06. In The Back

6.2K 1K 20
                                    

Ternyata, tidak selamanya duduk di tempat yang mewah itu nyaman. Buktinya, aku nyaris ingin kabur dari rumah peristirahatan berkelas ini, jika saja tata kramaku tertinggal di laci nakas kamar rawat Jungkook. Bagaimana tidak? Pemilik asli dari kesepakatan kami berada di hadapanku saat ini. Ibu Hoseok, Nyonya Jung.

Perawakan Nyonya Jung sangat menonjolkan, bahwasanya beliau simbol wanita karier sejati. Lantas aku paham dari mana Hoseok mendapat mata dan bibirnya. Wajahnya seramah Hoseok, sungguh. Sangat berbeda dengan delusi tidak sopan yang kuciptakan.

"Mama ingin bicara apa pada Yumi?" Hoseok menginterupsi.

Aku menoleh ke kanan, memperhatikan Hoseok yang—baru saja—diam rupanya terlihat semakin cerah dan, ya, indah. Entah mengapa memandangnya sedikit mengurangi ketidaknyamananku, sekarang. Kepala Hoseok tertengok tepat padaku, dia tersenyum semringah. Ugh, kontrasnya semakin meningkat. Apa efek bertemu sang ibu membuat dia sebegitunya?

"Hoseok, sebaiknya kita pergi ke tempat lain," usul Namjoon. Dia menggamit lengan kanan Hoseok, tetapi Hoseok sendiri terlihat berontak.

"Heh? Tapi Hoshiki juga ingin dengar apa yang Mama bicarakan dengan Yumi!"

"Hoshiki-nya Mama." Seiring mendekatnya Nyonya Jung, aku impulsif berdiri. Dia meraih kedua tangan Hoseok kemudian mengusapnya. "Untuk saat ini, kau tidak perlu ikut mendengarnya, Sayang. Mama hanya ingin bertanya-tanya padanya, bagaimana rasanya bermain dengan Hoshiki kemarin. Jadi, bisakah Mama meminjam Yumi-nya sebentar?"

Aku tertegun. Intonasi Nyonya Jung terdengar begitu lembut dan penuh kasih sayang. Lantas, ke mana bayangan seorang ibu yang tidak peduli terhadap anaknya? Apa aku kembali salah memberi penilaian?

"Tapi, Mama ...."

"Sayang, percaya pada Mama. Setelah selesai, Mama akan kembalikan Yumi padamu, dan kita akan bicara bilaperlu bermain bersama sepuas yang Hoshiki mau. Bisa?"

Sekali lihat orang bisa tahu, bahwa Hoseok tak ingin menerima. Namun, lembut berbalut keyakinan Nyonya Junglah yang kurasa Hoseok berubah ingin. "Baiklah." Hoseok berpindah pandang pada Namjoon. "Tapi Namjoon harus menemani Hoshiki main game selama Mama dan Yumi bicara!"

"Kau menantangku, Tuan Hoseok?" Namjoon bertanya sengit. Dia menuntun Hoseok menjauh.

"Ya, Namjoon! Bersiaplah kalah lagi dari Hoshiki!"

Mereka menghilang dari pandangku diakhiri kekehan yang menurutku teralun anggun dari daun bibir Nyonya Jung. "Interaksi mereka selalu membuatku menyesali kesibukanku," Nyonya Jung bergumam pelan, tetapi tetap terdengar olehku.

Sepertinya aku memang salah menilai. Tidak, memang benar-benar salah.

Nyonya Jung menempatkan pantatnya di sebelah posisiku. Beliau menarik tanganku supaya ikut duduk. "Kau pasti mengira aku adalah ibu yang buruk, bukan?" Bahkan kikikannya pun menegaskan dia jelas dari golongan tingkat satu. Elegan dan penuh karisma. "Tidak perlu bertanya aku tahu dari mana, Yumi."

Kini aku memelihara kecanggungan. Senyuman sendu Nyonya Jung membuatku melepaskan.

"Semua itu tidaklah salah, juga tidaklah benar. Pada dasarnya, aku dan kau itu sama."

Aku mengernyit kurang terima sekaligus maksud. Di mana letak kesamaan kami?

"Kau berjuang untuk kesembuhan adikmu, sedangkan aku berjuang untuk melindungi anakku dari nasib yang lebih buruk," tuturnya. Mata Nyonya Jung tergenang awangan. "Aku tidak ingin Hoseok bernasib sama seperti kakak perempuannya, apalagi Ayahnya. Jangan berpikir keluarga serba ada itu akan selalu damai, Yumi. Tidak, itu salah. Justru lebih mematikan." Nyonya Jung mengambil jeda guna bernapas, beliau bilang kembali, "Gara-gara harta itu, suamiku dijemput Tuhan dengan paksa. Gara-gara harta itu, putriku tidak bisa menginjak tanah kelahirannya sendiri. Juga, gara-gara harta itu pula, putraku kehilangan keseimbangan akalnya. Putraku itu, Jung Hoseok itu, hampir meregang nyawa bersamaan dengan Ayahnya akibat keluarganya sendiri!"

Entah dorongan apa, tanganku bergerak menggenggam tangan bergetar Nyonya Jung kemudian mengelusnya. Benar, kami sama. Sama-sama dipermainkan, juga diuji.

"Biarlah aku bertindak jahat dan buruk di sini. Aku tidak punya pilihan lain, merebut atau disingkirkan, menolak atau dibunuh. Seperti itulah permainan keluarga Jung."

Hanya saja, beliau lebih berat.

*****

Kami terlibat pembicaraan panjang, di antaranya; bagaimana cara Tuan Jung berpulang kepangkuan Tuhan, bagaimana putrinya yang dikurung dalam tempat berkedok manor, serta bagaimana kronologi kudeta keluarga Jung terhadap Hoseok di masa itu. Catatan paling penting, Nyonya Jung benar-benar sesosok ibu penyayang.

Tidak hanya dia yang bercerita, aku pun membagi kisah keji buatan takdirku padanya.

Melihat Nyonya Jung aku lekas mengenang ibu. Apakah ibuku masih sama seperti anggapanku sebelum bertemu Nyonya Jung? Ataukah ibu tidak punya kekuatan lebih seperti Nyonya Jung?

"Aku sudah melihat adikmu, Yumi. Lucu sekali dia."

"Benar, 'kan? Maka dari itu, aku sulit melepasnya, Nyonya," ungkapku berbangga diri.

"Karena sebentar lagi kita berkeluarga, bolehkah aku bicara santai padamu? Dan tolong berhentilah memanggilku Nyonya." Nyonya Jung menghela, menatapku dengan tatapan yang membuatku bergetar. "Mari lupakan bahwa kita hanya berkeluarga di atas kertas, berlakulah selayaknya keluarga sesungguhnya selama enam bulan ke depan. Setuju?"

"Baiklah." Senyumku mengembang tulus. "Ibu?"

Nyonya Jung yang telah terpanggil Ibu melakukan lengkungan sama. Ganti, dia meraih lenganku. "Kutitipkan Hoseok padamu, Yumi." Menyorotiku dengan sirat yang tidak bisa membuatku menggeleng.

*****

Beberapa waktu lalu, di kendaraan ini, mungkin Jung Hoseok hanya menganggapku sebagai angin berseliwer, meski dia berkata aku manusia. Akan tetapi, sekarang, dia duduk dengan wajah berserinya di sampingku seraya menyemat senyum lebar. Tadinya, kupikir tidak akan ikut mengantarku kembali ke Keunhyang dan lebih memilih melekatkan diri pada ibu tersayang yang telah ada di rumahnya.

"Apa semua pertanyaan yang menimbun di pikiranmu telah tuntas terjawab, Yumi?"

Suara berat dari pria berlesung di depan kemudi itu membuat atensiku kembali lurus. Tidak perlu lama bagiku untuk mencerna inti sarinya. Sekali lihat saja kau akan langsung tahu, Namjoon itu genius. Dia pintar menilai sesuatu, termasuk yang dia tanyakan itu. Aku membalas,"Ya, bahkan sampai mengubah persepsiku."

"Hal bagus, bukan?" ungkap Namjoon. Aku dapat melihat sebelah pipi Namjoon yang terangkat.

"Sangat," Aku menyetujui kemudian menghela payah. Beban yang diimbaskan teruntuk Nyonya Jung, yang sekarang dapat kupanggil Ibu, terlalu berat. Bodohnya, aku justru menganggap beliau buruk. Semestinya aku paham, Hoseok bersikap demikian di mula kami bertemu, menandakan betapa meruahnya kasih sayang yang Nyonya Jung limpahkan terkhusus Hoseok. Tuan Muda ini pun terasa begitu murung tanpa sang ibu.

"Hei, kalian bicara apa? Kenapa tidak mengajak Hoshiki?" Hoseok memajukan kepalanya. Memandang aku dan Namjoon bergantian dengan mata yang mengerjap pelan dan bibir yang dilipat ke dalam. Detik itu aku menyadari, tidak hanya Namjoon, Hoseok juga memiliki dua lesung pipit mungil di atas sudut bibirnya.

"Hanya basa-basi, Hobi." Namjoon menengok beberapa sekon. "Benar, 'kan, Yumi?"

Aku tersenyum kecil. "Benar sekali." Telunjukku beralih menekan sebelah pipinya. "Tidak ada apa-apa, Hoshiki. Sekarang duduk yang manis."

Kepalanyasontak meneleng. Aku harap cemas, Hoseok menutut pernyataan. Namun, dia malahmenurut dengan senyum khas anak kecilnya pula. Ya ampun, lelaki ini.[*]

Come to YouWhere stories live. Discover now