibawa mirip Presiden SBY yang melambai pada rakyatnya (ini kelucuan karena bertingkah laku dengan cara yang tidak biasa).

Agar lebih mudah dalam membuat lelucon, ingat-ingat saja ketiga patokan yang dikemukakan Atkinson tersebut. Apa pun bentuk kejadian, peristiwa, ucapan, ungkapan, barang, atau kondisi yang lewat di depan Anda, berikan komentar atau tanggapan yang salah, tak sesuai, tidak pada tempatnya, atau keliru secara kapasitas guna memancing tawa dari audiens. Ditambah unsur pokok dari humor berupa kejutan, maka lelucon yang tersusun dari aspek-aspek ini sudah akan cukup efektif guna memancing tawa.

Satu hal mendasar dari lelucon reaksi adalah bahwa kita tak memerlukan audiens, target, atau lawan bicara yang secara khusus kita sasar sebagai subjek lelucon. Subjeknya ya peristiwa atau apa pun yang kita komentari. Jadi pada dasarnya kita bisa melontarkan lelucon tanpa harus secara langsung berkomunikasi dengan seseorang atau satu kelompok khalayak tertentu—alias cukup hanya menggumam atau menggeremeng. Jika lelucon kita memang cukup kuat, orang atau audiens yang sedang tidak berada dalam kondisi berkomunikasi dengan kita pun pasti akan terseret ikut memberi apresiasi.

Sebagai contoh, satu saat saya nonton film Indonesia tentang percintaan. Dikisahkan, sang cowok meninggal karena kecelakaan. Pas mati, tokoh utama kita ini mendapati dirinya berada di puncak gedung pencakar langit bersama sesosok malaikat berbaju jubah serba hitam. Karena bingung, tokoh utama kita bertanya, "Kau siapa? Aku ada di mana?". Dan si malaikat menjawab sok filosofis, "Arah segala arah. Asal segala tujuan..."

Karena sebal dengan sok filosofisnya malaikat itu, saya iseng menggumam, "O.. terminal!". Tak dinyana, para penonton yang duduk di sekeliling saya ikut tertawa mengikik mendengar lelucon sederhana yang sebetulnya tidak saya tujukan untuk bikin tertawa siapapun, karena hanya merupakan bentuk kemangkelan saya pada skenario film tersebut yang nyaris segala unsurnya terlalu dibuat-buat.

Dalam lelucon di atas, kalimat "asal segala tujuan" saya asosiasikan dengan terminal bus, yang memang merupakan asal dari rute bus segala tujuan. Tapi tentu saja penggambaran itu jadi amat aneh dan sama sekali tidak nyambung dengan hal yang sesungguhnya dimaksudkan oleh si malaikat, yaitu alam kelanggengan (afterlife). Kelucuan tercipta akibat dari sedemikian jauhnya kedudukan akhirat dibandingkan dengan terminal bus.

Dengan rumus serupa, Anda dapat membuat sendiri perbandingan-perbandingan lain yang aneh. Misal sekolah dengan tempat penjagalan hewan, teller bank dengan karyawan biro sedot WC, kereta eksekutif dengan motor roda tiga pengangkut barang, dan lain sebagainya.

Nah, sekarang akan kita lihat hal-hal apa saja yang paling yahud untuk dikomentari atau ditanggapi dengan lelucon jenis ini.

Kata-kata

The Science of nDhagel: Panduan Edan Menjadi Orang LucuWhere stories live. Discover now