Wafer-Orji

1.6K 166 18
                                    

"Dia kakak aku, Wafer."

Tubuh Wafer melemas. Suara Tanya memantul di telinga. Amarahnya kembali menyerang. Jadi selama ini, ia sudah jatuh hati sama adik pembunuh itu. Dunia kenapa sempit sekali. Wafer ingin berteriak kencang. Ingin melemparkan sesuatu, tapi ia tak bisa menyentuh apapun. Kecuali... Tanya. Ia bisa menyakiti Tanya semaunya.

Aura di sekitar Wafer berubah hitam gelap. Dengan mata yang tak kalah gelap, menusuk menatap Tanya.

Jika ingin membalaskan sakit hatinya pada Orji, maka Tanya lah jawabannya.

"Wa...Fer... kamu kenapa?" Suara Tanya bergetar. Ia bangkit perlahan dari kursi dan bergerak mundur.

Wafer terlihat sangat menakutkan.

"Aku bodoh." Wafer tertawa sinis. "Bisa-bisanya aku suka sama adik orang yang udah bunuh aku."

Tanya menggeleng, Tak percaya. Mana mungkin kakaknya—Orji tega bunuh orang. Apalagi yang dibunuh itu Wafer.

"Kamu kalau mau buat lelucon jangan sedasyat ini," kata Tanya mencoba berpikir jernih.

"Emang aku kelihatan bercanda?" Jawab Wafer tegas. Ia berdiri berhadapan dengan Tanya, meletakkan tangannya di bahu gadis itu, dan meremasnya kuat. Udara di sekitar semakin mendingin saja.

"Kamu bisa bilang itu bohong, kan?" Air mata Tanya jatuh. Seharusnya Wafer luluh. Tapi amarahnya semakin menggebu. Seolah perasaannya pada Tanya selama ini terangkat ke langit. Hilang tanpa sisa.

"Hidup kamu dan kematianku, semua itu juga kebohongan."

Wafer benar. Hidup Tanya penuh dengan kebohongan. Penuh tawa di luar, tapi di dalam selalu diisi kesedihan. Orang tua yang selalu bertengkar. Kak Orji yang di temukan sakau di mobil dan mati dalam perjalanan ke rumah sakit. Juga sosok di depannya saat ini.

"Kamu benar." Kata Tanya sesak.

"Sekarang kamu ikut aku," Wafer mendorong Tanya, kasar. "Biar Orji tahu, bagaimana rasanya kalau aku bunuh kamu di depan dia."

Tanya menggigit bibirnya kuat. Air matanya tak bisa berhenti. Dan sayup-sayup ia bisa mendengar suara hatinya hancur perlahan.


*****

"Paman!" Orji berteriak di kediaman Paman Malaikat. "Paman, keluarlah. Atau aku hancurkan rumah kesayanganmu ini." Katanya lagi tidak sabaran. Xiao berdiri gelisah di sisinya.

"Mungkin Paman Malaikat lagi pergi, Ji." Xiao berbisik.

"Nggak mungkin. Senja begini, biasanya dia selalu di rumah."

"Buktinya di sini sepi,"

"Lagi sembunyi, kali."

"Ngapain coba dia sembunyi."

"Takut."

"Takut?"

"Takut kulenyapkan."

"Dia lebih hebat dari kamu, tuh."

"Haishahh." Orji mengacak rambut kasar. "Kamu bisa diam nggak, Xiao? Mau aku masukin botol lagi?" Emosi Orji.

"Ya, maaf. Di sini kalau nggak ada acara kumpulan hantu, kan, nyeremin. Apalagi senja-senja gini. Kalau aku disembunyiin makhluk lain gimana?"

Orji mengatur napas. "Kamu itu hantu, Xiao. Kamu hantu. Jadi diamlah. Dan tolong aku manggil Paman yang mulai budeg itu."

"Kena tulah nanti kamu ngatain Paman Malaikat begitu."

"Ya, authorrr. Xiao kamu berisik." Teriak Orji.

Xiao mengatup bibirnya rapat. Kalau  Orji sudah teriak begini bisa bahaya.

"Paman Malaikat? Kamu dimana? Hantu cantik nyariin kamu nih." Kata Xiao melangkah menjauhi Orji. Dari pada kena teriakin lagi. Apalagi dimasukan dalam botol. Jauhkan bala.

"Paman Malaikat?"

"Paman Malaikat!"

"Paman Malaikat?"

"Paman Malaikat!"

"Paman malaikat, keluarlah."

"Paman Malaikat!"

Xiao mendesis mendengar suara Orji memanggil Paman Malaikat.

"Kamu kalau manggil Paman tuh jangan kasar dong, Ji. Jangan pakai tanda seru. Lembut lah, haiyaa. Biar dia cepat munculnya."

"Grrh, apa hubungannya? Kamu dengan suara lembut yang nadanya mirip penyanyi Mandarin juga dia nggak muncul." Kesal Orji. "Perlu aku bakar ini orang punya tempat? Kamu bisa ngidupin api kan, Xiao?"

Asap menggumpal tebal di sekitar mereka. Berkumpul menjadi satu. Lalu beterbangan menghampiri Orji dan Xiao bergantian.

"Nggak perlu pake acara kuno begitulah. Kalau mau muncul, ya, muncul aja." Kata Orji sinis.

"Orjii..." Xiao berbisik tertahan.

"Hah, kalian ini. Mengganggu saya saja." Asap perlahan menipis, memperlihatkan sosok Paman Malaikat yang berpakaian serba hitam.

"Berikan aku satu permintaan." Xiao berkata iseng.

"Diamlah, XIAO. Duduk manis di sana." Teriak Orji lebih keras.

Xiao menyusut mengikuti perintah Orji.

"Hah, kalian ini. Kalian tahu, saya tadi sedang asik menikmati bau pisang goreng. Menganggu saja."

"Ini lebih penting dari bau pisang itu. Dengar, ya, Paman. Aku nggak bisa lagi bersikap baik sama Wafer."

Tatapan tajam Paman Malaikat  langsung menusuk Orji.

"Kalian mau hilang jadi abu?"

"Wafer sudah tahu aku yang bunuh dia."

Tubuh Paman Malaikat melayang mengelilingi Orji. Tatapannya masih tajam.

"Aku harus apa?" Orji kalah. Nada suaranya yang keras terdengar memohon.

"Kalian... kalian kenapa selalu berbuat masalah? Saya bilang, dampingi Wafer. Biarkan dia murni dengan sendirinya. Sekarang dia pasti sudah berubah menjadi hantu jahat lagi." Kata Paman Malaikat lelah.

"Aku juga maunya gitu. Aku mau ingatannya kembali dengan sendirinya. Dengan begitu aku bisa melawan dia dan menghilang sama-sama. Tapi setelah dia dekat dengan Tanya. Aku bingung. Aku nggak mau Tanya terlibat."

Xiao meringis mendengar perdebatan dua orang di hadapannya.

"Karena itu kalian berbuat menyalahi takdir? Saya sudah bilang, biarkan takdir mengalir."

"Takdir sangat lamban."

"Kamu yang tidak mau menunggu. Tiga tahun berhasil kalian lalui, tapi menunggu sedikit lagi kalian tidak bisa. Dasar bodoh." Kata Paman Malaikat, Marah.

"Beri aku solusi, Paman. Tidak ada gunanya kita berdebat begini." Kata Orji menyerah.

"Lakukan sesukamu, Orji."

  *****

(Nah kukasih panjang kan.. wkwk, yok, dicelup Wafernya 😘😘)




The Sweet GhostWhere stories live. Discover now