16. Dangerously

8K 984 258
                                    

Duduk berdampingan, menonton acara komedi, serta memakan camilan itulah kegiatanku dan Hoseok sembari menunggu Namjoon datang menjemput guna pemeriksaan dan terapi rutin Hoseok di hari ini. Bisa saja kami pergi tanpa Namjoon, tetapi Paman Heejan, supir pribadi Hoseok, tengah mengemban urusan yang dilimpahkan Ibu. Alhasil, Namjoon-lah yang mengambil otoritas tersebut. Lagi pula, hal itu bukanlah masalah dan tidak patut diperdebatkan.

Jika aku tertawa sambil memegangi perut, maka Hoseok sudah lebih dari tertawa sampai-sampai dia meringkuk di atas sofa. Gelak kami mengalahkan seluruh bebunyian yang ada, bahkan di kala acara tontonan di penghujung pergantian tayangan.

"Sering-sering menonton ini, ya, Yumi." Hoseok membenahi cara duduk normalnya. "Agar Yumi bisa terus tertawa."

Ibu jariku menyeka jejak air di ujung ekor mata. "Nanti aku seperti orang gila kalau terus tertawa," cicitku masih dalam penguasaan emosi.

"Kenapa? Padahal tawa dan Yumi adalah kesukaan Hoshiki yang ke ... berapa, ya?" Hoseok mengingat kelewat keras. "Hm ... Hoshiki lupa nomornya," pasrahnya, menggaruk tengkuk dan diiringi cengiran polos.

Padahal cukup melihat gelagatnya saja sudah sanggup menarik lebar dua sudut bibir. Berlaku andai akalku tengah bersih dan tenang karena saat itulah Hoseok menjelma menjadi malaikat tanpa sayap. Meraih lenganku supaya mengeluarkan jiwaku yang mungkin tersesat. Aku turut tersenyum lalu mengusak kepalanya dalam tempo cepat. Ah, perlakuan itu tidak sesuai standar kedewasaan, malah merujuk memanjakan dia seolah anak kecil lantaran terbawa kebiasaanku akan Jungkook.

Apa perlu kupancing, mengingat nyaris dua bulan lebih menikah, tetapi sebatas ciumanlah yang paling jauh?

"Hoseok?" Aku memanggil setelah menyuap sebutir anggur. Di gigitan pertama, aku mendapat strategi. Hebat, kini aku menyeringai.

"Apa?"

Aku memicing, dia tampak fokus ke layar televisi. Lantas aku bertanya, "Apa yang akan kau lakukan, jika ada seorang perempuan datang dan tiba-tiba duduk di pangkuanmu?"

"Duduk di pangkuan Hoshiki?" Kami serempak saling pandang, lekas aku mengangguk. "Sudah pasti Hoshiki suruh turun! Berat, nanti kaki Hoshiki sakit." Dalam gelengan cepatnya, Hoseok tertawa.

Aku ikut menggeleng, tetapi di makna berbeda. Menolak jawabannya yang sebenarnya sangat realistis. Namun, tidak, Hoseok, bukan itu yang ingin kudengar. "Tidak, tidak, Hoseok. Kau tidak boleh melakukannya," larangku. Kepalaku memiring tiga puluh derajat lalu mengerling. "Mau kuajarkan cara yang benar?"

"Ka—"

"Oh, Yumi ini tidak menerima penolakan," potongku segera, mencegah kegagalan sedini mungkin.

"Hoshiki tidak bilang Hoshiki akan menolak. Kalau Yumi yang duduk, Hoshiki tidak masalah. Yumi 'kan ringan," terang Hoseok.

Oh, salah ternyata. Andai aku pribadi yang peduli tentang proporsi, maka aku akan berbunga bukan kepalang, sebab dicap bertubuh ringan. Kendati begitu, untukku yang sukar gemuk itu lain lagi. Ingat, ya, berat badan adalah salah satu topik sensitif teratas bagi kebanyakan perempuan.

"Oke. Kau siap, 'kan?" Sejatinya, pertanyaan ini lebih mengarah teruntukku sendiri.

"Siap!"

Aku beringsut, merangsek duduk di atas pangkuannya hingga berhadapan. Tidak ada yang perlu diubah, karena posisi telah sempurna. Menangkap reaksi biasanya, ayalku menguap. "Pertama. Jika dia telah duduk di atasmu, beri tatapan menggoda. Naikkan sebelah alismu sedikit, dan kemudian ulas seringai tipis. Kau tahu seringai, 'kan?"

Hoseok menerapkan apa yang tengah kupraktikan. Alih-alih sempurna, dia malah persis seperti orang mesum pencinta anak kecil. Buru-buru aku berdeham, mengurungkan gelak tawa. Kutepuk kedua pipinya pelan. Aku memerintah, "Kendurkan lagi otot-otot pipimu." Berganti menekam keningnya. "Ini juga," tambahku.

Come to YouWhere stories live. Discover now