11. Lil' Family

6.5K 972 29
                                    

Genap satu minggu sudah aku berdomisili di griya menawan ini, dan selama itu pula aku menyandang status sebagai istri dari Jung Hoseok. Iya, iya dan iya, istri. Rutinitas yang kami lakukan, dapat dipastikan hanya mengelilingi area kawasan rumah Hoseok, menjenguk Jungkook, dan selebihnya, berkutat di intern rumah.

Berpikir pasti membosankan ialah kesalahan terbesar dari hal kecil yang telah siapa pun lakukan. Hoseok, tingkah, dan kejutannya tidak akan pernah membiarkan seseorang, terutama aku, menyesali waktu. Sudah terbiasa dengannya, mungkin tidak keseluruhan benar, sebab aku tetap selalu kewalahan apabila dia tengah kembali ke jati dirinya.

Hoseok itu eksentrik, tetapi memesona dan mendominasi.

"Lama-kelamaan, masakan Yumi jadi terasa seperti masakan Mama," Hoseok berujar selepas menyeruput kaldu sup ayam di sendok. "Ah, Hoshiki tidak mau jadi anak jahat, masakan Mama yang terbaik!" tandas lelaki itu di akhir.

Aku yang datang bersama handuk sedang yang kuambil dari kamar mandi utama sesaat setelah sosoknya menyapa, lekas menempatkan ke kepala tidak terlalu kering itu lalu mengusap teratur.

"Segera keringkan rambutmu setelah mandi. Setidaknya, jangan sampai mengucur lagi seperti tadi. Pundak bajumu basah, tahu?" tegurku. Ini kebiasaan tidak bagus. Jadi, kuputuskan untuk menghentikan itu. Bisa saja menggunakan hairdryer, tetapi aku melupakannya.

Derai tawa Hoseok menelusuk indra pendengar. Tangan lembab itu bergerak, menumpu di atas punggung tanganku, membantu mengurusi tetek bengek surainya. "Maaf, Yumi. Mulai dari sekarang, Hoshiki janji tidak akan mengulanginya lagi."

Garis kurvaku beranjak gemas. "Lagi pula, aku juga tidak mungkin mampu menandingi Mamamu, Hoshiki."

"Tapi Hoshiki juga sayang pada Yumi, kok," aku Hoseok seketika. "Buktinya, Hoshiki selalu lebih dulu melakukan perjanjian yang kita buat."

"Benarkah? Perjanjian apa?"

"Cium bibir tiap pagi dan malam, yang kata Yumi, tanda sayang."

Aku belum sadar benar sebelumnya, tersedak napas sendiri. Memang, selain titik normalnya, perangainya kala ini pun sama meruwetkan. Terucap polos, tetapi tertancap ampuh. "Sudah selesai!" Kupilih berkelit daripada menambah polesan kemerahan di wajah, sementara di pihak Hoseok mengalur. Kusampirkan helaian handuk ke bahu kemudian kesepuluh jemariku menari, menata rambut Hoseok agar lebih rapi sediakala.

Sekonyong-konyong denting bel rumah melolong. "Siapa?" gumamku bertanya entah pada Hoseok atau apa. Sungguh bukan keadaan yang lazim, selama aku tinggal bersama Hoseok.

"Mungkin Namjoon," Hoseok menyahut. "Kadang Namjoon datang dengan menekan bel, kalau ada yang membuat Namjoon bermuka jelek."

"Tuan? Nyonya? Oh, di sini kalian ternyata!" Namjoon dan pakaian kasualnya adalah pemandangan baru bagi retinaku. "Maaf sebelumnya. Boleh aku mengungsi di sini untuk setengah atau seharian penuh?" Namun, wajah kentara jengkel yang Hoseok cap jelek juga turut jadi hal baru.

"Benar, 'kan?" Hoseok menengadah padaku.

"Ada masalah apa, Namjoon?" Mataku melebar sekejap. "Ah, itu pun kalau boleh tahu."

Kalap, Namjoon menghempaskan diri di sofa ruang santai yang memang terhubung dengan ruang makan. "Ada makhluk super menyebalkan di kediaman utama keluargaku. Ah, sungguh anak itu ...," eram Namjoon. Aku bergidik karena Kim Namjoon yang kutahu, begitu tenang dan dewasa. "Boleh, 'kan, Hobi? Yumi?" pastinya, lagi.

Tololnya aku mengangguk, di lain waktu Hoseok melantunkan persetujuan, "Tentu, Namjoon."

"Oh iya, Namjoon, mari sarapan bersama!" ajakku di kala melangkah kembali ke dapur, bergelut di sana. "Hoseok, kau ingin kita membawa bekal sendiri?"

Come to YouWhere stories live. Discover now