🌹 Rasa yang Lalu

1.4K 60 0
                                    

"Dear calon imamku. Maaf jika aku belum bisa menjaga hati sepnuhnya untukmu. Maaf karena qalbu terkadang sering condong terhadap selainNya."

-Princess A.

****

Adhera mempercepat langkahnya saat pintu ruangan Merissa-sekertasis di KAPUR-sudah mulai terlihat. Jarak antara ruang skretariat dengan ruangan Merissa yang juga merangkap sebagai ruang rapat membutuhkan waktu sekitar lima menit.

"Assalamualaikum.. " ucap Adhera saat kakinya mulai memijak lantai marmer di depannya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab seorang gadis dengan setelan baju kurung dari dalam ruangan.

Gadis bertubuh pendek mungil itu tersenyum sekilas ke arah Adhera. "Eehh kamu, Dhe. Sudah selesai persiapannya?" Merissa bertanya seraya menyunggingkan senyum yang memperlihatkan gingsulnya.

Memang, hampir semua anggota organisasi tahu bahwa sebentar lagi Adhera akan menikah. Dan kebetulan satu minggu yang lalu, full ia habiskan untuk mempersiapkan pernikahannya.

"Alhamdulillah sudah, Mer. Tinggal undngannya aja yang masih perlu pertimbangan." Adhera berujar seraya berjalan mendekat ke arah Merissa. "Eeh iya, katanya dana dari donatur sudah cair ya? Aku minta datanya dong."

"Oh, iya. Sebentar aku coba cariin dulu." Merissa berjalan mendekati rak kayu yang terletak di samping meja besar bundar di belakang pintu. Ia mulai mengotak-atik beberapa berkas yang terdapat di dalam rak tersebut, hingga akhirnya menemukan map berwana biru gelap yang terletak di antara beberapa buku tebal. "Nih, Dhe. Mau di data ya?" tanyanya seraya menyerahkan map tersebut pada Adhera.

"Iya, buat bahan rapat besok." Adhera menerima map tersebut dan mulai membaca nama-nama donatur yang tertera pada lembaran yang ada di dalam map. Hingga akhirnya, ia sampai pada satu nama yang tak asing di telinganya. Nama yang sudah beberapa tahun belakangan ini tak ia dengar.

Ia coba memastikannya dengan membaca sedikit biodata dari sang donatur. Berharap pemilik nama itu benar-benar orang yang sudah lama tak ditemuinya. Seorang yang dulu pernah menjadi bagian dari masa kecilnya.

Nama : Muhammad Zaid Gharir, ketua PT. DARWASA MANDALA.
Jmlh. sumbangan : Rp.25.000.000,00

Adhera membaca ulang nama itu. Setahunya, Zaid memang sekarang berprofesi sebagai seorang ketua cabang di salah satu perushaan yang bergerak di bidang pengolahan minyak tanah. Setelah sekian lama Adhera tak mendengar namanya, sekarang tanpa ada hujan tak ada angin, nama itu kembali muncul dalam hidupnya. Nama yang dulu, sering ia perjuangkan dalam do'anya. Tapi apalah daya, ternyata Allah punya rencana lain yang lebih Indah.

"Apa Olly udah tahu ya?" Adhera berujar dalam hati.

Sedetik kemudian, ia buru-buru meraih tas selempangnya yang ada di atas meja. Menutup map di tangannya kemudian memasukannya ke dalam tas. "Aku keluar dulu , Mer," pamitnya pada gadis yang tengah berkutat dengan laptopnya itu.

"Oh, oke," sahut Merissa seraya mengangkat jempolnya.

💐💐💐


Adhera terus berjalan menyusuri koridor TPQ. TPQ Al-ghaffar memiliki beberapa ruang kelas. Dan kelasnya dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai kemampuan santrinya. Ia berbelok saat tiba di pertigaan koridor yang menghubungkan antara musholla dengan ruang kelas Shiddiq. Kelas dengan tingkatan anak-anak usia lima sampai enam tahun itu.

Sesampainya di depan kelas tempat Olly menyampaikan materi yaitu di kelas Fatonah, gadis itu buru-buru mengetuk pintu dan berucap salam, yang kemudian dijawab secara serempak oleh anak-anak serta gadis dengan kerudung merah yang berada di ruangan tersebut.

Adhera tersenyum tipis saat melihat anak-anak yang tengah menghafal pancasila itu. Ia kemudian melangkah masuk saat Olly melambaikan tangan ke arahnya, menyuruh Adhera untuk mendekat. "Kenapa, Dhe?" tanya Olly saat gadis bergamis pink soft itu sudah berada di dekatnya.

Adhera menghela napas sejenak. Menatap gadis di depannya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku mau ngomong sesuatu," ujarnya berbisik.

"Nanti aja deh, Dhe. Ini kan aku masih ngajar. Lagian gak enak juga sama anak-anak," Olly ikut berbisik. Takut anak-anak terganggu dengan pembicaraan mereka.

"Ya udah deh, di luar aja. Bentar doang kok," ajak Adhera sedikit memaksa.

Olly terlihat sedikit berpikir kemudian tatapannya tertuju pada anak-anak yang tengah menghafal dengan serius di depannya.

"Ya udah. Tapi gak boleh lama-lama," ujarnya mengalah. "Adik-adik, kakak tinggal sebentar ya."

-

Olly mengikuti langkah Adhera yang berjalan di depannya. Mereka beriringan menuju bangku yang terletak di depan kelas.

"Mau ngomong apa, Dhe?" Olly memulai. Mencoba langsung pada intinya saja. Ia memang tak punya banyak waktu. Karena tidak enak meninggalkan anak-anak terlalu lama.

"Kamu tahu gak, kalo Bang Zaid adalah salah satu donatur yang kemarin dananya sudah cair?" Adhera bertanya dengan mata lurus ke depan. Menatap pepohonan yang tumbuh di sekitar pekarangan TPQ.

Gadis di samping Adhera mengaggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia menatap Adhera yang raut wajahnya mulai berubah. "Kamu gapapa kan, Dhe?" Ia bertanya dengan pelan.

Adhera menggeleng. "Kamu kenapa gak ngasih tahu aku, Ly?"

"Ngasih tahu apa?" Kening Olly berkerut, belum ngeh dengan pertanyaan Adhera.

"Kamu kenapa gak ngasih tahu aku kalo Bang Zaid ternyata ada di sini?" Adhera mengulang pertanyaannya.

Olly menghela napas sejenak. Mengusir rasa gundah yang tiba-tiba mengusik hatinya. "Lupa, Dhe," ujarnya singkat.

"Kapan Bang Zaid datang ke sini?" tanya Adhera lagi.

"Dua hari yang lalu. Dan ternyata, dia masih inget sama kita loh, Dhe." Ujar Olly seraya tersenyum ke arah Adhera. "Kamu gak mau ngundang dia ke pernikahan kamu?" tanyanya yang membuat pikiran Adhera semaki kacau.

Sepertinya ia belum siap untuk kembali bertemu dengan pria itu. Pria yang bahkan namanya sempat hilang di ingatan Adhera. Pria yang dulu pernah menjadi pelindungnya. Pria yang tinggal di depan panti asuhan tempatnya tinggal. Yang pernah menjadi teman di masa sulitnya, saat anak-anak lain mulai mengejeknya.

"Gak tahu, Ly. Kayanya aku belum siap ketemu dia lagi deh," gadis itu menatap ke arah Olly. Mencoba menyalurkan maksud dari hatinya. "Bahkan, setelah sekian lama rasa ini masih saja berkutat di relung kalbu. Mengukir tempatnya sendiri yang bahkan aku saja tak mampu menghapusnya."

"Kamu gak boleh kaya gini, Dhe. Saat ini, ada orang yang sedang memperjuangkanmu dengan cara menghalalkanmu. Orang yang sebentar lagi akan menjadi syurga bagimu. Akan sangat berdosa jika rasa itu masih saja kamu simpan." Olly berujar dengan nada yang sangat lembut, menyadarkan Adhera tentang rasa yang salah itu. Tidak, rasa yang Adhera miliki tidaklah salah. Tapi dirinya lah yang salah karena tak bisa menjaga hatinya. Menjaga hati yang akan menjadi milik orang lain. Menjaga hati untuk calon imamnya.

Olly benar, ia akan sangat berdosa jika masih saja menyimpan rasa yang teramat terlarang itu dalam qalbunya. Cukup sudah perasaan ini menghantuinya. Dulu rasa itu sempat hilang, dan sekarang setelah hanya mendengar namanya saja rasa itu dengan begitu mudah kembali hadir. Mengusik ketenangan jiwa yang sebentar lagi akan berlabuh pada tujuannya.

Bersambung..

Princess AdheraWhere stories live. Discover now