Wafer

2.9K 245 66
                                    

Wafer tetap setia berada di sekitar Tanya sampai gadis itu pulang sekolah. Raut wajah Tanya ditekuk. Marah besar sepertinya.

Menurut Wafer, Tanya itu cantik. Apalagi kalau Tanya lagi baca buku, cantiknya nambah. Tapi kalau lagi marah gini, Wafer jadi mikir ulang. Tanya yang lagi marah lebih mirip nenek sihir yang siap memusnahkan Wafer kapan saja.

"Marahnya mau sampai jam berapa?"

Tanya mendelik ke arah Wafer.

"Kenapa?"

"Kasih tahu dulu, sampai jam berapa? 2x24 jam, kah?"

"Mau sampai kiamat juga boleh."

"Jangan!" Wafer menolak tegas. "Nanti aku kangen."

"Kalau kamu pikir aku akan luluh sama kalimat kamu barusan, kamu salah. Mendingan kamu pergi aja, sana. Anggap aku nggak pernah lihat kamu dan kita nggak saling kenal."

"Iya, aku akan pergi. Tapi kita masih saling kenal. Makanya aku nanya, marahnya mau sampai jam berapa? Mau sampai kapan? Biar nanti, pas kamu nggak marah lagi, aku bisa nemuin kamu."

"Terserah!"

Wafer menghela napas. Dasar Tanya batu!

"Aku pergi nih, ya?"

". . . ."

"Oke, aku pergi."

"Tanya! Kita jadi nonton, kan? Sekalian kamu jalan sama Gilbert." Anik yang muncul entah dari mana berseru nyaring. Perkataan Anik menarik perhatian Wafer sehingga Ia mengurungkan niatnya untuk pergi. "Kamu mau sampai kapan pedekate sama dia? Buruan pacaran!"

Buruan pacaran? Sama siapa katanya tadi... gilingan cabe?

"Aku belum mikir pacaran, An. Lagian si Gilbert itu ngebosenin."

"Ah, kamu selalu gitu. Sama si Jansen nggak mau juga. Nanti kamu jomblo keterusan, lho."

Apa sih Anik ini?! Tanya nggak mau pacaran malah dipaksa. Lagian nggak mungkin Tanya jomblo terus, kan, ada aku.

"Kalau Jansen mah, dia nya yang cuman nganggap aku teman."

Nama kayak bedak bayi begitu, berani nolak Tanya?  Palingan  gantengan aku.

Tanya dan Anik berjalan beriringan keluar melewati gerbang sekolah. Wafer melayang di atas mereka, mengikuti.

"Alasan kamu. Tapi sekarang kita jadi, kan? bentar lagi supir aku jemput nih, eh, pacar maksudnya. Pokoknya kamu harus ngedate sama Gilbert. Aku maksa!"

Wah, minta dikerjain nih Akik. Eh, Anik. Lagian aku juga kenapa? Cemburu, kah? Iya, aku cemburu.

Sebelum Tanya mengiyakan permintaan Anik yang memaksa, Wafer dengan cepat masuk ke dalam tubuh Tanya—Merasukinya.

Awalnya Wafer merasa panas karena Tanya seperti menolak dirinya. Tapi setelah beberapa saat, jiwa Tanya melemah, dan Wafer bisa menguasai tubuh gadis itu.

Wafer terseyum senang.

"Aku nggak bisa. Maaf ya," Kata Wafer—yang sudah menyatu dengan tubuh Tanya.

"Yah, kok tiba-tiba sih. Beneran nggak bisa? Bisa, ya, bisa?!" Anik menggoncang pundak Tanya.

Wafer yang berada di dalam tubuh Tanya ikut tergoncang. Rasa pusing langsung menyerangnya.

"Aku nggak bisa hari ini. Kapan-kapan aja kita nontonnya. Kamu juga pasti butuh privasi. Aku pergi dulu, ya. Daah!"

Wafer melambaikan tangan dan buru-buru pergi. Anik menatapnya bingung.

"Kesambet kali tuh anak." Celetuk Anik.

                                    --oooo--

Wafer berjalan dengan riang. Sesekali dia memutar tubuh Tanya, menari.

Enaknya ngapain, ya?

Wafer membuka tas Tanya dan menemukan dompet kecil. Di dalam dompet itu terdapat uang lima ratus ribu rupiah. Tanya punya banyak uang juga.

Wafer mendapat ide. Selama ini kan Tanya selalu memakan makanan kaleng. Saatnya perut Tanya berpesta makanan enak. Perut Tanya berbunyi seolah setuju dengan ide Wafer.

                                   --°°°°--

Wafer melangkahkan kaki menuju penjual es campur di pinggir jalan. Di sebelah penjual es campur juga ada penjual sate kambing. Wafer jadi tidak perlu jauh-jauh pergi mencari makanan enak.

"Bang, es campurnya dua mangkuk." Katanya pada Abang es campur.

"Lagi haus ya, Neng?"

"Lagi pengen, Bang. Buatin nggak pake lama ya," Abang es campur mengangguk, terkekeh.

"Mang, satenya dua puluh tusuk ya. Anterin ke meja yang itu," Wafer menunjuk tempat duduk yang akan didudukinya.

"Lagi lapar ya, Neng?"

"Lagi ada selera, Mang. Buruan ya."

"Siap!" Mamang sate ikut terkekeh.

Sambil menunggu Mamang sate dan Abang es campur membuatkan pesanannya, Wafer kembali memeriksa tas Tanya. Dia menemukan ponsel Tanya di dalam tas itu. Sayang, ponselnya di kunci. Wafer jadi tidak bisa memainkannya.

Selain buku pelajaran, dompet, dan ponsel, tidak ada apapun lagi di dalam tas Tanya.

Tanya mah nggak kreatif. Harusnya dia turutin saran aku buat beli beberapa bungkus Wafer. Biar enak, bisa dimakan di dalam kelas. Tanya nih hidupnya nggak pernah senang-senang. Kaku!

Abang es campur mengantarkan pesanannya—menghentikan aktivitas Wafer memeriksa tas Tanya.

Wafer bertepuk tangan senang, dan langsung melahap es campurnya.

Ini namanya surga. Tanya kayaknya nggak pernah makan yang kayak gini. Iya kan perut?

Wafer menepuk-nepuk perut Tanya.

Astaga, Wafer! Jangan mesum. Biar pun itu yang nepuk perut adalah tangan Tanya, tapi kan kamu yang merasakannya.

Wafer menggeleng cepat menghilangkan pikiran anehnya.

Dalam sekejap dua mangkuk es campur itu habis di makan Wafer. Disusul dua puluh tusuk sate yang sudah diantarkan Mamang sate.

Namanya juga hantu yang udah dua tahun gak pernah makan enak. Ya, gitu, rakus jadinya.

Setelah habis melahap semuanya, Wafer menuju kedua penjual itu untuk membayar. Ketika Ia berdiri di depan gerobak Mamang sate, Wafer melihat ada selebaran orang hilang menempel di dinding gerobak itu. Wafer memperjelas penglihatannya, dan benar saja, itu selebaran tentang dirinya.

"Mang, ini selebaran udah lama nempel di sini?" Tanyanya pada Mamang sate.

"Itu... sudah lama itu."

"Boleh saya cabut nggak, Mang?"

"Oh, silahkan."

Wafer mencabut selebaran itu lalu memasukkannya ke dalam tas.

Harus kasih tahu Tanya. Harus!

                                    * * *

(Barangkali ada yang masih bingung. Itu tulisan yang bercetak miring adalah suara hatinya Wafer. 😉)










The Sweet GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang