15. Realize

6.3K 989 83
                                    

Selepas tersedu-sedu dalam keadaan berjongkok berlatar pagar tua di waktu yang cukup, kami menyudahinya. Menyuruh Hoseok segera masuk dan membersihkan diri, menyoal ini dia tidak akan protes soal bersih-bersih. Asal tahu saja, dia benar-benar membuat perkara dengan aspal jalanan pada pakaian bernominalnya.

Mencari satu set pakaian ayah yang bersih tanpa debu merupakan perjuangan remeh yang risikonya tidak bisa dientengkan. Hidungku puas dibantai yang berakhir kemerahan di ujung dan berkedut. Namun, hasilnya lumayan menghindari hidung bangir milik Hoseok dari gangguan. Juga, menjadi lebih menarik ketika melekat di tubuhnya.

Aku dan Hoseok saling duduk bersila, bersama handuk di tangan, kuusap sekujur kepalanya guna mengurangi kelembapan akibat dialiri air. Hoseok memang tidak lupa atas peringatanku perihal mengeringkan rambut, ini hanya keinginanku saja.

Walaupun Hoseok kekurangan, dia malah makin bersinar. Kutatap wajah penyelamatku lamat-lamat. Kuputuskan untuk tidak berhenti menuntunnya ke gerbang kesembuhan. Ini bukan hanya pasal tugas dan perjanjian lagi, tetapi urusan betul-betul ingin dia sehat, lantaran dia sangat pantas meraihnya. Aku tidak ingin meraih kegagalan kedua. Cukup Jungkook-ku, dan Hoseok jangan.

Sekon per sekon terlepas, aku beringsut mengalungkan tanganku ke lehernya lalu menenggelamkan diri ke ceruknya. Stimulus pertama menimbulkan guncangan pelan pada tubuh Hoseok.

"Terima kasih, Hoseok. Terima kasih telah menarikku dari larutan rasa yang penuh kesia-siaan. Terima kasih dan maafkan aku. Aku egois, keras kepala, dan sinting. Aku membu at Jungkook yang harusnya sudah bahagia tanpa beban menyakitkan, mesti terhalangi karena ketidakrelaanku akan kehilangannya."

Sekonyong-konyong sepasang tangan tegas melingkar di belakangku. Usapannya begitu hangat, memaksa air mataku menyeruak dari wadahnya. Dunia tanpa Jungkook adalah kehidupan yang kutolak. Akan tetapi, kala ini aku tak begitu keberatan menjalaninnya. Mustahil kalau aku langsung sembuh karenanya. Kendati demikian, aku sudah terobati. Tinggal waktu yang bekerja usainya.

"Tidak masalah, Yumi. Hal wajar untuk seseorang yang sedang kehilangan orang tersayang. Apalagi hanya Jungkook yang kau miliki, Jungkook hartamu. Tapi ingatlah, Yumi, kau tidak akan pernah sendirian. Di sekitarmu, masih ada orang yang menyayangimu, dan aku pun akan selalu di sampingmu. Mulai dari sekarang hingga nanti." Hoseok melepaskan rengkuhan, dia memegang bahu rapuhku yang bergetar, kemudian menempelkan dahinya ke dahiku. "Jadi, jangan sekali-kali berpikir, bahwa duniamu telah redup."

Dalam melodi desibel itu, dia memadamkanku. Dalam goresan senyum itu, dia menggiringku. Sampai, dalam sorot cokelat hangat itu, dia menelanku.

Aku mengangguk paham. Bibirnya lantas menyentuh kelopak mataku, mengecap asinnya genangan air terbebas di pelupuk. Turun lagi, mengecup hidungku. Tangannya di bahuku sudah naik menangkup tengkuk, sementara aku sudah menggelapkan penglihatan. Kurasakan bantalan empuk Hoseok menindih bibirku. Perlahan namun pasti, aku mengikuti dinamika permainan Hoseok. Kelembutannya seolah berucap, aku memang pantas disayangi.

Baiklah, demi seluruh kesungguhan, aku siap menerima apa yang akan terjadi selanjutnya.

*****

Hari ini kami bangun sedikit siang, pukul sebelas lewat lima belas menit. Lebih lambat tiga jam dari biasanya. Padahal semalam, kami tidak melakukan apa-apa meski terjaga dalam posisi saling memeluk.

Sebenarnya, usai menukar afeksi, Hoseok melepaskan pagutan sepihak. Dia menyuruhku untuk beristirahat, dan secara ajaib kelelahan menelanku mentah-mentah. Dampak keterpurukan nyata terasa usai berminggu-minggu. Benar, aku mengaku bodoh. Sangat bodoh, jadi banyak waktu yang terbuang percuma.

Acara masakku ikut tersela. Hoseok bilang, jika aku tidak usah melakukannya, sebab dia ingin mengajakku ke suatu tempat yang mungkin restoran dan sebelum berangkat, kami menyempatkan diri pulang ke rumah Hoseok guna mengganti pakaian. Ini perkara Hoseok, aku tidak ingin dia memakai pakaian lapuk lagi.

Kaki-kaki kami menapak di depan pintu masuk restoran yang kini sudah tidak lagi mengangakan mulutku. Mendadak kurasakan hawa-hawa kurang menyenangkan tatkala gerakan langkah bermain menuju meja yang dipesan.

Kontan napasku tertahan disajikan pemandangan bersosok-sosok yang menusukkan atensinya kepadaku. Mengintimidasiku supaya menoreh senyum kikuk. Ini petaka.

"Maaf, Yumi, Mama tidak bisa ikut," ungkap Hoseok yang tidak mendapatkan pandanganku. Sebab, ada makhluk yang lebih horor menantiku bersama manik pekat serta kecakan tangannya di pinggang.

"Hei, gadis tolol, sini kau!" Lelaki berkulit pucat, sang malaikat maut, mengerahkan isyarat jari. "Cepat!"

Aku mendekat, masih sempat menyorotinya tatapan memohon, tetapi ini Min Yoongi, dia bukan lawanku lagi. Jadi, aku pasrah, sungguh. Jarak antar aku dan Yoongi hanya selangkah.

Kepalaku dihadiahi sentilan pertama.

"Apa selama itu waktu yang kau butuhkan untuk bangkit?"

"Yoongi Hyung!"

Sentilan kedua.

"Berhentilah membuat orang susah!"

Sentilan ketiga.

"Awas saja kau memakai cara menjijikkan itu la—"

"Jangan menyakiti Yumi, Yoongi Hyung!" Selagi tanganku melindungi dahi yang tengah tersengat sentilan bertenaga Yoongi, Hoseok melindungiku dengan punggung, alhasil wajahku mengahadap langsung, tanpa jarak.

Baru tadi pagi aku berada di dadanya, dan rasanya masih biasa, tenang juga hangat. Namun, keadaan ini kelewat aneh, terkhusus laju detakanku yang lebih cepat dari normalnya. Aku tidak mengerti.

"Adikku yang manis, Hoseok yang penurut. Katakan, Jeon Yumi, kau apakan dia?"

Baru waktu ini kusaksikan Yoongi mendramatisasi. Terkesan menggelikan, sangat tidak cocok apabila ingat perangainya.

"Kini dia bukan lagi Jeon, tapi seorang Jung, Hyung." Getaran suara Hoseok jelas terdengar. "Aku hanya mengingatkan."

Kuintip dari samping pemandangan yang mendadak senyap dengan mulut tak terkatup rapat dan mata melebar. Kukira mereka terkena serangan titik normalnya Hoseok, dan agaknya suasana canggung mesti dicairkan. Dengan menarik lelaki di hadapanku ini ke samping, aku membungkuk.

"Aku minta maaf sedalam-dalamnya karena telah bersikap kekanakan, aku begitu larut. Itu terakhir kali aku bertindak bodoh. Maafkan aku," akuku tulus.

"Ya, benar, Yumi. Kau tidak boleh melakukannya lagi. Hoseok nyaris jatuh gila, tahu? Bahkan Oppa dan Namjoon kewalahan karenanya." Suara Seokjin menyibak tabir baru.

"Aku tidak gila, Seokjin Hyung!"

"Ingat ini, gadis nakal. Jika kau ingin mati, datanglah padaku, dan akan kuhabisi kau tanpa jeda."

"Yoongi Hyung!"

Berjuta afeksi tersalur, sudah kembali pada porosnya. Aku tersenyum haru, syukurlah. Aku masih dikelilingi orang-orang berhati jelita seperti mereka.

"Permisi! Wah, wah, riuh sekali. Apa pestanya sudah dimulai?"

Kami serempak memalingkan pandangan pada kedatangan dua makhluk berbeda hormon. Aku mengernyit, Roane dan ... Kim Taehyung? Ada apa ini, kupikir Roane ada keterkaitan terhadap Namjoon.

"Taehyung Oppa memaksa ikut. Aku menyerah, aku tidak bisa menghentikannya," tukas Roane seolah memberikan titik terang, tetapi tidak bagiku.

"Aku turut berduka cita atas kepergian adikmu, Yumi." Si artis itu menuju ke arahku. Secara tidak terduga, Taehyung mengacak puncak kepalaku bersama senyum terlampau atraktif. "Senang rasanya kau kembali kuat."

Namun, lagi dan lagi, tidak disangka, tangan Taehyung terhempas kasar. Aku tercenung, Hoseok mengambil alih haknya atas diriku. "Jangan sembarangan menyentuh istriku, Kim Taehyung!"[*]

Come to YouWhere stories live. Discover now