🌹Amanah

1.2K 55 0
                                    

"فَبِاَ يِّ اٰلَآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ"

~Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?~

🌹🌹🌹

"Gimana persiapannya, Bang?" tanya pria paruh baya dengan janggut tipis itu. Menatap anak pertamanya dengan hangat.

Setelah selesai mandi, Arsya memang buru-buru untuk bergabung dengan keluarganya di ruang makan. Ia menatap Abinya sesaat, kemudian kembali melanjutkan makannya. "Alhamdulillah sudah 99% siap, Bi. Tinggal keputusan Umi aja mau nambahin nasyid apa nggaknya," ujar Arsya setelah menelan nasi di mulutnya.

Abinya hanya mengagguk pelan kemudian pandangannya terarah pada sang istri yang duduk di sampingnya. "Gimana, Mi? Mau Abi cariin nasyid yang bagus gak? Soalnya Abi punya kenalan nih," pria paruh baya itu berujar dengan sesekali menyeruput tehnya.

"Aku kok pengennya kita pake ibu-ibu kompleks kita aja ya, Bi? Suara mereka bagus juga kok," usul Sabrin yang dari tadi hanya menjadi pendengar saja.

"Boleh juga tuh," sahut Arsya sedikit bersemangat. "Lagian mereka juga sering diundang ke acara pernikahan gitu kan, Mi?"

Umi Lifah yang dari tadi hanya mendengar pendapat dari anak dan suaminya, terlihat tengah berpikir. Manakah yang akan ia gunakan jasanya di acara walimahan anaknya. Apakah kenalan suaminya, yang sebenarnya belum pernah ia dengar dan itu membuatnya agak sedikit ragu. Ataukah ibu-ibu rekan pengajian di kompleksnya yang memang punya komunitas marawisan.

Wanita paruh baya itu berdeham sekilas. Mencoba mengambil kesimpulan dari pendapat suami dan anaknya. "Bagaimana kalau kita pake kenalannya Abi saja? Soalnya kan ibu-ibu marawis di kompleks kita udah sering Umi dengar, bahkan kalian juga kan? Nah, kita cari suasana yang baru aja gimana? Bagus atau enggaknya, entar kita minta video rekamannya aja ya, Bi," putusnya yang diangguki semua anggota keluarganya.

"Yabudah sih, terserah Umi aja. Kita mah cuma ngikut doang," ujar Sabrin.

"Kalo gitu, besok pagi Abi hubungi teman Abi. Biar bisa langsung kirim video mereka juga."

Setelah obrolan mereka di meja makan, Arsya memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin menenangkan hatinya yang tersa sedikit gelisah.

Pria itu berjalan menuju meja di samping kasur king size-nya. Mengambil Al-qur'an yang terletak di atas tumpukan berkas itu. Ia ingat bahwa hari ini, tak sedetik pun ia membuka kalam Allah itu. Arsya membuka surah ke 55 yaitu surah Ar-Rahman. Di mana dalam surah ini, dijelaskan bahwa begitu banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Salah satunya di ayat pembuka, yaitu ayat pertama dan kedua.

"(Allah) yang maha pengasih. (1) Yang telah mengajarkan Al-qur'an. (2)"

Arsya paham betul makna kandungan dari ayat ini, yang menjelaskan bahwa Allah yang Maha Pemurah telah mengajarkan nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam Al-qur'an. Dan Muhammad telah mengajarkan Al-qur'an kepada umatnya.

Dalam ayat ini mengungkap nikmat Allah atas hambaNya. Maka surah ini dimulai dari menyebut nikmat Allah yang paling besar faedah dan paling banyak manfaatnya bagi hambaNya, yaitu nikmat mengajar al-qur'an. Maka manusia dengan mengikut ajaran al-qur'an berbahagialah ia di dunia dan di akhirat.

Arsya tersenyum saat membaca ayat pertama dari surah itu. Ia terus membaca surah yang menjelaskan begitu banyaknya nikmat yang diberikan Allah pada hambaNya.

'Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?' ujarnya dalam hati saat nikmat-nikmat Allah terucap jelas dengan lisannya yang ia baca dengan bahasa al-qur'an itu.

Hingga ia sampai pada ayat yang mampu membuat hatinya menangis. Bahkan air matanya pun lolos begitu saja.

"Semua yang ada di bumi itu akan binasa," (26)

"Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (27)

Ya, pada Allahlah semua ini akan kembali. Semua yang ada di dunia hanya semu, sementara Allah adalah Dzat yang kekal. Inilah yang membuat manusia celaka. Tidak satupun mata, hati dan telinga mereka digunakan untuk merenungi setiap apa yang telah Allah ciptakan. Padahal, jika dipikir-pikir, kita yang sombong ini juga makhluk titipan Allah yang entah besok ataupun nanti akan kembali padaNya.

Arsya sadar, ia banyak berbuat dosa selama hidupnya. Sebelum pada titik ini, dia adalah pria kotor yang berkubang pada kegelapan. Dan meski sudah berhasil keluar dari kubangan itu, ia masih tetap merasa jiwanya kotor. Hingga dzkir-dzikir yang ia lafalkan setiap harinya tak bisa membersihkan jiwa bahkan hatinya.

Ah, ia tidak ingin mengingat masa kelam itu. Namun untuk memulai hidup baru, yang jauh lebih baik dari sebelumnya, mau tak mau ia harus menengok ke belakang. Memilah-milah bagian mana dari masa lalunya yang tidak boleh ia bawa ke masa depan. Tapi, pikirnya, sudah tak ada lagi yang bisa dipilah. Semua bagian dari episode hidupnya di masa lalu penuh dengan kegelapan yang menenggelamkan.

***

"Halo, assalmulaikum. Iya Ris?"

"..."

"Saya sedang tidak di kantor hari ini. Kamu bisa serahkan berkas-berkasnya pada Rani. Nanti setelah kembali ke kantor, baru saya tanda tangani."

"..."

"Baiklah. Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Pria itu memasukan kembali benda pipih yang menempel di telinganya. Tangannya ia masukan ke dalam saku celana bahan berwarna hitamnya.

Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah kafe yang terletak di tengah kota itu. Dengan gaya cool yang penuh wibawa, ia berhasil menarik perhatian sebagian orang di tempat itu. Ia terus berjalan lurus, hingga sampai di sebuah sofa yang diduduki oleh seorang pria dengam setelan jas formalnya.

"Pak Arsya," tegurnya membuat pria tersebut mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangannya. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah, Pak Zaid," ujar Arsya dengan senyum mengambang. "Silahkan duduk, Pak."

"Terima kasih, maaf telah membuat anda menunggu lama," ujar Zaid seraya menghempaskan tubuhnya pada sofa di depan Arsya.

"Ah tidak, Pak. Saya yang terlalu cepat sampai," jawab pria yang tengah menyeruput secangkir kopi itu.

"Sepertinya kita sepantaran. Jadi tidak usah terlalu formal lah," kekeh Zaid yang membuat Arsya menggaruk tengkuknya.

Kliennya ini bisa saja. Padahal ada banyak pengusaha muda yang ia temui, namun tak pernah sekalipun berbicara gambalang tentang masalah umur seperti Zaid ini. Sekretarisnya bilang, Zaid ini memang ramah dan murah senyum.

"Saya sudah bawakan berkasnya, Pak. Anda bisa langsung memeriksanya," ujar Arsya.

Zaid mendengus pelan saat pria di hadapannya kembali berbicara dengan formal. Tanpa protes, ia mengambil map biru yang disodorkan pria itu.

"Baiklah, saya rasa kita bisa melakukan rapat resmi secepatnya," ujarnya setelah membolak balik lembaran kertas berkas di tangannya kemudian mengeluarkan pulpen dari saku jasnya untuk menanda tangani berkas tersebut.

"Terima kasih untuk waktunya, Pak Zaid," ujar Arsya seraya menjabat tangan Zaid.

"Mohon kerja samanya."

"Tentu saja, Pak. Kami akan berusaha sebisa mungkin." Arsya menatap yakin ke arah Zaid.

Sementara Zaid, hanya tersenyum kecil kemudian mengagguk. Sebenarnya bukan kerja sama dalam hal pekerjaan yang ia maksud. Namu ada hal lain yang berhubungan dengan masa lalunya. Tentang apa yang tak pernah menjadi tanggung jawabnya.

"Mohon kerja samanya, Sya," ujarnya mengulangi kalimat tersebut. Arsya kembali mengagguk, namun kali ini terlihat agak sedikit ragu. "Tolong bantu saya menjaga dia, membimbing dan memuliakannya sebagai seorang wanita."

Bersambung..

Princess AdheraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon