🌹 Ikatan Suci

1.7K 71 0
                                    

"Ada kalanya aku bersyukur karena adanya sebuah perpisahan. Tersebab aku percaya, di setiap perpisahan yang sering kali aku jumpai, selalu ada pertemuan kedua yang membawaku pada kebahagiaan yang sesungguhnya."

-Princes A.

***

"Setelah kamu pergi, aku coba cari tahu siapa yang sebenarnya mau jatuhin aku," Adhera menarik napasnya pelan. Mencoba mengatur suarannya yang sesegukkan akibat terlalu lama menangis.

Sabrin dan Arsya diam menyimak. Dengan sesekali Sabrin mengusap punggung Adhera. Mencoba untuk meredakan isakan yang dikeluarkan Adhera. "Aku minta maaf , Bin. Waktu itu aku udah nuduh kamu. Aku terlalu gegabah," lanjut Adhera seraya mengusap pelan air matanya.

Wardah mengangguk pelan. "Terus kamu tahu, siapa yang udah nuduh kamu Dhe?" tanya gadis bermata hitam legam itu.

Adhera mengagguk. Mencoba mengatur kembali napasnya yang sedikit tecekat. "Ternyata, setelah dua minggu aku dikeluarin dari perusahaan, aku dapat kabar bahwa yang nuduh aku ternyata anaknya Bu Ratna. Dia cemburu karena kedekatanku dengan ibunya." tutur Adhera seraya mengingat kembali kejadian dua tahun lalu.

Flashback..

"Kamu gak tahu gimana sakitnya aku saat ngelihat ibu lebih dekat dengan kamu dibandingkan aku sebagai anaknya!" Gadis itu berteriak tepat di depan wajah Adhera. Jari telunjuknya yang mungil terus menunjuk wajah Adhera.

"Tapi kenapa kamu harus lakuin ini, Mbak? Apa mbak gak bisa ngomong baik-baik dulu?" tanya Adhera dengan suara yang lebih lunak dari gadis di depannya.

Gadis dengan dress selutut itu terus menatap sengit ke arah Adhera. Memandang penuh permusuhan pada gadis yang sudah berani merebut perhatian ibunya.

Entahlah, dia sangat membenci gadis di depannya. Apalagi saat melihat ibunya yang sering kali mengusap rambut Adhera dengan sayang. Meberikan senyuman hangat pada gadis yang kurang kasih sayang dari orang tua itu. Gadis itu sangat membenci Adhera. Saking bencinya, ia sampai menuduh Adhera melakukan penyelewengan dana perusahaan. Berharap ibunya akan langsung memecat dan membenci gadis bermata coklat itu. Dan ternyata rencananya berhasil. Hari itu juga Adhera langsung dipanggil ke ruangan ibunya. Hingga gadis itu benar-benar dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bekerja.

"Apa?! Ngomong baik-baik? Asal kamu tahu ya, ibu itu gak pernah ada waktu buat aku. Bahkan buat ngontrol akupun dia gak pernah punya waktu luang." Gadis ber-dress itu mulai menitikakan air matanya. Mencoba melawan sesak di hatinya setiap kali ia mengingat sikap ibunya kepada dirinya..

"Mbak..." Adhera mendekat, perlahan ia memeluk gadis itu. Mencoba menenangkannya dengan mengusap punggungnya dengan pelan. Gadis itupun menumpahkan seluruh perasaannya lewat tangis yang sudah tak dapat di tahannya. Berharap dengan begitu, kegundahan di hatinya bisa sedikit berkurang.

Flashback off..

***


Adhera sedikit menundukan kepalanya. Mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba membanjiri hatinya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan bahwa lelaki yang duduk di belakang kemudi itu akan begitu romantis.

Saat ini ia dan Arsya akan melakuakan fitting untuk gaun pengantin mereka. Tinggal satu bulan lagi acara ijab kabul akan di langsungkan. Masih lama sih, hanya saja mereka tak ingin repot-repot ketika sudah hampir menuju hari H-nya besok. Yang mereka inginkan, dua minggu sebelum hari pernikahan, mereka tidak boleh bertemu dulu. Saat-saat seperti itu akan mereka gunakan untuk mempersiapkan diri. Seperti Adhera yang harus melakukan perawatan tubuh dulu. Dan melakukan beberapa ritual pengantin yang biasa dilakukan di daerahnya.

Adhera tak bisa menahan senyumannya. Sesekali ia melirik lelaki di depannya. Lelaki yang beberapa menit lalu telah melantunkan sebuah syair yang begitu indah untuknya. Syair dari salah satu penyair favoritnya.

"Mmm... Kamu tahu syair ini dari mana, Bang?" tanya Adhera dengan mata sedikit melirik ke arah Arsya yang duduk di depannya.

"Sering dengar dari Sabrin," jawab Arsya singkat namun tak dapat menahan senyum saat tak sengaja mempergoki gadis di belakangnya yang tengah melirik ke arahnya.

"Setelah hari ini, kita gak akan ketemu lagi sampai acara ijab kabul ya, Bang?" tanya Adhera masih dengan kepala tertunduk. Sebenarnya ia sudah tahu bahwa hari ini adalah pertemuan terakhir mereka sampai hari ijab kabul tiba. Tapi memang dasar si Adhera, yang tak akan tahan bila saling mendiamkan karena kehabisan topik pembicaraan seperti ini.

Arsya kembali menarik sudut bibirnya. Membentuk sebuah lengkungan indah yang seakan mampu membius Adhera. "Besok, kalo kita udah resmi kamu gak usah panggil Abang lagi ya?" Bukannya menjawab pertanyaan gadis di belakangnya, lelaki itu malah melempar permintaan pada Adhera.

"Kenapa emang?" Adhera bertanya dengan kening berkerut.

"Aku kok ngerasa kaya tukang bakso ya, dipanggil gitu," ujarnya dengan kekehan ringan.

"Hmmft.. Hahaa.. " Setelah Arsya mengatakan itu, suara tawa Adhera menggelegar seketika.

"Dhe! Tawanya tolong dikondisikan," ujar Arsya datar.


"Ups! Afwan," bisik gadis itu pelan.


Arsya kembali tersenyum. Menatap sekilas gadis di belakangnya lewat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Sedikit menikmati wajah merona calon gadisnya.

Awalnya seharusnya bukan Arsya yang menjemput Adhera untuk ke butik. Meski sudah mendekati hari H pernikahan, mereka tetap tidak boleh duduk berduaan seperti ini. Takut khalwat, kata uminya Arsya. Tapi berhubung tidak ada yang bisa diandalkan untuk mengantarnya ke butik, Sabrin yang sedang repot mengurus masalah WO terlaksa meminta abangnya. Arsya bukannya gak mau, ia malah senang bisa punya waktu ngobrol lebih banyak dengan calon istrinya. Sementara Adhera serba salah. Mau diam, takut suasana terasa awkuard. Mau ngomong juga takut menimbulkna kesalahpahaman. Jadi ya dia ngikut alur saja.

Dan Arsya yang menperhatikan hal itu tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia selalu bahagia ketika Adhera sudah mulai terbuka padanya.

Cukup lama Arsya memandangi wajah memerah Adhera. Hingga di detik berikutnya, ia tersadar dan buru-buru beristighfar. Ini yang dikhawatirkan uminya ketika dua orang laki-laki dan perempua duduk bersama. Meski berjarak satu kursi dari Adhera, tetap saja itu menimbulan penyakit. Iya, penyakit hati. Kata uminya, siapa yang tahu ketika berduaan dengan yang bukan mahram, Arsya masih bisa mempertahankan bentengnya prinsipnya? Bisa saja hal itu rubuh hanya karena tatapan mata. Karena pada dasarnya, panah setan itu menjeru lewat mata. Menghadirkan percikan-percikan emosional yang menjerumuskan ke dalam kubangan maksiat.

Astaghfirullah.

Melihat Arsya memalingkan wajahnya, Adhera refleks ikut menundukkan kepala. Sama dengan Arsya, gadis itu pun kini tengah merutuki keteledorannya. Baru saja, sebelum memasuki mobil Arsya, Ibu Ratih berpesan untuk menjaga hati, mata, lisan dan telinganya dari hal-hal berbau maksiat. Dan sekarang, dengan begitu leluasa mereka saling menatap, mengobrol lepas serta merasakan debaran yang sama anehnya.

"Dhe, ingat. Antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu punya batasan-batasan yang gak boleh dilanggar. Selama perjalanan, kamu harus jaga jarak aman. Duduk satu meter di belakang Arsya dan jangan lakuin hal-hal yang macem-macem."

Peringatan dari Bu Ratih yang seolah-olah tidak mempercayai mereka berdua berdengung di telinga Adhera. Saat ini, ia berharap semoga cepat sampai di butik. Karena dengan berlama-lama dalam satu mobil begini rasanya sudah mau membunuh kewarasan mereka berdua secara perlahan.

"Allah, lindungi ikatan suci ini dengan segala kemurahan-Mu," rapal mereka secara bersamaan sebelum akhirnya mobil menepi di depan butik.




Bersambung..

Princess AdheraKde žijí příběhy. Začni objevovat