04. Impression

7.4K 1K 96
                                    

Air muka tanpa rasa Jung Hoseok lekas berubah merengut terpadu marah. "Akhirnya Namjoon datang juga!" Dia berjalan tergesah lurus mengarah Namjoon. "Ayo cepat pergi dari sini. Seokjin Hyung mulai bicara sesuatu yang tidak Hoshiki mengerti! Kepala sakit, Hoshiki pusing!" Dia menangkup kepala memakai kedua tangan, sesekali menggeleng.

Aku masih menatapnya, kali ini bukan terpanah atau tercenung, tetapi sedikit terperanjat. Benar, dia benar-benar mengingatkanku pada Jungkook. Tingkah dan membahasakan diri menggunakan nama.

"Seokjin Hyung, di mana dia?"

"Hoshiki kabur saat Seokjin Hyung pergi ke kamar kecil," aku Hoseok mempertontonkan wajah polosnya. Hoseok meraih tangan Namjoon kemudian dia goyangkan. "Ayo pergi, Namjoon!"

Terlihat Namjoon menepuk punggung tangan Hoseok, meminta dilepas. "Iya, iya! Ayo kita pulang!"

"Pulang?" Terdengar intonasi kekecewaan di sana. "Hoshiki tidak mau pulang. Di tempat itu tidak ada Mama, Hoshiki tidak mau kalau tidak ada Mama. Hoshiki kesepian, meski ada Namjoon dan pembantunya Mama, Hoshiki tetap tidak mau!"

Hatiku terenyuh dalam akibat penuturan Jung Hoseok. Biasanya, aku selalu mengasihani diri sendiri. Namun sekarang, aku diberi kesempatan untuk mengasihani orang lain. Nasib Jung Hoseok tidak jauh lebih buruk dari nasibku. Wajah dan latar belakang keluarganya terasa percuma akibat kekejaman takdir. Jika ditilik lebih dalam, ada banyak kesamaan dari kami, seperti kemalangan, selalu tertekan serta tertuntut oleh waktu dan keadaan. Yang paling krusial adalah, memiliki seorang ibu tidak memiliki rasa peduli pada anaknya. Bukankah begitu?

Helaan napas Namjoon terdengar berat dan panjang. "Kau ingin kembali mendengar ocehan tidak jelas Seokjin Hyung?" Hoseok lantas menggeleng keras. Namjoon menitah, "Baiklah, ikuti aku saja. Mengerti?

Lantaran Jung Hoseok tidak bergeming, Kim Namjoon berinisiatif menyeret sebelah lengannya. Netra Namjoon teralih. "Roane, kami pergi dulu, dan tolong kau urus Seokjin Hyung."

Senyum tersemat dan kepala terangguk merupakan timbal balik dari Roane, Namjoon menyiratkan terima kasih lewat tatapan. "Yumi," cetus Namjoon. Akhirnya peranku selaku pemain tambahan mulai berakhir. Namjoon memberi isyarat. Tentu aku tidak bodoh, aku mengikuti ke mana Namjoon belalu sembari menuntun Jung Hoseok yang melesu.

*****

"Jadi, Hoshiki benar-benar diajak pulang, ya," gumam Hoseok yang duduk tepat di sampingku kecewa sebelum dia membuka pintu mobil. Aku dan Namjoon juga melakukan hal sama.

Tatkala badanku sepenuhnya keluar, udara segar menyapaku, semilir angin membelai kulitku, dan keindahan bangunan di hadapan memanjakan mataku. Bangunan yang biasa disebut rumah itu sekilas terlihat sederhana, tetapi kala diresapi terasa sangat indah. Besar, tetapi tidak bisa dikatakan besar, juga tidak kecil. Arsitekturnya terasa sinkron dengan lingkungan sekitar. Namun, apa betul ini kediaman keluarga aristokrat itu?

"Ini hanya lingkungan atau rumah khusus untuk merilekskan psikis Hoseok. Dia tidak bisa tinggal di kediaman utama dalam keadaan seperti itu," pungkas Namjoon seakan-akan mampu membaca pikiranku.

"Apa dia diasingkan?" celetukku impulsif. Aku tahu, aku lepas kendali.

"Tidak, tidak." Namjoon mengusap tengkuknya. "Ini hanya kebutuhan, kau tahu, kejiwaannya."

Tidak ingin memanjangkan tali, aku mengangguk sekali.

"Namjoon!"

Sepertinya aku mulai hafal warna desibel Jung Hoseok.

"Ayo kita pergi ke tempat lain saja!" Dia mulai merengek.

"Tidak bisa, Hobi. Kita harus menunggu Mamamu pulang, karena akan ada yang kita bahas."

Come to YouWhere stories live. Discover now