03. First Meet

7.9K 1.1K 43
                                    

Seiring mata bulat cemerlang itu mengerjap lucu, aku mengucap syukur masih bisa melihat dia melakukannya. Demi seluruh kesungguhan, aku benar-benar tidak ingin dia kembali jatuh dalam keadaan itu lagi. Ya, Jungkook-ku kembali dari masa kritis. Semua ini berkat pertolongan tanggap atas titah Namjoon usai aku mendeklarasi persetujuanku terlibat dalam lingkaran salah satu keluarga aristokrat terkemuka. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku berbaik hati, memberi ucapan terima kasih kepada Yang Kuasa.

Sembari mengusap lembut pipi yang syukurlah masih gembil, aku melempar tatapan paling sayang untuknya. "Bagaimana keadaanmu, sayangku Jungkook?"

Kesayanganku itu tersenyum kemudian mengangguk antusias. "Hm!"

Aku selalu tidak kuasa menahan senyum manakala Jungkook bertingkah sedemikian lucu dan menghangatkan. "Tetaplah sehat. Oke?" Rasa heran lantas menyerangku ketika indahnya lengkungan Jungkook menghilang. Aku mengernyit. Aku takut kalau aku salah bicara. "Ada apa, Sayang?"

"Apa Kookie membuat Noona menangis lagi?"

Kekehan mengambil alih diriku. Bagaimana tidak? Lihatlah perilaku Jungkook sekarang, bibir cerinya mengerucut ke bawah, mata yang memang bulat menjadi bertambah bulat, diperlengkap dengan kerjapan berlalu pelan itu. Sumpah, andai saja aku tidak ingat keadaan, dapat dipastikan Jungkook akan kupeluk habis-habisan.

"Ya, Kookie membuat Noona kembali menangis dan bahkan lebih parah." Kuubah air muka merajuk serupa yang dia lakukan, bedanya aku tidak selucu dia. Menggelikan memang. Aku menjulurkan tangan supaya dapat mengusap puncak kepala Jungkook yang tengah bertumpuh pada bantal. "Makanya, adik Noona jangan sampai kalah lagi dengan musuhnya. Oke? Kookie juga harus tetap sehat agar Noona tidak memiliki alasan untuk menangis. Ah, atau Jungkook memang lebih senang melihat Noona menangis?"

Mendadak Jungkook menggeleng cepat, matanya telah memerah dan berkabut. Dalam hati, aku menyerapah diri sendiri. "Tidak! Kookie tidak mau melihat Noona menangis! Kookie membencinya! Kookie janji akan selalu sehat, Noona. Kookie juga janji, Kookie akan mengalahkan musuh Kookie!"

Tidak terasa air mataku mengalir tanpa permisi. Aku kembali pada alasan sebenarnya mengapa takdir begitu jahat kepada kami, kepada Jungkook, lebih tepatnya. Namun, ujungnya selalu bungkam dalam jawaban buntu.

"Noona, jangan menangis," lirih Jungkook. Tangan mungilnya beralih meraih pipiku. Tersadar, lekas aku menyeka aliran itu.

Aku mengambil napas dalam melepaskan lalu kupasang ekspresi terbaikku. "Baik. Apa Noona bisa pegang janji Kookie?"

Anggukan serta senyuman Jungkook menjawab tegas pertanyaanku. Dengan hati-hati, aku berhambur padanya. Kami berpelukan, menyalurkan gelenyar asa yang kami rasakan.

*****

Dua hari berlalu. Tentu Jungkook tidak lupa janjinya. Dia sehat, dia lucu, dia segalanya. Waktu ini, dia tengah sibuk melebur bersama dua mainan berbentuk salah satu kendaraan mewah yang ada di dunia. Meski kondisinya sudah tidak lagi mengilat, Jungkook tetap menganggap mainan itu berharga.

Aku sendiri sedang merapikan pakaian Jungkook yang baru kubawa dari rumah. Sesekali aku tertawa saat adik kecilku itu mencondongkan mulut ke depan guna menghasilkan suara yang menurutku persis seperti mobil tua sedang sekarat. Hiburan sepele, tetapi tidak dengan efeknya.

Mungkin terlampau asyik tertawa sehingga suatu kilasan melintas di benak langsung membuatku terbungkam. Pertanyaan, bagaimana dia, seperti apa dia, apakah tingkahnya akan juga akan serupa dengan Jungkook, dan sejenisnya menyerangku. Ya, kilasan itu tentang seseorang yang akan menjadi sumber uangku, penjamin hidup adikku, bosku, dan suamiku nantinya.

Come to YouUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum