60. Mama (3)

2.8K 253 50
                                    

Mama balas tersenyum pada Edenin. Tak seberapa lama perhatian mama beralih pada Verinda yang terus menatap Edenin yang semakin menjauh dari pandangannya.

Merasa ada yang memperhatikan, Verinda kemudian menoleh. Mama kembali memamerkan senyumnya sementara Verinda langsung tampak canggung.

"Selamat ulang tahun, nak." Kata mama sambil merogoh isi tasnya. "Mama cuman bisa ngasih ini." Lanjutnya sambil menyodorkan sebuah kotak persegi hitam ke Verinda.

Verinda menatap kotak persegi hitam itu sebelum akhirnya menerimanya.

"Semoga kamu suka." Kata mama ketika Verinda menatapnya sekilas. "Ayo coba kamu buka dulu, Ver." Pinta mama.

Verinda membuang nafas pendek sebelum membuka kotak persegi hitam itu. Kedua alisnya sempat terangkat memandangi isi kotak persegi itu. Sebuah arloji keren. Sejenak Verinda tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

"Ayo, langsung dipake aja, Ver."

Mama berinisiatif mengambil arloji itu dan ingin memasangkannya ke pergelangan tangan kirinya namun sudah ada sebuah arloji yang terpasang di sana. Mama mendongak menatap Verinda yang tidak bereaksi. Detik berlalu Verinda belum menunjukkan tanda ingin melepas arloji lamanya.

"Coba di sebelah kanan aja, ya." Kata mama akhirnya lalu menarik pelan tangan kanan Verinda karena tidak mau memaksanya untuk melepas arloji lamanya. "Bagus. Cocok buat kamu, Ver." Puji mama sambil tersenyum menatap putri bungsunya.

Verinda masih diam. Ia menatap arloji barunya dan mama secara bergantian. Mama diam-diam menghela nafas kecewa karena semua tindakannya masih didinginkan oleh Verinda. Mama lalu mengalihkan pandangan ke Edenin yang sudah berada di depan loket. Detik itu mama merasa membutuhkan kehadiran Edenin untuk mencairkan kekakuan suasana antara dirinya dan Verinda.

"M-makasih," kata Verinda setelah sekian detik berlalu. "m-ma." Lanjutnya dengan nada gamang dan terbata.

Mama menoleh ke Verinda dengan tatapan tidak percaya. Rasanya itu adalah pertama kalinya ia mendengar Verinda memanggilnya mama setelah sekian tahun berlalu. Tanpa bisa dicegah air mata haru mama segera mendesak keluar.

Verinda kaget melihat mamanya yang tiba-tiba menangis. Sejenak ia mengira dirinya telah salah bicara lagi. Ia mulai mengutuki bakat alaminya yang sanggup membuat banyak orang menangis karena sikapnya.

"Sama-sama, nak." Kata mama yang tiba-tiba langsung memeluknya.

Verinda hanya bisa berdiri kaku karena kaget dengan reaksi mama. Ia semakin melongo karena mama kemudian menciumi kening dan kedua pipinya. Sebuah perasaan aneh kembali menelusup di hatinya. Detik itu ia yakin pernah mengalami kejadian yang sama tapi entah kapan dan di mana. Verinda tidak bisa mengingatnya.

Tadinya Verinda meyakinkan diri bahwa ia hanya berhalusinasi karena tidak mungkin ia pernah dipeluk dan dicium mama sebelumnya, kecuali untuk kedua kalinya mengingat bagaimana dulu mama selalu memusuhinya. Tak seberapa lama mama melepaskan pelukannya karena Edenin sudah kembali. Edenin tersenyum lega menatap mamanya yang juga balas tersenyum padanya.

"Masuk yuk." Ajak Edenin sambil beringsut masuk diantara Verinda dan mama.

***

Verinda memutuskan untuk duduk pada salah satu bangku panjang yang cukup teduh di sekitar wahana ekstrim Tornado. Cuaca begitu panas menyengat ditambah ia tidak tahan dikerumuni banyak orang karena berjalan dengan seorang artis sekaliber Edenin. Ia menatap Edenin yang masih dengan sabar melayani orang yang mengerubunginya. Mama dengan setia mendampingi Edenin yang sebenarnya sudah kewalahan.

"Gue udah ngira bakal kayak gini." Verinda menarik-narik krah kemejanya berusaha mengipasi dirinya. “Gini ini resiko jalan sama orang yang tampangnya udah pasaran kayak dia.” Omelnya lagi. Super nyinyir.

Verinda menarik nafas panjang sambil melepas blazernya karena tidak tahan panas. Ia lalu melipat kedua lengan kemeja panjangnya hingga ke siku. Ia tertegun menatap kedua pergelangan tangannya yang masing-masing terpasang arloji. Ia sempat mendongak sekilas ke mama lalu menatap kedua pergelangan tangannya.

Seulas senyum tipis menyembul dari bibir Verinda. Perlahan ia melepas arjoli lamanya dan menggantinya dengan arloji baru dari mamanya. Selama beberapa saat ia menatap arloji barunya dan tanpa disadari senyumnya berkembang lebih lebar. Ia lalu menggeser pandangannya ke mama dan Edenin yang sudah berbalik ke arahnya. Senyumnya segera menghilang dan berganti dengan tampang datarnya.

"Udah selesai jumpa fansnya?" tanyanya sinis.

Edenin menghela nafas sambil bertukar pandang sejenak dengan mama.

"Iya, maaf." Kata Edenin dengan nada yang terdengar merajuk.

Verinda langsung menutup mulutnya. Tidak tega meneruskan kesinisannya karena reaksi Edenin. Ia lalu menggeser pandangannya ke sekitar.

"Udah, udah kok malah marahan terus. Katanya kamu pengen refreshing, Chel. Udah sana cari wahana yang seru sama adek kamu." Mama berusaha mencairkan suasana.

Edenin diam tidak bereaksi karena terlanjur kehilangan mood. Suasana hatinya berubah kelam karena tiba-tiba teringat Raditya. Karakter Verinda yang nyaris identik dengan Raditya membuatnya teringat dengan hubungannya yang masih tidak jelas akhirnya. Padahal sejauh tadi dia berhasil menekan perasaannya yang selalu tanpa sadar mengingat Raditya saat bersama Verinda dan sebaliknya.

“... kasih aku kesempatan buat jelasin semua biar hubungan kita seenggaknya bisa berakhir baik-baik.”

Edenin merasa sesak mengingat perkataan Raditya. Pada malam itu, saat Verinda marah besar dan akhirnya pulang, Edenin juga meminta Raditya untuk meninggalkan rumahnya tanpa memberinya kesempatan untuk bicara. Edenin tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulut Raditya. Edenin terlanjur kecewa dan sakit hati. Tidak pernah terbayangkan bahwa ternyata Verinda yang selalu ada di pikiran Raditya selama ini. Edenin menghela nafasnya dengan berat.

Edenin ingin sekali membenci Raditya tapi entah kenapa ia tidak bisa melakukannya. Hatinya terlalu lemah untuk membencinya. Edenin menatap sekilas wajah adik tirinya yang tampak datar dan miskin ekspresi. Hatinya mendadak sesak, mati-matian ia ingin mengubur rasa cemburunya yang tidak beralasan. Ia tidak ingin menjadikan Verinda sebagai kambing hitam atas permasalahannya. Edenin makin kecewa karena ternyata sampai detik itu Raditya tidak mencoba untuk menghubunginya.

"Chel," panggil mama sambil menepuk bahunya. "kok malah ngelamun sih?"

Edenin langsung gelagapan. Ia segera memamerkan senyumnya sambil memaksakan diri untuk kembali ceria.

"Yuk, Ver." Katanya sambil menarik tangan Verinda. "Kita ke Tornado dulu aja, ya?" katanya dengan nada ceria yang terlalu dipaksakan.

Verinda mengikuti ajakan Edenin tanpa banyak komentar. Ia tahu Edenin berusaha menyembunyikan beban di hatinya dan entah bagaimana dia pun yakin bahwa yang ada dalam pikiran kakak tirinya saat itu adalah Raditya.

"Mama tungguin kalian di sini aja, ya? Mama udah tua. Takut."

"Yah, mama… kok gitu sih? Nggak seru ah!" keluh Edenin.

"Udah kalian aja yang maen. Mama tungguin kalian di sini." Kata mama sambil mengusap lembut kepala Edenin. "Siniin blazer kamu, Ver—kotak yang dari mama juga. Mama aja yang bawain biar nanti nggak ribet pas kalian maen."

Verinda melirik sekilas ke Edenin. Wajahnya tampak canggung karena belum terbiasa dengan sikap mama yang dulu di sepanjang kenangannya tidak pernah bersikap seramah apalagi menyenangkan seperti itu.

"Udah nggak apa-apa." Mama yang telah mendapatkan momennya lalu dengan tenang mengambil blazer dan kotak arloji yang dipegang Verinda.

"Ya udah deh… mama tunggu sini yah. Yuk buruan, Ver."

Mama tersenyum melihat kedua putrinya berjalan beriringan. Perlahan rasa hangat menjalari seisi hatinya. Terharu rasanya karena untuk pertama kali ia menemani kedua putrinya. Meski terlambat mama bersyukur masih diberi kesempatan untuk membayar waktu yang pernah terlewat dengan Verinda.

____________________________________

😢😢😢
🤧🤧🤧

Miss Troublemaker (terlalu sulit untuk dimengerti)Where stories live. Discover now