13. Black Day

5.9K 965 51
                                    

"Berhati-hatilah."

"Astaga! Si serba hitam?" Mungkin air mukaku sudah kelewat cerah. Ya, aku mengingatnya jelas. Dia orang yang menyelamatkan dua kantong plastikku dari kerusakan, dan aku berutang satu hal.

"Si serba hitam? Aku berharap, kau akan menyebut 'Kim Taehyung!' dengan lengkingan tidak tertahan. Kecewa, ada juga yang tidak mengenalku, padahal aku mengingatnya. Tapi tidak masalah, setidaknya kau ingat daripada tidak sama sekali," racau lelaki yang agaknya bernama Kim Taehyung itu kemudian mengangguk singkat.

"Ah, maaf, dan terima kasih banyak untuk yang waktu itu," ucapku seraya menunduk hormat. Di waktu sama, aku menerka soal Kim Taehyung, sepertinya nama itu tidak begitu asing di telinga. Siapa, ya?

Ada bermacam bentuk senyum di dunia, tetapi senyum berbentuk kotak, langka sekali guna dilihat. "Saat itu, harusnya aku berhenti sedikit lebih lama untuk mendengar ucapanmu ini, kemudian memperkenalkan diri. Ya, jika seandainya paparazzi sialan itu tidak mengejarku."

"Kau artis?"

Meski ekspresi Kim Taehyung tergambar abstrak, ketampannya enggan meluntur. "Baru sadar? "

Sungguh, dia percaya diri sekali. Pantas saja. "Maaf, terkadang aku tidak memiliki banyak waktu untuk terpaku di depan layar televisi."

Tawa beratnya mengalun ringan. "Katakan, sudah berapa banyak yang bilang, bahwa kau itu menarik?"

Oh, rupanya dia tidak begitu mengambil hati. "Entahlah. Mungkin lima, termasuk kau, yang kuterima akhir-akhir ini," tukasku membeberkan orang yang berkata bahwa aku menarik. Yang secara gamblang, tetapi tersentuh tulus.

"Penggemarku mungkin bakal mengamuk kalau tahu hal ini." Taehyung menyudahi gelaknya, menatapiku penuh keseriusan. "Siapa namamu?"

Bersama makhluk ini, tukikan alisku rasanya tidak akan turun dan istirahat dalam waktu lama. Jika memang benar-benar menjadi tamu undangan, si artis ini seharusnya tidak perlu bertanya. Aku baru ingin menjawab, seandainya sebuah panggilan tidak memotong.

"Taehyung?"

Aura Hoseok jelas terasa di belakangku. Perubahan signifikan di paras Taehyung menandakan, mereka dekat.

"Hoseok Hyung!" Taehyung bangun, meraih tubuh Hoseok yang mendekat kepadanya. "Apa kabar, Hyung? Selamat atas pernikahanmu. Maaf, aku tidak bisa menghadiri acaramu, karena jadwalku sungguh padat saat itu. Tadi pun aku terlambat."

"Tidak apa-apa, Taehyung. Hoshiki tahu, Taehyung pasti sudah lelah bermain dengan kamera. Oh iya, Hoshiki dan Namjoon sudah menonton film Taehyung. Keren!" Hoseok mengacungkan dua ibu jari di akhir.

Dari interaksi ini, aku memperoleh dua fakta. Pertama, Kim Taehyung tidak sempat hadir di pernikahan kami. Kedua, ternyata pergaulan mereka sungguh ekstra terpatok dari garis muka masing-masing. Ekstra sekali paras mereka.

"Bagaimana pendapat Namjoon Hyung terhadap film-ku, Hyung?" Dua alis rapi Taehyung naik-turun, menagih bocoran.

Lain lagi dari Hoseok, bahunya yang ambil aksi. Dia mengedik. "Hoshiki tidak paham, Namjoon terlalu banyak bicara. Yah, padahal Hoshiki rindu, tetapi sekarang, Hoshiki harus pergi. Taehyung bisa bertemu dengan Namjoon di dekat pintu yang ada warna hijaunya." Dia beralih padaku kemudian mengajak, "Yumi, ayo ikut Hoshiki menemui Mama!"

Tanpa sadar, aku dan Taehyung mengangguk seirama. Tangan Hoseok melambai, sedangkan aku mengangguk pamit. Tatkala aku melangkah melewati, sepasang tangan asing mengecap kulitku.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nona," Taehyung mencegat. "Siapa namamu?"

"Yum—"

"Jung Yumi," Hoseok menimpal, genggamannya terselip di tanganku. Intonasi Hoseok yang datar mengakibatkan Taehyung melepas cengkeramannya di lenganku. Hoseok ke Seokjin memang ternilai seperti anjing dan kucing. Namun, Hoseok dan Kim Taehyung? Dalam hatiku bercicit, hubungan macam apa yang Hoseok dan Taehyung bangun. Mereka tampak akrab, tetapi juga berjarak.

Sekali lagi, aku mengangguk sebelum benar-benar meninggalkan Taehyung yang tersenyum yang menurutku masih atraktif.

"Hoseok?" Di tempat-tempat ramai, mendapatkan kejanggalan Hoseok, aku harus memeriksa terlebih dahulu.

"Iya, Yumi, Hoshiki di sini."

Apa cuma perasaanku saja? Dia nampak normal, tetapi bukan tengah di titik normal. Mendadak getar berimbang deringan mengguncang tas hitam minimalisku. "Sebentar, ya." Melepaskan tautan, buru-buru kuambil benda canggih itu. Pasalnya, dering itu terancang khusus untuk satu panggilan.

Tatkala barisan-barisan tereja jelas, harap-harap cemas, segera kuterima, panggilan dari Keunhyang.

"Ya, halo, ini Jeon Yumi. Apa ... ada masalah?"

"...."

Sekonyong-konyong persendian di kakiku melemas, bokongku akan menyentuh lantai apabila Hoseok tidak menangkapku. Aku masih dalam keterguncangan, nyeri di dadaku seperti tercipta dari sayatan pisau tumpul lalu berakhir hujaman telak.

"Yumi!"

"Ju-Jungkook-ku ...."

*****

Silau lampu ruang operasi berwarna darah begitu terang di koridor yang meredup semakin menekan ringkuk dekapan tanganku di dada. Aku tidak peduli pasal suaraku yang menyerak atau riasanku yang luntur, serta wajah melengket akibat aliran air mata yang langsung merembes tepat seusai aku menerima telepon dari Keunhyang.

Mereka bilang, kelinciku jatuh di keadaan terburuk. Penyakitnya berulah kelewat ganas, mengakibatkan dia dikirim ke ruangan berpintu dingin di dekatku. Seakan ditendang ke lubang cacing, hitungan sekon seperti tidak beranjak, tidak ada habisnya. "Jungkook, kau harus menepati janjimu, Sayang ...."

Ya, kau harus, Jungkook!

"Yumi." Saking gamangnya, aku bahkan tidak peka akan kehadiran Hoseok di sampingku. "Tenang, Yumi. Hoshiki tahu, Jungkook kuat. Dia pasti baik-baik saja. Yumi tenang, ya."

Lapisan embun berlagak jadi lensa yang tidak seimbang, akibatnya figura Hoseok mengabur. Telapak tangannya menyelimuti tanganku. Aku tersendat. Benar, Jungkook pasti akan muncul dengan kedipan riang di mata bulatnya, dan ia akan tertawa bersama gigi-gigi kelincinya ataupun menyendu sambil meminta maaf karena membuatku menangis seperti ini. Dia sudah berjanji.

"Iya, Jungkook harus baik-baik saja, Hoseok. Dia harus baik-baik saja." Kilasan tentang memori dan daftar kebahagiaanku bersama Jungkook terputar jelas. Dialah segalanya untukku. Namun, kemudian, satu pertanyaan tiba-tiba menyeruakkan kepingan kaca di pojok hati; bagaimana jika sumber kehidupanku itu juga dirampas? "Kalau tidak ...." Dadaku seperti terganjal hingga membuatku tercekat. Sakit sekali. Mataku bertambah panas, mengamuk untuk meleleh. "Kalau tidak, berarti tidak ada lagi alasanku untuk tetap bernapas."

Kepalaku telah dituntun ke dalam dekapan, dada bergemuruh tidak arketipe itu menyumbang makna, bahwa dia sama kacaunya. "Tidak, kau tidak boleh begitu, Yumi! Adikmu akan baik-baik saja, Jungkook-mu anak yang kuat." Lingkaran tangan Hoseok di punggung terasa seakan aku makhluk kecil yang kelewat rapuh oleh interaksi sekecil apa pun. "Kau boleh menangis, tapi jangan biarkan pikiran negatif jauh melahapmu!"

Semburat merah teredam, berupa ganti sinar terang merangsek akibat pintu terbuka angkuh dari dalam. Biarpun tergopoh, kuusahakan agar aku cepat menyambut seseorang berseragam hijau.

"Ba-bagaimana keadaan Jungkook, Dokter?" tanyaku di saat mengusap jejakan air mata semampunya.

Dokter nyaris paruh baya itu menurunkan masker penutup setengah wajah. Helaan napasnya mengandung jarum, diam-diam menelusuk sampai menancap ke ulu.

"Dokter?" ulangku. Dua tangan Hoseok memegang bahuku defensif. Tidak, Jung Hoseok, aku tak suka itu.

Dokter itu menggeleng.

Tidak, jangan lagi!

"Kami telah berusaha, Nona Yumi, bahkan Jungkook pun ikut berjuang. Sayang, kemauannya tidak berimbang dengan seluruh organ yang terlanjur kalah." Dokter itu membungkuk. "Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya."

Aku tidak peduli, sejak kapan aku kembali berada di pelukan Hoseok. Tubuhku meringan, tatapanku kosong, hatiku mencelos. Siksaannya sukar terdefinisikan bersekongkol, merayap ke sekujur. Namun, yang kupaham dengan sempurna, mimpi burukku bertandang tanpa izin.

Jungkook meninggalkanku.[*]

Come to YouWhere stories live. Discover now