Mr.Troublemaker - #1

70.1K 5K 1K
                                    

Pagi yang sibuk. Lebih tepatnya aku yang sibuk. Menyiapkan sarapan pagi tepat jam tujuh untuk ibu dan kakak tiriku, terkadang juga ayah. Sudah satu minggu ayah pergi ke Chicago untuk mengurus perusahaannya. Lebih tepatnya, perusahaan keluarga mendiang ibuku. Ibu kandungku. Wanita yang sangat aku cintai di dunia ini.

"Melamun saja sejak tadi. Kenapa? Ingin mati? Semoga dipercepat!" Kata Debra, Kakak tiriku yang melangkah menuju meja makan. "Tuangkan teh!"

Tentu saja aku menuangkan teh ke dalam gelas untuknya. Dan saat sudah selesai melayani Zebra ... Ups, maksudnya Debra. Ibu tiri ku memasuki ruang makan.

Tidak ada sapaan di pagi hari. Berbeda kalau ada Ayah. Tidak ada Ibu yang berwajah menyeramkan dan pastinya, Debra yang tidak suka semena-mena denganku. Keduanya akan bersikap sedemikian baik padaku, tentunya itu hanya untuk mengambil hati Ayah.

"Mom, minggu depan jadikan ganti mobilku?" Debra berbicara pada Miranda, ibu tiriku. Berbicara dengan tatapan terfokus pada ponsel di tangan. Aku selalu meringis menahan tawa saat jemarinya menekan-nekan layar. Kuku yang panjang, berwarna-warni, bahkan tak jarang ditempeli berbagai macam hiasan. Membuat Debra kesulitan dengan kesepuluh jari miliknya, namun demi penampilan, ia berusaha terlihat biasa saja. Bahkan dengan bangganya ia rutin ke salon tiap minggu, demi penampilan -yang menurutnya sempurna itu- dirinya. "Aku tidak boleh kalah dengan Riri. Kemarin dia ke kampus dengan Audi terbaru."

"Besok mobil barumu sudah siap di depan rumah!" Jawab Miranda. Ia pun sama sibuk dengan ponsel di tangan. Aku berani bertaruh, kalau ia tidak sedang ber-chatting-ria dengan ayah. Pasti dengan pria selingkuhannya. Atau pria muda hasil arisan sosialitanya.

Aku mendudukan tubuh di kursi. Menghabiskan sarapan secepat yang aku bisa, agar tidak mual melihat kelakuan mereka berdua.

Ayah menikah kembali setelah dua tahun ibuku tercinta pergi. Irene Andrea, wanita yang melahirkanku ke dunia delapan belas tahun yang lalu.

Ibuku seorang pejuang kanker. Sekuat-kuat dirinya melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya itu, akhirnya menyerah juga. Tapi bukan menyerah karena kalah. Kata ibu sebelum ia menghembuskan napas terakhir di pagi hari musim dingin itu, ia menyerah karena lelah dan ingin beristirahat saja. Lalu terbangun dengan hidup yang baru. Hidupnya di akhirat bersama kedua orangtua serta kakak pertamanya. Hidup dengan damai di surgaNya.

Lanjutkan lagi cerita mengenai nenek sihir bernama Miranda. Kalian pernah nonton film dalmatians? Nah, wajah Miranda mirip sekali dengan dia. Sifatnya pun tidak jauh berbeda. Ayah bertemu dengannya saat tugas ke kota ini, Dallas, Texas.

Entah bagaimana ceritanya ayah bisa suka dengannya. Padahal jauh sekali dengan ibu. Kalau ibuku itu seumpama mawar merah, Miranda itu amorphophallus titanum alias bunga bangkai. Saat berkenalan pertama kali, ia baik sekali denganku. Pakaiannya sangat sederhana. Begitu pun dengan Debra, anak semata wayang hasil pernikahan sebelumnya.

Satu minggu setelah Miranda pulang dari bulan madu, sifatnya berubah seketika. Apa lagi setelah harta waris ibu jatuh ke tangan ayah. Ibuku memang terlahir dari keluarga kaya. Kakek pemilik sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Kakek mempunyai dua orang anak. Ibu dan kakaknya. Sayang, pamanku meninggal karena kecelakaan dan menyisakan ibu. Lalu setelah ibu meninggal tentu saja perusahaan itu, ayah yang memimpin.

"Aku pergi!" Pamit Debra. Entah ia berbicara pada siapa.

Aku masih meminum habis teh hangatku, sebelum Miranda ikut menyusul Debra keluar dari ruang makan.

Hari ini aku ada kelas tepat pukul sepuluh dan aku tidak ingin tertinggal. Merapikan meja makan dengan cepat lalu menaiki tangga, menuju kamarku yang berada paling atas. Ia aku tinggal di menara hahaha tidak bercanda, aku tinggal di loteng rumah yang dijadikan kamar. Tidak masalah bagiku. Aku suka. Satu lantai menjadi milikku utuh.

Oh, kalau kalian bingung mengapa aku dijadikan pelayan di rumah ini, tentu saja itu perbuatan Miranda. Setiap ayah bertugas ke luar kota, Miranda selalu meliburkan semua pekerja. Tentu saja para pekerja senang. Maka daripada itu, semuanya berpihak padanya. Lalu aku selalu bagian yang teraniaya.

Namaku Ella, mirip sekali dengan nama gadis di dongeng Cinderella. Dan nasibku pun mirip dengannya. Makanya, aku selalu menggunakan nama Cinderella di media sosialku -tentunya dengan data palsu agar tidak ada yang mengenali-. Lagi pula, tidak ada salahnya bukan, kalau aku berharap agar nasibku sama dengannya? Bertemu Prince Charming yang membawaku pergi dan menjadikan aku putri.

❤️❤️❤️❤️❤️

Napasku terengah-engah saat menaruh sepeda pada area parkir khusus. Kalau Debra pakai mobil, aku hanya diberikan sepeda. Miranda berdalih, katanya agar aku sehat. Bisa selangsing Debra.

Terserahlah, walaupun jarak dari rumah menuju University of North Texas at Dallas, lebih dari satu kilometer, atau bahkan lebih. Aku tidak keberatan. Aku akui, memang ini cara untuk hidup sehat. Positive thinking better, than complain. Percuma saja membantah Miranda. Lelah yang ada.

Aku melangkah memasuki pintu utama fakultas. Sedikit keringat di keningku yang aku usap dengan punggung tangan. Aku pun memperhatikan beberapa bunga mawar yang mulai bermekaran karena sudah masuk musim panas.

"Ella!"

Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. "Hai, Nancy!" Aku balas sapaannya dan berhenti melangkah. Menunggunya yang menghampiriku.

"Mana Tere?" Tanya Nancy padaku.

Aku menaikan kedua bahu. "Aku baru saja tiba!"

"Ah ya, kemarin aku lupa meminta nomor ponselmu?!"

"Oh, ya sudah mana ponselmu? Kemarikan biar aku masukan nomornya?"

Nancy memberikan ponsel padaku, yang langsung aku ketikkan beberapa digit angka dan menekan tombol simpan. "Kamu hubungi ponselku sebentar ya, aku simpan nomormu juga!"

Nancy mengangguk, lalu terdengar dering ponselku pelan. Saat sedang asik dengan masing-masing ponsel, kami berdua dikejutkan oleh Teresa yang berlari dan hampir menubruk tubuh kami.

Kedua tangannya berpegangan pada salah satu bahu aku dan Nancy. "Wow, keep calm girl!" Nancy menepuk-nepuk punggung Teresa.

"Kalian ... Kalian tahu tidak?"

Aku dan Nancy menggelengkan kepala kompak.

"Ck, ingin aku beritahu tidak?"

Aku dan Nancy saling lempar pandangan, lalu mengangguk bersamaan.

"Romeo membuat pengumuman di mading!"

Bukan menimpali kalimat Teresa, Nancy justru menarik lenganku dan juga Teresa untuk ikut melangkah dengannya, memasuki lobby fakultas.

Pada bagian ujung ruangan sudah ramai dengan mahasiswa, yang juga tengah melihat pengumuman yang ditulis oleh Romeo.

Demi ingin tahu apa itu isi pengumuman, Nancy berani menerobos kerumunan. Ia bahkan menarik aku dan Teresa. Luar biasa memang gadis satu itu.

Dan saat mataku menangkap sebuah tulisan besar, beserta foto atau mungkin poster karena berukuran cukup besar. Aku tertegun. Lebih tepatnya, aku terkejut.

Mulai besok, Sang Romeo akan berkeliling untuk menemukan Cinderella. Sang Putri pemilik bra sakral ini. Bukan ukuran yang menjadi pertimbangan Romeo. Melainkan getaran cinta yang meyakinkan hati, serta takdir.

Cinderella, dimanakah kamu berada?

Setelah membacanya, aku memilih memundurkan langkah secara teratur ke belakang. Pergi entah kemana untuk menenangkan diri.


[Terbit] My Sexy Bra And Mr. TroublemakerWhere stories live. Discover now